Langit memerah di ufuk barat mengiringi sang Surya menuju peraduannya. Dari seberang lautan, tampak gunung Agung mengeluarkan kepulan-kepulan asap tebal. Sambil memandangi senja, sesekali saya mengambil beberapa foto. Senja sore ini terlalu sayang untuk tidak diabadikan.
Sore itu, saya menikmati senja di sebuah cafe di pesisir barat gili Trawangan. Sudah sejak jam 5 sore, saya berada di cafe tersebut. Dan rupanya saya adalah tamu pertama di cafe tersebut sore itu, sehingga saya bebas memilih bangku terbaik untuk menikmati senja. Suasana hari yang cukup gerah, membuat saya memilih segelas lemon tea untuk menemani hari.
Tiga puluh menit berlalu, tamu cafe masih hanya saya sendiri. Saya tiba-tiba dirundung kebosanan. Hampir semua sosial media yang saya punya, sudah saya baca, beberapa berita di portal berita pun sudah dibaca, sehingga saya bingung harus melakukan apa sambil menunggu waktu senja tiba. Kamera pun sudah saya hunuskan di atas tripod, bersiap sedia untuk memotret. Ingin rasanya mengajak salah satu dari pelayan cafe untuk sekedar ngobrol, tetapi mereka semua tengah sibuk berdiri di sepanjang jalan. Mereka tak henti-hentinya menawarkan berbagai menu yang ada di cafenya kepada wisatawan yang lalu lalang, namun tidak ada seorang pun yang singgah. Mereka pun mulai mengeluarkan senjata pamungkas berupa promo happy hour, dan strategi ini akhirnya berhasil memikat sepasang wisatawan mancanegara untuk datang. Tapi setelah itu tidak ada lagi tamu yang datang hingga waktu matahari terbenam tiba.
Bagi saya, sebenarnya promo happy hour ini cukup janggal, karena sore ini adalah sabtu malam minggu yang seharusnya waktu peak hour. Bukan rahasia lagi, kalau hari sabtu malam di Gili Trawangan adalah waktu berpesta bagi para wisatawan, terutama bagi wisatawan mancanegara. Menjelang senja, mereka semua akan berbondong-bondong datang ke cafe cafe yang bertebaran di sepanjang pesisir pantai. Sesaat setelah malam tiba, suasana pulau mulai berdentum. Beraneka jenis musik dinyalakan keras-keras dan pesta pun dimulai.
Lebih janggal lagi, suasana sepi ini terjadi di pertengahan bulan Desember, salah satu bulan yang menjadi peak season dari kunjungan wisata Indonesia, termasuk Lombok, karena masa liburan anak sekolah dan menjelang liburan akhir tahun.
Kesempatan untuk sedikit bertanya ke pelayan cafe akhirnya terpenuhi, ketika saya menyadari bahwa es lemon tea yang saya pesan sudah habis. Sambil memesan menu baru, saya berbincang dengan sang pelayan. Ternyata sudah hampir tiga minggu, suasana Gili Trawangan tidak seperti biasanya. Penyebabnya tentu saja erupsi gunung Agung yang beberapa pekan silam membuat bandara internasional Lombok, dan juga bandara Ngurah Rai Denpasar, ditutup. Erupsi ini membuat beberapa negara kompak mengeluarkan travel warning untuk ke Lombok dan Bali, sehingga banyak wisatawan yang akhirnya mengurungkan niatnya untuk menikmati akhir tahun di Lombok dan Bali.
“Jangankan cafe di pesisir barat, mas, cafe-cafe di pesisir timur Gili pun sepi,” sahut mbak pelayan dengan sedikit gontai.
Pesisir timur Gili Trawangan memang merupakan pusat keramaian. Lokasinya yang berdekatan dengan pulau Lombok maupun 2 gugusan pulau lainnya, Gili Meno dan Gili Air, serta akses yang cukup dekat dari pelabuhan, membuat banyak wisatawan lebih memilih untuk menginap di pesisir timur. Meskipun Gili Trawangan adalah pulau yang tidak terlalu luas, tetapi berjalan kaki dari pelabuhan menuju hotel di pesisir barat pulau sambil memanggul tas ransel, ternyata cukup menguras tenaga juga, sehingga banyak wisatawan lebih terkonsentrasi di pesisir timur. Namun, situasi ini membuat wisatawan memiliki banyak pilihan untuk menikmati pulau. Bagi yang ingin suasana yang ramai, hiruk pikuk, dekat dengan pusat jajanan, maka menginaplah di sekitaran pesisir timur. Tapi, bagi yang menginginkan sebuah suasana yang tenang dan damai, maka hotel-hotel di pesisir barat bisa menjadi pilihan yang tepat. Tidak ada kendaraan bermotor di Gili Trawangan, tapi tersedia Cidomo, delman khas gili trawangan, dan sepeda sewa.
Tanpa terasa, matahari pun akhirnya terbenam di ufuk barat. Langit pun mulai gelap dan saya memutuskan untuk mengakhiri perburuan sunset hari itu. Saya mengayuh kembali sepeda sewa untuk menuju penginapan di pesisir timur. Sepanjang perjalanan menuju penginapan, keheningan tersaji dimana-mana. Beberapa cafe memang memiliki tamu, namun tidak banyak, bahkan ada cafe yang benar-benar kosong melompong. Keramaian pulau baru terasa di ketika sepeda yang kendarai memasuki wilayah pesisir timur. Beberapa cafe yang dikelola oleh hotel-hotel berbintang cukup ramai oleh wisatawan, tetapi itu pun setelah saya amati, cafe tersebut ramai, karena hotel tersebut didatangi rombongan karyawan perusahaan yang tengah menyelenggarakan kegiatan semacam gathering. Selama perjalanan dari pesisir barat hingga tiba di hotel, cukup jarang saya berpapasan dengan wisatawan lain, baik yang berjalan kaki maupun bersepeda.
Saya sendiri sebenarnya lebih senang dengan suasana yang tenang seperti ini. Tidak terlalu banyak wisatawan, membuat kondisi pulau tidak terlalu padat. Saya bisa menikmati senja dengan nyaman dan syahdu. Tiadanya dentuman musik, membuat saya bisa mendengarkan suara hembusan angin yang berpadu lirih dengan alunan gelombang laut yang menjilati bibir pantai. Saya pun seperti memiliki pantai pribadi. Saya juga bisa leluasa mengambil foto dari sudut mana saja tanpa khawatir terhalang oleh wisatawan yang lain. Saya pun bisa duduk berlama-lama di cafe, meskipun minuman dan kudapan yang saya pesan sudah habis, tanpa merasa tidak enak hati dengan tamu baru yang tidak kebagian tempat duduk.
Meskipun saya lebih menyukai suasana yang tenang, saya tetap berharap erupsi gunung Agung bisa segera berakhir dan dunia pariwisata di Indonesia, khususnya di pulau Lombok bisa bergairah kembali.