Revolusi Dunia “Bakar Uang” Pada Dunia Bisnis (Bagian 1)

Ini sekedar catatan usil saya terkait trend bakar uang dari beberapa startup. Saya menulisnya bukan berdasarkan jurnal ilmiah ataupun merekap dari seorang yang ahli ekonomi, tapi murni sebuah asumsi yang didasarkan dengan apa yang saya lihat. Kalimat pembuka ini adalah sebuah disclaimer, bagi yang tidak sengaja, tersesat di blog ini. Lanjut membaca, Alhamdulillah, atau kalau memang tidak berkenan, dipersilakan untuk mungkin membaca tulisan lain di blog ini, he he.

Ilustasi Bakar Uang dalam Bisnis

Sebenarnya, kebiasaan bakar uang pada sebuah perusahaan, sudah terjadi sejak lama. Di Indonesia, saya sempat berasumsi bahwa trend ini dimulai dengan era masuknya pertelevisian swasta di awal tahun 1990an, dimana saat itu, iklan mulai berseliweran di layar kaca. Namun kemudian saya ternyata keliru, karena dunia periklanan sejatinya sudah ada sejak puluhan tahun silam, namun mungkin dalam bentuk yang berbeda. Sebelum era televisi, iklan sudah mulai beredar melalui pamflet, koran dan radio. Di luar negeri, penetrasi iklan biasanya begitu besar di acara-acara besar olahraga, seperti Olimpiade, Piala Dunia sepakbola, atau mungkin arena balap mobil formula 1.

Bagi saya, metode “bakar uang” pertama kali di dunia adalah, iklan. Namun sejatinya, konsep iklan ini, bukan konsep nyata dari bakar uang, karena biaya iklan, atau jamak disebut biaya pemasaran ini, nantinya akan dikompensasikan pada harga sebuah produk. Biaya iklan nantinya akan menjadi salah satu komponen BOM alias Bill Of Material, yang menjadi variabel pembentuk harga. Karena itulah, biasanya, produk2 yang diiklankan, biasanya memiliki harga yang sedikit lebih mahal dari produk sejenis yang tidak diiklankan. Namun, dengan kekuatan iklan pulalah, produk yang diiklankan memiliki omzet yang jauh lebih besar, dan berimbas pada laba perusahaan, sehingga iklan seringkali dianggap bukan bagian dari “bakar uang”.

Metode “bakar uang” selanjutnya adalah pemberian discount atau potongan harga pada produk. Biasanya discount diberikan, dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut:

1. Mengejar omzet penjualan dalam sebuah event, misal ramadhan, natal ataupun saat ada acara pameran. Dengan adanya discount, maka margin biaya dan harga dari produk akan rendah, namun disini yang diharapkan oleh produsen adalah peningkatan volume penjualan, sehingga tetap mampu memberikan laba yang tinggi

2. Menjaga daya tahan produk pada pasar, karena pesaing menawarkan produk sejenis dengan harga yang lebih murah

3. Biaya pokok produksi telah berhasil ditekan dengan inovasi pengurangan harga

4. Produk sudah hampir kadaluwarsa.

Selanjutnya, di sekitar awal milennium, dunia diperkenalkan dengan metode baru “bakar uang” dari dunia penerbangan, dengan label low cost carrier. Moda pesawat, yang biasanya menjadi transportasi premium, yang hanya bisa dinikmati oleh segilintir orang saja, tiba-tiba seperti turun pangkat. Hampir semua orang kini, bisa mengakses moda transportasi yang satu ini. Adalah tiket murah penerbangan, yang menjadi penyebabnya, dan yang menawarkannya adalah maskapai yang melabeli dirinya low cost carrier. Awalnya, banyak orang yang mengira bahwa, penerbangan berbiaya murah ini abai dengan faktor keselamatan, namun dengan melihat fakta, bahwa jumlah kecelakaan yang terjadi pada maskapai2 ini, prosentasenya relatif kecil, maka para calon penumpang pun berani untuk terbang bersamanya.

Sebenarnya low cost carrier tidak sepenuhnya murah, dan tidak sepenuhnya bakar uang. Mereka memang berhasil mengurangi beberapa biaya yang tidak terlalu diperlukan, seperti ticketing, fasilitas menginap kru, menggunakan pesawat yang penggunaan bahan bakarnya efisien, namun harga tiket juga tidak terlalu murah. Terkadang memang, adakalanya, maskapai memberikan tiket promo yang murahnya sangat kebangetan. Namun, yang perlu diketahui, tiket yang murah sekali itu mungkin hanya 3 hingga maksimal 5 persen dari kapasitas pesawat. Dan biasanya, dijual untuk jadwal penerbangan yang masih lama keberangkatannya. Bisa 6 bulan kedepan, atau bahkan satu tahun kedepan.

Menurut saya, ini bukan strategi “bakar uang”, tapi lebih ke arah strategi untuk mendapatkan dana segar yang bisa dimanfaatkan untuk investasi bisnis yang lain, namun tidak melalui perbankan. Jadi tetap bisa berinvestasi, namun tidak pusing dengan bunga. Jika investasi yang dilakukan berhasil, maka laba yang didapat dari investasi tersebut, bisa dimanfaatkan untuk “menambal” biaya tambahan dari tiket promo tadi.

Dari beberapa metode “bakar uang” yang saya jelaskan sebelumnya, saya bisa melihat sebuah korelasi bisnis, antara uang yang dibakar dan potensi pendapatan yang diharapkan. Sampai kemudian, tibalah di era start up digital sejak mungkin 6 atau 7 tahun silam. Dimulai dengan munculnya angkutan transportasi online seperti uber, gojek, grab yang memberikan harga yang sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan model bisnis transportasi konvensional. Saat itu saya membayangkan, oo pantesan murah, karena dengan model kerja partner, bukan tenaga kerja, si perusahaan bisa memotong biaya yang cukup tinggi. Perusahaan online tersebut juga tidak bertanggung jawab pada perawatan dari kendaraan karena kendaraan tersebut adalah milik partner. Tapi, kemudian datanglah berbagai bonus dan discount yang ditawarkan oleh para startup transportasi online tersebut, sehingga membuat harganya semakin tidak masuk akal. Anehnya lagi, meskipun ada potongan harga, jasa antar yang diberikan pada partner adalah harga tanpa potongan, sehingga yang menanggung potongan harga tersebut adalah pihak perusahaan startup itu sendiri. Bagi saya, ini aneh. Ini adalah sebuah antitesis dari bisnis itu sendiri. Seharusnya, semakin banyak kita menjual dagangan kita, maka semakin untung. Tapi ini lain. Jika misal, semakin banyak orang yang naik ojek online maka biaya diskon yang harus ditanggung oleh perusahaan ojol makin besar, yang artinya makin rugi.

Saya kemudian menduga, apakah ini memang strategi dari para start up untuk menjaring pasar? Jadi mereka sengaja “membakar uang” sebagai bagian dari promosi layanan mereka. Suatu hari nanti, harga mereka akan “normal”. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun berlalu, ternyata masih saja mereka mengeluarkan promo. Meski mungkin nilainya tidak sebesar di awal2 kelahirannya, tapi tetap saja, bagi saya, harga layanan yang mereka berikan, masih sangat murah. Tiga tahun “merugi”, bagi saya sudah cukup bagi perusahaan ojok online untuk kemudian mengajukan pailit, tapi eh, mereka ternyata terus bertahan.

Ini kira-kira kenapa ya? Apa yang membuat mereka bisa bertahan sampai lebih dari dua tahun?

Insya Allah catatan terkait kisah bakar uang di dunia bisnis ini, saya lanjutkan di tulisan kedua. Kebetulan anak saya sudah bangun, dan karena hari ini libur, hari ini adalah tugas saya untuk momong anak, he he he.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *