Suatu sore di bulan April 2019, di sebuah hari, dimana untuk pertama kalinya saya menjejakkan kaki di pulau Timor. Kurang dari 24 jam saya berada disini, tapi saya bersyukur, saya berhasil bertemu senja yang sempurna.
Pantai warna Oesapa, disanalah saya menyaksikan detik-detik tenggelamnya sang bintang. Ditemani dengan sepiring mie instan, segelas teh tarik dan alunan musik berbagai genre, mulai dari reggae, dangdut, pop, rock hingga gambus.
Menurut cerita sang driver yang menemani saya sore itu, Pantai Oesapa adalah salah satu pusat berkumpulnya warga kota Kupang. Di pagi hari, banyak orang berolahraga pagi disini, mulai senam atau sekedar jogging. Ketika sore menjelang, suasana pantai makin riuh. Speaker-speaker berukuran jumbo yang terdapat pada masing-masing cafe yang berderet di pesisir pantai, bersahut-sahutan mendendangkan lagu.
Sore itu saya beruntung. Sejatinya cuaca di kota Kupang hari itu tidak begitu bersahabat. Sejak siang hari, cuaca yang awalnya cerah terik berubah menjadi berawan tebal, mendung dan kemudian hujan. Nyaris saja saya mengurungkan niat mengunjungi pantai Oesapa. Namun kemudian sekitar jam 16.30, hujan reda. Awan-awan di langit pun tersibak, dan matahari pun menampakkan wajahnya kembali.
Sore itu mungkin bukan senja terindah yang pernah saya saksikan, tapi salah satu senja yang membuat saya sangat bahagia. Kurang dari 24 jam saya di pulau Timor, tapi saya mendapatkan senja yang indah. Maka nikmat Allah mana yang kamu dustakan?