Di artikel kedua tentang revolusi bakar uang ini, saya akan melanjutkan catatan saya dari bagian pertama yang diakhiri sebuah tanda tanya besar, darimana perusahaan start up ini masih bertahan, dan masih setia dengan memberikan promo-promonya, meski sudah lebih dari 3 tahun membakar uang.
Saya, yang makin penasaran dengan model bisnis para perusahaan start up ini, kemudian mencoba menggali lebih dalam. Saya mencoba ikuti berita tentang si ojek online, sampai kemudian saya mendapatkan sebuah istilah baru, valuasi, yang kemudian disusul lagi dengan istilah unicorn dan decacorn. Jadi, yang dikejar oleh para startup ini adalah valuasi, atau nilai perusahaan, yang diukur dari jumlah investasi yang berhasil mereka dapatkan. Saya mengernyitkan dahi. Oke, akhirnya satu pertanyaan terjawab, bahwa bisa jadi, yang menutup uang promo itu adalah investasi yang disuntikkan investor. Si owner startup pun tetap mendapatkan penghasilan, ya dari uang investasi tadi. Lalu, satu pertanyaan lagi muncul, return apakah yang menjadi imbal balik bagi sang investor? Kalau kita invest tanah, emas, selisih harga jual dan harga beli adalah imbal balik yang diharapkan. Kalau kita investasi dalam deposito, ada bunga yang menjadi keuntungan untuk pemilii deposito. Investasi bentuk saham, return nya berupa dividen dan selisih nilai saat jual dan saat beli. Lha kalau invest di startup? Keuntungannya ga ada, bahkan uang investasi dipakai buat nutup promo.
Pertanyaan ini terus bergulir di kepala saya sampai kemudian saya mendapatkan idioms, “data is the new oil”. Saya kemudian merekonstruksi sebuah kerangka di otak saya. Ada berapa data yang dicetak oleh ojek online, setiap harinya? Data penumpang, rute penumpang, lama perjalanan, data pesanan makanan, data lokasi si pemesan makanan, data transaksi harian, data jam, tempat transaksi sering terjadi, dst.