Di suatu siang, sebuah pesawat dari maskapai Sriwijaya Air mendarat dengan sedikit keras di bandara HAS Hanandjoeddin, Tanjung Pandan, pulau Belitung. Saat itu langit bandara, yang mengambil nama dari salah satu perwira TNI Angkatan Udara sekaligus Bupati Belitung periode 1967 ā 1972 itu, memang dipenuhi dengan gumpalan-gumpalan awan yang cukup tebal. Dua puluh menit terakhir menjelang pendaratan menjadi saat yang cukup menegangkan bagi para penumpang karena pesawat sering mengalami guncangan akibat menabrak awan.
Hari itu, kursi pesawat bertipe Boeing 737 seri 800NG itu penuh, tidak menyisakan satu kursi kosong sama sekali. Sebagian besar penumpang adalah wisatawan yang akan berburu gerhana matahari total 9 Maret 2016, termasuk saya, yang saat itu tergabung dengan rombongan Laskar Gerhana Detikcom.
Keluar dari pesawat, saya disambut dengan pemandangan yang cukup unik. Langit di sisi barat tampak cerah membiru sehingga matahari bisa bersinar dengan sangat terik. Tetapi di sisi timur, gumpalan awan putih dah hitam memenuhi langit, sehingga tiada nampak warna biru disana.
Saat kaki saya menginjak bumi, saya merasakan sebuah perasaan haru. Akhirnya, untuk yang kedua kalinya, saya menjejakkan kaki di bumi laskar pelangi yang sangat menawan ini. Setelah perjumpaan pertama yang pendek, hanya 24 jam, untuk yang kedua kalinya ini saya punya cukup waktu untuk menjelajahi pulau.
Karena bandara HAS Hanandjoeddin bukan bandara utama jadinya tidak terlalu banyak pesawat disana. Siang itu, hanya pesawat Sriwijaya Air, yang baru saja saya tumpangi, yang tengah berada di apron bandara. Bangunan Air Traffic Controllernya juga tidak setinggi yang ada di bandara Juanda maupun Soekarno Hatta.
Meskipun bukan bandara utama, tetapi infrastruktur bandara sudah siap jika sewaktu-waktu status bandara ditingkatkan menjadi bandara internasional. Salah satunya dengan pembangunan landasa pacu yang lebih panjang, mencapai 3000 m, sehingga bandara bisa didarati pesawat berbadan besar seperti Boeing 737-800NG, 737-900ER maupun Airbus A320-200.
Untuk menuju terminal kedatangan, bandara belum dilengkapi dengan fasilitas garbarata, sehingga penumpang harus berjalan kaki dari pesawat menuju ke terminal. Dan begitu pula sebaliknya ketika akan menaiki pesawat. Tapi itu tak mengapa, karena jarak antara apron dengan terminal tidak terlalu jauh.
Memasuki gedung terminal, saya langsung disambut dengan udara segar yang mengalir dari penyejuk ruangan. Terdapat satu buah ban berjalan di terminal kedatangan untuk pelayanan bagasi penumpang. Salah satu hal yang saya suka dari bandara ini adalah adanya bangku bagi penumpang selama menunggu bagasinya. Bagi saya, ini sebuah ide pelayanan yang bagus karena tidak semua bandara ada. Bahkan bandara sekelas Soekarno-Hatta maupun Sultan Mahmud Badaruddin II tidak memiliki bangku di terminal kedatangan.
Pada akhirnya saya sangat suka dengan bandara HAS Hanandjoeddin ini. Kecil, sederhana tetapi berkesan. Berawal dari bandara inilah, perjalananku memburu gerhana matahari total 9 Maret 2016 dimulai. Dan pada akhirnya, dari bandara ini jugalah, saya mengakhiri perjalanan sebagai Laskar Gerhana Detikcom.