Banyak orang bilang, adaptasi adalah kunci sukses dari sebuah perjalanan. Perjalanan disini tidak terbatas pada perjalanan traveling saja, tetapi juga perjalanan hidup, perjalanan karir dan perjalanan-perjalanan yang lain. Arti adaptasi bisa kita dapatkan dalam sebuah pepatah lama, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, yang artinya dimana kita berada, hendaknya kita menghormati dan menghargai akan budaya yang ada disana.
Dulu, saya mengira pepatah ini, hanya cocok ditujukan pada manusia. Namun, ternyata salah. Kalau digali lebih dalam lagi, pepatah ini memiliki sebuah pemahaman yang sangat luas. Rumah misalnya. Antara rumah yang dibangun di daerah rawan gempa dan yang tidak rawan gempa, pasti akan berbeda desainnya. Begitu juga dengan pakaian. Pakaian untuk negeri 4 musim dengan negeri 2 musim, pastinya juga akan berbeda. Pakaian yang digunakan warga di dataran rendah dan dataran tinggi juga pasti berbeda. Dan yang terbaru, saya menemukan arti adaptasi pada sebuah makanan.
Hari Jumat sore yang lalu, sengaja saya pulang dari kantor relatif tepat waktu. Sore itu tiba-tiba saya pengen makan ketoprak langganan saya yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari kantor. Sudah lama sekali saya tidak menikmatinya karena seringnya saya pulang malam, sehabis sholat maghrib. Alhasil ketopraknya sudah habis. Terakhir saya mampir sudah sekitar 5 bulan yang lalu.
Ketoprak langganan saya ini memang sangat ramai. Saya masih ingat, dahulu, sekitar 4 tahunan silam, di awal-awal berdagang, sampai waktu sholat isya’ pun, ketopraknya masih ada. Antriannya pun tidak terlalu panjang, sehingga rasanya sangat nyaman. Hanya butuh waktu sebentar untuk menunggu, sepiring ketoprak sudah siap disantap. Sekarang ini, antriannya panjang banget. Orang Surabaya memang pada dasarnya kurang familiar dengan ketoprak. Orang Surabaya lebih suka tahu tek, sebuah makanan yang sama-sama berbahan dasar tahu dan bumbu kacang. Hanya saja ada tambahan petis pada tahu tek. Sedangkan pada ketoprak hanya bumbu kacang dan kecap saja.
Namun, lama kelamaan orang-orang Surabaya pun doyan juga, apalagi bagi yang punya alergi dengan petis. Selain itu, ramainya ketoprak langganan saya ini mungkin juga disebabkan sedikitnya pedagang ketoprak di kota Pahlawan ini, apalagi ketoprak yang enak, sehingga bagi pecinta ketoprak, utamanya warga Jakarta, Jawa Barat dan sekitarnya, yang mendadak pengen, pasti akan mendatanginya.
“Bang, ketoprak, makan sini satu ya, pedes”, ujarku.
“Tambah telur dadar gak bang?”, tanya si abang penjualnya.
Saya mengernyitkan dahi. Lama tidak membeli ketoprak, saya cukup kaget dengan pertanyaan sang penjual.
“Bisa nambah telur dadar sekarang, Bang?”
“Iya bang. Banyak yang minta soalnya. Kalau abang mau, saya tambahkan telur dadar”
“Boleh deh”
Setahu saya, makanan yang khas di kalangan warga sunda dan betawi itu, ya cuman lontong, tahu, bihun, toge dan kerupuk. Kalaupun ada yang menawarkan telur, biasanya telur bulet, bukan telur dadar. Tampaknya, ketoprak di Surabaya sudah beradaptasi dengan lingkungannya, he he he. Atau kalau bahasanya orang ekonomi, si ketoprak beradaptasi dengan kondisi pasar.
Karena belum ada bangku yang kosong, saya pun berdiri di dekat abang penjualnya. Kebetulan antrian sore itu cukup padat merayap. Bersamaan dengan saya, ada juga tiga orang yang memesan untuk makan di tempat, jadinya si abangnya akan membuatkan 4 piring ketoprak. Yang kutahu, biasanya penjual ketoprak menguleg bumbu-bumbunya, termasuk cabe, bawang putih, garam dan bumbu kacang di piring. Jika membuat 4 piring, ya berarti harus menguleg 4 kali. Namun kini, si abangnya mengulegnya bumbu kacang jadi satu di cobek kayu, persis dengan cara yang dipakai untuk menguleg bumbu tahu tek. Lagi-lagi, kearifan lokal digunakan, he he he. Saya memperhatikan dengan seksama ketika si abang menguleg kacang, dan saya memastikan si abang tidak menambahkan petis didalamnya, karena kalau pakai pestis, nanti namanya bukan ketoprak lagi dong, tapi tahu tek.
Jika adonan kacang, sudah lembut, maka si penjual kembali ke piringnya. Dia menaburkan beberapa cabe dan bawang putih di piring. Jumlah cabe tentu saja sesuai permintaan. Cabe dan bawang putih itu kemudian diuleg sebentar. Setelah cabe dan bawang putih tersebut sudah halus, si abang mengambil sebagian bumbu kacang dari cobek untuk dipindahkan ke piring. Kemudian bumbu kacang tersebut diaduk-aduk agar tercampur dengan cabe dan bawang putih. Setelah itu, prosesnya kembali seperti biasanya, memotong lontong, mengiris tahu dan kemudian telur dadar, karena saya tadi spesial pake telor. Setelah itu ditambahkan bihun, toge, kerupuk dan bawang goreng, ketoprak siap untuk disantap.
Ketoprak langganan saya ini mangkal di Jalan Ketintang Baru, tepatnya di sebelah utara KFC Ahmad Yani. Si abangnya buka mulai siang hari jam 1. Biasanya sekitar jam 5 sore sudah habis.
Memang enak banget ketoprak pake telor dadar