Siang itu, peluh membasahi dahi saya. Hawa panas seolah melingkupi kepala saya. Didepan saya tersaji sepiring nasi hangat yang bersanding dengan semangkuk masakan berkuah yang berwarna sedikit jingga kecokelatan.
Sejauh ini, sudah empat sendok kuah jingga itu meresap di lidahku, dan karena itu pula, terbentuk titik titik keringat di sekitar kepalaku. Awalnya titik titik itu ukurannya kecil, namun semakin bertambah suapan kuah yang mendarat di lidahku, ukuran titik air tersebut semakin membesar dan mulai mengalir dari kepala saya.
Banyak orang bilang, adaptasi adalah kunci sukses dari sebuah perjalanan. Perjalanan disini tidak terbatas pada perjalanan traveling saja, tetapi juga perjalanan hidup, perjalanan karir dan perjalanan-perjalanan yang lain. Arti adaptasi bisa kita dapatkan dalam sebuah pepatah lama, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, yang artinya dimana kita berada, hendaknya kita menghormati dan menghargai akan budaya yang ada disana.
Dulu, saya mengira pepatah ini, hanya cocok ditujukan pada manusia. Namun, ternyata salah. Kalau digali lebih dalam lagi, pepatah ini memiliki sebuah pemahaman yang sangat luas. Rumah misalnya. Antara rumah yang dibangun di daerah rawan gempa dan yang tidak rawan gempa, pasti akan berbeda desainnya. Begitu juga dengan pakaian. Pakaian untuk negeri 4 musim dengan negeri 2 musim, pastinya juga akan berbeda. Pakaian yang digunakan warga di dataran rendah dan dataran tinggi juga pasti berbeda. Dan yang terbaru, saya menemukan arti adaptasi pada sebuah makanan.
Hari Jumat sore yang lalu, sengaja saya pulang dari kantor relatif tepat waktu. Sore itu tiba-tiba saya pengen makan ketoprak langganan saya yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari kantor. Sudah lama sekali saya tidak menikmatinya karena seringnya saya pulang malam, sehabis sholat maghrib. Alhasil ketopraknya sudah habis. Terakhir saya mampir sudah sekitar 5 bulan yang lalu.
Sebuah kudapan tersaji di tangan saya. Bentuknya persegi dengan ada beberapa potongan yang membaginya menjadi 9 bagian. Sekilas bentuk makanannya seperti martabak telor di Indonesia, hanya saja lebih tipis dan warnanya lebih cerah. Isinya juga bukan telor yang dicampur daging dan daun bawang, melainkan buah pisang. Itulah salah satu hal yang membuat saya rindu dan ingin kembali berkunjung ke wilayah Thailand Selatan, Banana Pancake.
Hampir di sepanjang jalan di area wisata Krabi seperti di pesisir pantai Ao Nang ataupun di Krabi Town, terdapat penjual banana pancake. Biasanya mereka mulai menggelar dagangannya di sore hari hingga malam hari. Bagi saya, dan juga istri, banana pancake ini sungguh lezat. Dan yang terpenting lagi, halal. Untuk harga, masih relatif terjangkau. Saat kunjungan terakhir saya ke Krabi, di sekitar bulan Februari 2015 silam, harga dari Banana Pancake ini sekitar 40 baht, atau sekitar 16 ribu rupiah (Kurs 1 baht = 400 rupiah).