Pagi masih sangat dini ketika saya dan seluruh tim Laskar Gerhana bertolak dari hotel di kawasan kota Tanjung Pandan menuju pelabuhan Tanjung Batu. Begitu merebahkan badan di kursi bus, saya pun memejamkan mata untuk mencoba melanjutkan mimpi yang terputus beberapa jam yang lalu. Tapi saya gagal, karena mendadak kantuk itu hilang entah kemana. Suasana di bus sangat sunyi dengan sayup-sayup terdengar suara dengkur bersahut-sahutan.
Saya pun akhirnya menghabiskan waktu dengan bermain game di ponsel karena tidak ada teman ngobrol. Perjalanan dini hari dari hotel menuju Tanjung Batu pun menjadi perjalanan terhening selama rangkaian acara Laskar Gerhana berlangsung.
Sesampainya di pelabuhan Tanjung Batu, kami disambut dengan ramah para perwira Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan kru kapal Bintang Laut yang sudah siap sejak beberapa jam yang lalu. Mereka lalu mempersilakan kami semua untuk menaiki kapal Bintang Laut.
Angin laut yang menderu cukup kencang menyapa kami begitu kapal mulai bergerak menuju lepas pantai. Sesaat, saya menyesal tidak membawa jaket. Tetapi sejurus kemudian saya mendapatkan ide. Saya mengambil sarung dari dalam tas, yang sengaja saya bawa sebagai peralatan sholat. Sarung tersebut kemudian saya lilitkan di sekujur tubuh untuk melindungi diri dari terpaan angin.
Sambil mengisi waktu menuju matahari terbit, kami diajak menjelajahi kapal Bintang Laut mulai dari ruang kemudi, dapur, toilet, ruang makan hingga ruang rekreasi. Kami juga diajak mengunjungi haluan kapal dan juga dek terbuka di lantai dua. Rencananya di dek di lantai 2 inilah kami akan melakukan pengamatan gerhana matahari.
Di dek lantai 2 ini penjelejahan berakhir. Banyak rekan laskar gerhana yang memutuskan untuk turun kembali ke dek lantai 1. Hanya saya dan beberapa gelintir rekan yang tetap bertahan disana. Memang angin terasa lebih kencang disana, karena tidak ada penghalang baginya untuk berhembus. Tetapi pemandangan gemerlapan bintang di kolong langit dini hari itu membuat saya rela untuk melawan terpaan angin.
Sekitar pukul 4.30 pagi, fajar mulai menghias ufuk timur. Tak lama berselang, salah satu awak kapal mengumandangkan adzan Subuh. Sembari mendengar adzan, awak kapal yang lain dengan dibantu rekan-rekan laskar gerhana menghamparkan karpet dan sajadah. Dek lantai 2 pun disulap menjadi musholla.
Sepuluh menit kemudian, seluruh laskar gerhana, para perwira dan awak kapal yang beragama islam menunaikan sholat subuh berjamaah dengan dipimpin Ustadz Uci. Tanpa mengurangi kekhusukan sholat, dikarenakan kondisi laut yang sedikit bergelombang, maka sholat subuh pun dijalankan dengan posisi duduk. Setelah sholat, karpet-karpet itu sengaja tetap dihamparkan, karena nantinya akan digunakan untuk sholat gerhana.
Waktu berlalu, fajar pun mulai merekah. Guratan-guratan jingganya seolah merobek hitamnya langit. Perlahan-lahan, matahari pun mulai menyingsing. Dinginnya angin laut perlahan-lahan memudar karena paparan sinar mentari pagi yang begitu hangat. Para laskar gerhana mulai beraksi. Kilatan lampu flash dan deru suara shutter kamera bersahut-sahutan memeriahkan pagi.
Semakin lama, langit pun mulai terang. Disana kami akhirnya bisa melihat, ada awan gelap cukup tebal menggelayut di perairan utara Belitung yang mana awan ini diprediksi bisa mengganggu kegiatan pengamatan gerhana. Setelah berunding sejenak, akhirnya diputuskan untuk memutar haluan kapal ke arah selatan, karena di selatan, langit terlihat sangat cerah.
Sekitar pukul 6.20 pagi, fase gerhana dimulai. Perlahan demi perlahan sang rembulan bergerak menutup wajah sang mentari. Ustadz Uci lalu mengajak kami semua yang beragama Islam untuk menjalankan sholat sunnah gerhana. Setelah sholat, Ustadz Uci menyampaikan khutbah yang intinya adalah gerhana matahari bukanlah fenomena menakutkan yang sering kali dibumbui takhayul dan mitos, tetapi sesungguhnya adalah satu diantara tanda-tanda kekuasaan Allah seperti firman-Nya di Al Quran. Mungkin inilah persahabatan sejati, bersatu dalam jamaah sholat. Semoga Allah merahmati persahabatan gerhana ini.
Usai sholat, saya pun memulai perburuan foto gerhana matahari. Dengan bantuan filter ND1000 saya mencoba mengambil gambar gerhana matahari sebagian. Alhamdulillah, hasilnya lumayan, meski saya tidak mendapatkan background maupun foreground foto tapi cukuplah sebagai pelengkap cerita. Saya juga mencoba melakukan pemotretan dengan menggunakan kamera ponsel yang saya beri filter lensa dari kacamata gerhana. Ternyata hasilnya juga cukup lumayan untuk bisa segera di share ke rekan-rekan yang ada di Surabaya maupun pembaca setia pasangmata detikcom.
Sekitar jam 7 lebih 15 menit, suasana mulai meredup. Kondisi matahari sudah tertutup lebih dari 80 persen. Suasana langit mulai tampak seperti menjelang petang. Saya pun mulai melepas filter ND dari kamera sebagai persiapan untuk memotret Gerhana Matahari Total. Selang tak seberapa lama, fase totalitas gerhana dimulai. Langit menggelap seperti lazimnya suasana di waktu maghrib. Tiba-tiba saya merasa merinding memandang sang mentari di ufuk timur sana. Saya seperti tak mampu bergerak ataupun berkata. Saya seperti membeku saat menatap keajaiban yang hadir di kaki langit. Saya semakin gemetaran ketika gema takbir, tahmid dan tasbih terucap bersahut-sahutan dari seluruh penumpang kapal. Butuh tiga puluh detik bagi saya untuk bisa kembali menguasai keadaan dan kemudian memotret fase totalitas gerhana baik dengan kamera maupun dengan ponsel.
Setelah fase totalitas berakhir, saya memutuskan untuk mengakhiri sesi pemotretan gerhana pagi itu. Saya kemasi tripod dan kamera untuk kemudian duduk terpekur sambil merenung di salah satu sudut dek kapal. Sungguh, manusia ini benar-benar kecil dibandingkan dengan-Nya. Dan pagi itu, Dia menunjukkan tanda-tanda kebesarannya melalui peristiwa gerhana matahari yang menakjubkan.
Ketika gerhana usai, perut pun mulai terasa keroncongan. Kami pun kembali ke dek lantai 1, dimana disana ternyata sudah tersaji soto ayam yang dibuat khusus oleh kru kapal Bintang Laut untuk laskar Gerhana. Alhamdulillah. Sarapan pagi bersama di atas kapal sungguh sangat menyenangkan. Suasana yang penuh dengan keramahan dan keakraban. Meski begitu, ternyata ada tantangan tersendiri untuk menyantap makanan di tengah laut seperti ini, terutama makanan ringan seperti kerupuk, karena mereka sering diterbangkan angin yang berhembus cukup kencang.
Seusai sarapan pagi, para laskar gerhana pun bersiap untuk perjalanan selanjutnya ke pulau Lengkuas. Hanya saja, perjalanan dilanjutkan tidak dengan kapal Bintang Laut, karena selain kapal tidak bisa berlabuh di pulau Lengkuas, kapal juga harus kembali ke pelabuhan Tanjung Batu untuk bersiap dengan tugas selanjutnya yang sudah menanti. Kami pun mengucapkan salam perpisahan sekaligus terima kasih kepada para perwira beserta kru kapal yang dengan ramah menyambut kedatangan kami dan juga mengantarkan kami ke spot terbaik untuk pengamatan gerhana matahari. Terima Kasih.
Sebelum berpisah dan berganti kapal, para laskar gerhana berfoto bersama dengan seluruh perwira dan kru kapal sebagai bekal cerita di masa depan nanti bahwa pernah di suatu pagi, di tanggal 9 Maret 2016, kita berlayar dan memburu gerhana matahari total di perairan Belitung bersama-sama.
Insya Allah cerita akan berlanjut lagi di postingan berikutnya
Wow keren bener fotonya ini. Seru ya bisa terpilih jadi laskar gerhana 🙂
Seru banget mbak, bisa berburu gerhana sekaligus dapat teman baru. Its so memorable 🙂
miris ngebaca nya mas, karena g jadi brangkat kemana2 pas gerhana 🙁
Btw yang sholatnya pake sarung cuman orang Gresik hehehe
Ha ha ha, perhatiannya ke sarungnya 😀
Membacanya aja merinding, apalagi yang jadi bagian dari Laskar Pelangi.
Kagum sama foto GMT-nya.
Iya mbak, rasanya merinding dan benar-benar merasa betapa kecilnya kita. Benar-benar fenomena alam yang sungguh luar biasa
Aku ngak sempet sholat gerhana, di jembatan ampera penuh sesak jdi susah keluar ke mesjid nya
Kalau di jembatan ampera, jelas ga bisa bang, lha wong kabar2 di media, jembatannya penuh sesak sama orang