Jakarta, sebuah kota megapolitan di Indonesia. Kota terbesar sekaligus pusat pemerintahan negeriku tercinta, Indonesia. Di kota seluas 661,52 km2 (data dari web site bapedda jakarta) ini, aku pernah tinggal selama lebih dari 3 tahun, tepatnya di pertengahan tahun 2005 hingga Desember 2008. Penempatan kerja menjadi alasanku untuk berurbanisasi ke Jakarta.
Lebih dari tiga tahun lamanya aku tinggal di Jakarta, harusnya banyak cerita yang bisa kubagi di waktu selama itu. Nyatanya, dari seratus lebih postinganku di blog ini, belum sekalipun aku menulis tentang Jakarta. He he he, ironi ya, meski memang blog ini lahir setelah aku tidak tinggal lagi di Jakarta.
Kebetulan sejak akhir Oktober 2012 hingga medio November 2012 yang lalu, aku berkesempatan untuk mengunjungi kembali Jakarta. Kali ini dalam rangka training tentang keuangan korporat bersama 19 rekan kerjaku di kantor. Jadilah momen ini pun aku manfaatkan sebagai sarana untuk menuliskan kisah tentang Jakarta di blog ini sekaligus ajang untuk berburu foto.
Sebelumnya, apa kabar rekan-rekan wongkentir sekalian. Tanpa sadar, ternyata aku sudah melewati waktu lebih dari satu bulan tanpa postingan. Waktu ternyata berlalu begitu cepat. Sebulan berlalu ini ternyata membuatku kehilangan sentuhan dalam membuat postingan. Terus terang, aku seperti lupa caranya bercerita. Jadi di postingan pertama setelah absen sebulanan ini, aku tidak menulis banyak dulu.
Pelatihan keuangan ini diadakan di sebuah gedung yang terletak tepat di sekitar Bundaran HI, Jalan MH Thamrin, Jakarta. Sebuah kebetulan buatku, karena sejak menggandrungi hobi fotografi, Bundaran HI lengkap dengan tugu selamat datang sebagai landmark kota Jakarta adalah salah satu tempat impianku berburu foto.
Untuk urusan penginapan, apartemen di Thamrin City menjadi andalan kami. Mencari hotel dengan harga terjangkau di kawasan bisnis seperti kawasan Thamrin adalah sesuatu yang luar biasa susah. Kalaupun ada, kondisinya kurang memadai. Untungnya salah satu dari rekan kerjaku mempunyai kenalan seseorang yang kerjanya menjadi makelar apartemen. Maksudnya disini, orang tersebut me-manage unit-unit apartemen yang tidak ditinggali oleh pemiliknya untuk disewa-sewakan. Sebuah peluang bisnis yang cukup menggiurkan. Hanya saja, ada minimal jumlah hari bagi si penyewa, yakni 7 hari alias satu minggu. Semakin banyak jumlah harinya, harganya tentu semakin murah. Dengan standard 7 hari, harga sewa berkisar antara 400 ribu hingga 500 ribu untuk unit dengan 1 bedroom (untuk 2 orang). Sedangkan untuk yang 2 bedroom (untuk 4 orang) harga sewa dipatok antara 600 hingga 800 ribu.
Dengan tinggal di apartemen, kita bisa lebih bebas berkreasi. Memang kita tidak akan mendapatkan fasilitas breakfast ataupun pembersihan kamar setiap harinya. Tetapi urusan makan pagi tidak akan lagi menjadi masalah jika di setiap unit dilengkapi dengan fasilitas dapur lengkap dengan kompor dan air minum galon. Cukup dengan membuat mie instant lengkap dengan telur rebus atau telur goreng plus secangkir teh, kopi ataupun susu hangat, menu sarapan pagi pun sudah siap.
Ukuran kamar pun lebih luas jika dibandingkan dengan hotel dengan rate yang sama. Dan bagi penggemar fotografi sepertiku, jika beruntung, kita akan mendapatkan unit dengan view gemerlap hutan beton kota Jakarta yang sangat amazing.
Terus terang, meski sudah pernah tinggal selama lebih dari 3 tahun di Jakarta, ini adalah kali pertama aku melihat langsung sekaligus menjalani sebuah kehidupan metropolis Jakarta. Selama 3 tahun di Jakarta sebelumnya, aku tinggal di pinggiran kota Jakarta. Setahun di Jakarta Timur, sedangkan sisanya di antara Grogol dan Pluit. Selama selang waktu itu, aku bekerja bukan di kantoran, melainkan di Pabrik. Satunya pabrik elektronik, satunya lagi pabrik listrik. Baru kali inilah, aku merasakan bagaimana keseharian pekerja kantoran yang berdinas di kawasan bisnis Jakarta macam Sudirman, Thamrin, Senayan ataupun Kuningan.
Berjalan di kawasan bisnis seperti Thamrin ini membuatku berpikir bahwa sebenarnya Jakarta tidak kalah gemerlap dibandingkan kota-kota besar negeri tetangga macam Singapura, Kuala Lumpur ataupun Bangkok. Hanya saja ada satu masalah utama yang dimiliki Jakarta. Apalagi kalau bukan kemacetan. Permasalahan macet ini sebenarnya bisa dicegah kalau Jakarta memiliki transportasi masal yang aman, nyaman dan tepat waktu yang mana akan membuat warganya meninggalkan mobil pribadinya masing-masing.
Semoga dengan kehadiran Pasangan Mr. Jokowi dan Mr. Ahok sebagai Gubernur dan Wagub Jakarta yang baru, bisa segera mewujudkan mimpi warga Jakarta memiliki transportasi Masal sekelas MRT di Singapura, Monorail di KL, BTS (Bangkok Train Sky) di Bangkok atau malah lebih keren. Jika ini semua bisa terwujud, Jakarta bukan hanya menjadi kota tempat kunjungan bisnis saja, tetapi bisa menjadi tujuan wisata internasional.
Eh masih di Jakarta ga Surya? Kok ga ngabar-ngabari toh yooo, Kan kita bisa kopdaran secara kantor tinggal koprol
“Sekarang dah di Sby lagi Dan. Tapi insya Allah minggu depan ke Jakarta lagi. Lengkapnya aku kirim ke email ya”
Yg no 2 paling suka tuuh…meskipun semuanya kereeen.. (as always) 🙂
Ah, ternyata Surya ke Jakarta ada kegiatan dari kantor ya?
Sama sur, biarpun udah hampir 2 bulan tinggal di jakarta, saya juga belum pernah nulis tentang kota ini…hehe, sama lagi tuh, saya juga udah hampir 2 bulan nggak pernah posting karena seribu satu alasan, salah satunya adalah : nggak mood, bete dengan macet dan hingar bingar Jakarta, mungkin karena masih dalam masa adaptasi 🙂
“Iya mbak.. Training. Sabtu minggu juga masuk, hiks”