November Empat Lima, Sebuah Pelajaran dari Pertempuran Dahsyat Di Surabaya

Melintasi kawasan jembatan merah, kota tua, tugu pahlawan hingga jalan Gemblongan Surabaya pada pagi hari ini, 10 November 2023, suasana jalanan begitu ramai dan padat. Saya melihat beberapa siswa berangkat ke sekolah dengan mengenakan pakaian bertema pahlawan. Di linimasa sosial media, beberapa kawan juga memajang status berupa foto anak-anaknya berbaju veteran, lengkap dengan bendera merah putih menempel di pipi, lengan ataupun diikatkan di kepala.

November Empat Lima, Sebuah Pelajaran dari Pertempuran Surabaya

Saya pun kemudian membayangkan kondisi 78 tahun yang lalu, ketika Surabaya dikepung oleh berbagai kendaraan perang dari segala penjuru, tank dan mobil lapis baja di jalanan kota, kapal perang di sekitaran pelabuhan tanjung perak dan pesawat pembom yang berseliweran di langit.

Hari itu adalah 10 November 1945, dimana pada jam 6 pagi, adalah tenggat terakhir yang diberikan oleh Inggris, dan sekutunya, kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan diri dan meletakkan senjatanya. Hal ini disebabkan kejadian kontak senjata antara pasukan Inggris dan arek-arek Suroboyo pada tanggal 30 Oktober 1945 di kawasan jembatan merah yang berujung tewasnya komandan pasukan Inggris, Brigadir Jenderal AWS Mallaby.

Ultimatum tersebut tidak dipedulikan oleh rakyat Surabaya, hingga kemudian terjadilah perang yang sangat besar, yang bagi rakyat Surabaya adalah sebagai bagian dari ikhtiar mempertahankan kemerdekaan.

Sebuah perang yang sebenarnya jauh dari kata seimbang. Memang dari jumlah pasukan, pihak Indonesia lebih unggul, dengan sekitar 160.000 orang, sedangkan dari pihak Inggris dan Sekutu sekitar 24.000 prajurit. Disini, salah satu sekutu Inggris adalah NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang merasa berhak atas penguasaan kembali wilayah Indonesia, setelah Jepang kalah perang di Perang Dunia ke-2 dan pergi meninggalkan Indonesia. Tapi, tentu saja, kondisi pasukannya jauh berbeda.

Yang satunya adalah negara yang baru beberapa bulan lalu mendeklarasikan kemerdekaannya, sedangkan pihak satunya adalah gabungan bangsa-bangsa yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun menjajah negeri lain dan juga ikut “berpartisipasi” pada perang dunia ke-2.

Di sisi yang lain, secara dukungan persenjataan dan logistik perang, tentu saja rakyat Surabaya juga kalah telak dibandingkan pihak sekutu. Pasukan Surabaya sebenarnya tidak hanya bermodalkan bambu runcing, yang sangat identik dengan pertempuran 10 November, tetapi juga memiliki beberapa persenjataan berat seperti meriam dan senapan, namun tentu saja itu tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan tentara sekutu yang diperkuat dengan sekitar 24 buah tank, ditambah dengan kapal perang dan pesawat pembom.

Perang besar ini terjadi selama 3 minggu, dimulai dari 10 November 1945 hingga 28 November 1945, dan memakan korban sekitar 15.000 – 20.000 jiwa dari pihak Indonesia dan sekitar 600-2000 orang dari pihak Inggris dan Sekutu. Selain korban jiwa, sekitar 200.000 warga Surabaya harus mengungsi ke luar kota karena kota Surabaya mengalami porak poranda.

Mengingat begitu pentingnya perang Surabaya ini bagi bangsa Indonesia, maka tanggal 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan, dan kota Surabaya sendiri disebut sebagai kota Pahlawan.

Jika kita mengenang peristiwa yang terjadi 78 tahun yang lalu itu, maka memang banyak hal yang luar biasa terjadi pada hari-hari tersebut.

Yang pertama tentu saja, tewasnya dua jenderal Inggris selama pendudukan di Surabaya sejak sekitar OKtober 1945. Selain AWS Mallaby, Inggris harus kehilangan Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds. Sungguh sebuah “prestasi” ajaib dari arek-arek Suroboyo, karena selama perang dunia ke-2, dari 1939 – 1945, Inggris tidak pernah kehilangan Jenderal-nya. Dan hanya dalam hitungan hari berada di Surabaya, Inggris harus kehilangan tidak hanya satu, tapi dua jenderalnya.

Yang kedua, Pada pertempuran Surabaya tidak hanya pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang berjuang, tetapi juga pasukan santri dari pesantren-pesantren, yang digerakkan oleh para kyainya seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Abdul Karim dan tokoh-tokoh lainnya. Gerakan para santri ini adalah wujud dari seruan Resolusi Jihad yang disampaikan oleh KH Hasyim pada tanggal 22 Oktober 1945.

Dan yang paling luar biasa tentunya, adalah pekik takbir yang dikumandangkan Bung Tomo melalui RRI. Pekik takbir ini adalah adalah sebuah wujud bagaimana seorang hamba meminta pertolongan kepada Allah, sebelum kemudian memulai ikhtiar perjuangan. Pekik takbir ini kemudian tidak hanya menjadi pembakar semangat dan penopang kaki-kaki arek-arek suroboyo saja, tetapi pekik takbir ini membuat beberapa anggota pasukan Inggris, melakukan desersi, tidak mau menyerang pejuang Indonesia.

Pasukan ini adalah legiun Gurkha, pasukan muslim dari India yang dipimpin oleh Muhammad Zia-Ul-Haq, yang beberapa tahun kemudian menjadi Presiden Pakistan. Pekik takbir bung Tomo membuat mereka terkejut karena ternyata yang mereka perangi adalah sesama saudara muslim. Selama ini Zia ul Haq hanyalah seorang tentara dan tidak tahu tetek bengek politik.

Turunnya para kyai dan santrinya di medan pertempuran, serta pekik takbir dari Bung Tomo yang menggema di seantero kota Surabaya inilah, yang sepertinya membuat surat kabar internasional, New York Times, edisi 20 Nov 1945 menulis berita dengan judul “MOSLEM FANATICS FIGHT IN SURABAYA”. Sebuah julukan yang sangat tidak pantas. Beliau hanya ingin mempertahankan negerinya dari orang-orang yang ingin menjajah kembali, Tapi, ya itulah label yang harus beliau terima, karena bangsa penjajah itulah yang saat itu menguasai dunia, dan mungkin hingga saat ini.

Pertempuran Surabaya, memang akhirnya berakhir untuk kemenangan Inggris, namun pertempuran ini memberikan sebuah dampak yang sangat signifikan bagi perjuangan rakyat Indonesia, yaitu menjadi inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa ternyata untuk mempertahankan kemerdekaan ini, diperlukan sebuah perjuangan yang tidak akan mudah, karena Belanda sudah nyata-nyata bersiap melakukan agresi militer ke seluruh wilayah tanah air.

Selain itu, pertempuran Surabaya juga mengubah cara pandang Inggris dan Belanda terhadap Indonesia. Inggris mulai mempertegas posisinya sebagai pihak yang netral, dan tak mendukung Belanda secara langsung. Sedangkan Belanda mulai menyadari perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Hal itu berbeda dengan pandangan mereka sebelumnya, yang menganggap deklarasi kemerdekaan Indonesia hanya berasal dari kelompok pengacau sporadis (ekstremis).

Selamat mengenang Hari Pahlawan Kawan.

Dan hari ini, saya mengenangnya di kota terbaik di Indonesia, di tempat lahirnya para Pahlawan itu dan tempat terjadinya pertempuran tersebut.

Surabaya, 10 November 2023, 26 Rabiul Akhir 1445H

—–

Referensi:

Tausiyah ust Salim A Fillah

Wikipedia

Portal Kompas

Portal Muhammadiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *