Petualangan untuk Al di Kebun Raya Purwodadi

“Al, tunggu”

Baru saja, Aldebaran, saya turunkan dari gendongan tepat di sebuah padang rumput yang cukup luas, dia sudah langsung berlarian. Sedari masih dalam gendongan, kaki-kaki mungilnya sudah bergerak kesana kemari. Badannya pun sempat menggeliat-geliat, seperti mencoba memberontak dari dekapan saya. Saya pun coba memberinya pengertian, bahwa, nanti ada waktunya, saya akan menurunkannya. Dan tampaknya dia pun paham. Badannya sudah tidak lagi meronta, namun tidak dengan sepasang kakinya. Saat waktunya tiba, saya menurunkannya dari gendongan dan melepaskan dekapan, dia langsung berlari, seolah terlepas dari sebuah belenggu.

Aldebaran dan Menara Kaca Kebun Raya Puwodadi, Pasuruan
Aldebaran dan Menara Kaca Kebun Raya Puwodadi, Pasuruan

“Al, tunggu”, ujar saya lagi, sambil setengah berlari mengejarnya.

Al bukannya berhenti, tapi makin semangat berlari.

Saya pun berlari mengejarnya. Langkah kakinya kecil, larinya pun tidak cepat, jadi hanya dengan empat langkah, saya berhasil menangkapnya.

Read more

Mencicipi Gurih Pedasnya Becek Mentok Khas Tuban

Siang itu, peluh membasahi dahi saya. Hawa panas seolah melingkupi kepala saya. Didepan saya tersaji sepiring nasi hangat yang bersanding dengan semangkuk masakan berkuah yang berwarna sedikit jingga kecokelatan.

Sajian Becek Mentok di Warung Mbak Narti, Tuban
Sajian Becek Mentok di Warung Mbak Narti, Tuban

Sejauh ini, sudah empat sendok kuah jingga itu meresap di lidahku, dan karena itu pula, terbentuk titik titik keringat di sekitar kepalaku. Awalnya titik titik itu ukurannya kecil, namun semakin bertambah suapan kuah yang mendarat di lidahku, ukuran titik air tersebut semakin membesar dan mulai mengalir dari kepala saya.

Read more

Menikmati Pulau-Pulau di antara Denpasar – Maumere

“Kursi jendela masih ada mbak? Kalau bisa jendela sisi kanan?”, pintaku sambil sedikit ngos-ngosan.

“Ada mas”

Dengan cekatan, jari-jari si mbak petugas check in bergerak lincah di keyboard. Sejurus kemudian boarding pass saya pun tercetak. Disitu tertera rencana perjalanan saya, Surabaya – Maumere, dengan nomor kursi 24F.

“Alhamdulillah”, ujar saya. “Terima Kasih, mbak”

Saya menatap boarding pass dengan penuh kelegaan. Setidaknya dengan duduk di kursi dekat jendela sebelah kanan, saya dapat kesempatan untuk mengabadikan pemandangan di balik kaca jendela pesawat. Kalaupun nantinya terhalang sayap pesawat, setidaknya mata saya bisa merekamnya dalam memori otak.

Pemadangan Pulau Komodo dari Pesawat Denpasar - Maumere
Pemadangan Pulau Komodo dari Pesawat Denpasar – Maumere

Pagi itu adalah perjalanan pertama saya menuju pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tepatnya ke kota Maumere. Dan sejak jauh-jauh hari, saya sudah mempersiapkan diri untuk perjalanan itu. Mulai dari membersihkan debu-debu di kamera, yang sudah hampir satu tahun hanya teronggok di dry box, Mencharge baterei kamera, melakukan sedikit riset terkait medan yang akan saya tempuh di Flores nanti, hingga melakukan web check in, agar mendapatkan kursi yang pas untuk memotret dari balik pesawat. Sayangnya, langkah terakhir, saya terlupa. Karena itu, pagi-pagi, saya sudah tiba di bandara, dan sedikit berlari menuju counter check in, berharap mendapatkan kursi dekat jendela yang tersisa.

Mengapa saya memilih window seat yang sisi kanan, kenapa bukan sisi kiri?

Read more

Suguhan Sunset di Pantai Oesapa, Kupang

Suatu sore di bulan April 2019, di sebuah hari, dimana untuk pertama kalinya saya menjejakkan kaki di pulau Timor. Kurang dari 24 jam saya berada disini, tapi saya bersyukur, saya berhasil bertemu senja yang sempurna.

Sunset di Pantai Oesapa, Kupang, NTT
Sunset di Pantai Oesapa, Kupang, NTT

Pantai warna Oesapa, disanalah saya menyaksikan detik-detik tenggelamnya sang bintang. Ditemani dengan sepiring mie instan, segelas teh tarik dan alunan musik berbagai genre, mulai dari reggae, dangdut, pop, rock hingga gambus.

Read more

Cerita Dari Sebongkah Belerang Ijen

Pagi itu, mata saya terantuk pada dua buah keranjang yang sarat dengan potongan belerang. Dua buah keranjang itu teronggok pada sebuah bukit batu yang memiliki permukaan relatif datar. Di sampingnya, saya melihat seseorang yang tengah duduk sambil sesekali melap keringatnya dengan handuk. Nafasnya tersengal tak beraturan. Namun nafas tersengar itu bukan hanya komoditas pribadinya, saya mengalaminya juga. Perjalanan menanjak dari dasar kawah menuju bibir kawah yang terjal ini penyebabnya.

Sepikul Belerang di Kawah Ijen
Sepikul Belerang di Kawah Ijen

Namun tidak pantas kiranya membandingkan sengalan nafas saya dengan nafas sang bapak. Saya sebenarnya belum pantas untuk tersengal pagi itu. Selama perjalanan mendaki tebing setinggi hampir 800 meter ini, saya hanya membawa tas berisi kamera dan lensa yang paling-paling hanya sekitaran 3 kg beratnya. Tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dua buah keranjang berisi penuh belerang yang dibawa oleh sang bapak, yang kalau ditimbang, beratnya hampir mencapai 70 kg.

Read more