Indonesia, Negeri Yang Berdiri Dari Keberkahan Perjuangan

Bismillahirrahmanirrahiim

Indonesia Negeri Yang Berdiri Dari Keberkahan Perjuangan

Memasuki bulan Agustus, bulan dimana negeri tercinta kita, Indonesia, memperingati hari kemerdakaannya, mohon ijin, saya menyampaikan sedikit rangkuman dari tausiyah Ust Salim A Fillah Salim A. Fillah saat bedah buku karya beliau yang berjudul Kisah-Kisah Pahlawan Nusantara

Tausiyah ini dapat ditonton di Youtube pada link

Berbicara kemerdekaan, ada sebuah mindset yang tersisa dari paradigma kolonialisme, yang selama ini masih melekat erat di benak kita, karena hal itulah yang diajarkan kepada kita, pada saat kita belajar mata pelajaran sejarah di sekolah, bahwa negeri kita, Indonesia, adalah negeri yang dijajah selama 350 tahun. Sebuah mindset, yang kemudian masuk ke kepala kita, dan karena sebagian besar orang menerima pendapat itu, maka mindset itu seperti menjadi sebuah kebenaran. Selanjutnya, karena menggangap diri sebagai bangsa terjajah, apalagi dalam jangka waktu yang lama, tanpa disadari, itu mempengaruhi mental kita. Kita seringkali merasa minder jika berhadapan dengan bangsa lain, terutama para bangsa penjajah.

Padahal, kalau kita mau melihat sejenak dengan apa yang terjadi sekarang ini, di negeri-negeri bekas jajahan yang lain, maka yang terjadi di Indonesia itu adalah hal yang berbeda.

Pertama, kita berlayar jauh ke belahan bumi bagian barat, untuk menyaksikan kisah yang terjadi di sana. Pada masa-masa sebelum tahun 1492, sebelum Christopher Columbus, Amerigo Vespuci, Fernando Cortez, Fransisco Pizzaro dan para penjelajah Eropa datang, di benua Amerika, diperkirakan populasi penduduk asli Amerika, yang oleh para penjelajah secara salah kaprah disebut Indian karena mereka mengira sudah sampai ke negeri India, mencapai sekitar 50 – 110 juta. Jumlah yang tentunya sangat besar.

Lalu bagaimana nasib suku Indian saat ini? Menurut data yang tersebar di internet, Sejak kedatangan para penjelajah Eropa yang kemudian diiringi dengan pendudukan dan penjajahan, jumlah populasi suku Indian bukan malah meningkat, tapi malah menurun drastis. Saat ini, jumlah suku indian yang tersisa, diperkirakan hanya tinggal sekitar 6.8 juta atau sekitar 3% dari populasi manusia di benua Amerika. Sebagian besar dari mereka tinggal di area yang disebut sebagai Reservasi Indian.

Bukan hanya populasinya yang menurun drastis, kebudayaan dan bahasa mereka pun nyaris lenyap. Saat ini, dari ujung utara hingga ujung selatan benua besar itu, seluruh kebudayaan dan bahasa yang digunakan adalah warisan dari penjajahnya. Kanada berbahasa Prancis, Amerika Serikat, Jamaika berbahasa Inggris, Meksiko, Argentina, Chile, Uruguay berbahasa Spanyol, Brasil berbahasa Portugis, Suriname berbahasa Belanda.

Kedua, kita menyeberang ke arah tenggara, ke sebuah benua terkecil di Bumi, untuk merenungi hikayat sebuah suku yang merupakan penduduk asli dari benua tersebut. Sebelum tahun 1770, tahun dimana Kapten James Cook tiba di pantai timur benua bernama Terra Australis Incognito itu, atau Tanah Selatan Yang Tidak Diketahui, atau yang populer disebut Australia, diperkirakan jumlah populasi Suku Aborigin, suku asli benua tersebut, yang menurut penelitan sudah mendiami wilayah tersebut selama 60.000 tahun, mencapai 8 – 12 juta jiwa.

Saat ini, diperkirakan populasi suku Aborigin hanya sekitar 700 ribu – 1 juta jiwa, atau sekitar 3.8% dari total penduduk Australia, dengan status konservasi. Jumlah ini memang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah awal suku Aborigin sebelum Abad ke-18. Tapi, jumlah ini sebenarnya jauh meningkat pesat jika dibandingkan populasinya sebelum tahun 2000an yang diperkirakan hanya berjumlah puluhan ribu jiwa saja. Tidak hanya populasi yang menyusut, saat ini, budaya dan bahasa resmi yang digunakan di benua tersebut, adalah warisan dari penjajahnya.

Bandingkan itu semua dengan negeri kita, Indonesia, yang katanya dijajah selama 350 tahun. Dengan masa penjajahan selama itu, ternyata sampai dengan detik ini, jumlah warga Indonesia yang mendiami ribuan pulau di seantero nusantara bukannya berkurang, malah tumbuh pesat. Data menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia di tahun 2023 ini sudah lebih dari 270 juta jiwa. Jumlah sebanyak itu, jelas bukan sisa. Penduduk sebanyak itu juga masih menggunakan bahasa, budaya dan adat istiadat dari sukunya masing-masing. Jawanya tidak hilang, Bugisnya tidak hilang, Bataknya tidak hilang, Sundanya tidak hilang, Melayunya tidak hilang, Maduranya tidak hilang, Banjarnya tidak hilang, Sasaknya tidak hilang, Bajonya tidak hilang dan masih terdapat lebih dari 1300 suku yang mendiami wilayah nusantara dengan kebudayaan dan bahasa tutur yang masih terjaga hingga saat ini. Bahasa nasional yang digunakan pun, bukan bahasa dari Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis ataupun bahasa Jepang, yang pernah menduduki negeri ini, tetapi bangsa ini bangga memiliki bahasa persatuan sendiri yakni bahasa Indonesia.

Belanda baru bisa menembus Aceh di akhir abad ke-19, itupun setelah perang sekitar 40 tahun. Pangeran Diponegoro melakukan sebuah gerilya selama 5 tahun, 1825-1830, yang membuat Belanda mengalami kebangkrutan yang luar biasa, karena untuk menghentikan Diponegoro, Jenderal Hendrik Merkus baron de Kock harus membangun sekitar 160an benteng. Sultan Hasanuddin, pemimpin Gowa-Tallo, tidak gentar menghadapi pasukan Cornellis Spellman. Laksamana Keumalahayati, laksamana wanita dari Aceh berhasil menaklukan dan menikamkan rencongnya ke jantung Cornelis de Houtmann, kapten Belanda yang bikin onar di Aceh, dalam sebuah pertarungan di atas kapal. Jauh sebelumnya, di tahun 1513 dan 1521 armada pangeran Fathi Unus dari Demak, yang dibantu oleh armada dari Semarang, Palembang, Bugis, menggempur pasukan Portugis di Malaka. Setelahnya, yakni di tahun 1527, terdapat kisah dari Fadillah Khan atau Falatehan, yang membuka Sunda Kelapa yang dikuasai Portugis. Falatehan pun kemudian dikenal dengan nama Fatahillah, yang artinya “Kemenangan dari Allah”. Sedangkan kota Sunda Kelapa dirubah namanya menjadi Jayakarta, yang mana nama itu diambil dari bahasa sansekerta yang artinya “Kemenangan yang Agung”.

Dua nama tersebut, Fatahillah dan Jayakarta, diambil nama surat dari Al Quran, Surat Al Fath.

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” (Q.S Al Fath Ayat 1)

Jadi, sudah seharusnya, saat ini, kita merubah mindset generasi kita, , , . Mungkin, bangsa ataupun suku di benua Amerika ataupun Australia tadi juga berperang dalam rangka mempertahankan tanah airnya. Tetapi, satu hal ada yang berbeda antara perang dari pejuang kita dan pejuang mereka, yaitu mindset atau pola pikir atau niat, yang mendasari perjuangan. Perbedaan itulah yang memberikan keberkahan pada perjuangan para pejuang dan pahlawan nusantara, dan itulah yang membuat bangsa ini tetap exist sampai saat ini.
Apa mindset, pola pikir atau niat dari para pahlawan nusantara, yang berbeda dengan suku di Amerika ataupun Australia? Nah kalau untuk detilnya, silakan menyimak tausiyah Ust Salim A Fillah. Karena ini adalah tausiyah terkait sejarah, maka jika mungkin rekan-rekan tidak sempat meluangkan waktu khusus untuk mendengarkan karena mungkin kesibukan, maka tausiyah ini bisa dinikmati dengan santai, misalnya sembari menyetir kendaraan atau saat menumpang kendaraan umum seperti bus, pesawat, kereta api, sembari jalan pagi ataupun sembari berwisata. Isi dari tausiyahnya sangat bermanfaat dan insya Allah akan bisa merubah banyak dari mindset kita selama ini.

Sidoarjo, 1 Agustus 2023, 14 Muharram 1445H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *