Aku duduk terdiam di sebuah bangku bus yang empuk. Ku rebahkan dan pasrahkan seluruh badanku padanya. Kurasakan sedikit kekakuan di leher sisa perjalanan semalam tadi. Hoaem.. mulutku menguap lebar, mencoba mengambil dalam-dalam oksigen yang tersisa di udara. Refleks, aku kucek mataku yang masih terasa sangat berat untuk terbuka.
Suasana di dalam bus cukup hening. Yang terdengar hanyalah raungan mesinnya yang menderu lirih menembus jalanan. Aku lempar pandangan ke sekitarku. Tampak sebagian besar dari para penumpang bus yang merupakan komunitas dblogger Suroboyo tengah asyik melanjutkan mimpinya yang terputus dini hari tadi.
Baru sekitar dua jam yang lalu, kami semua harus segera menyudahi mimpi karena KA Mutiara Timur yang membawa kami sejak dari Surabaya sudah tiba di Banyuwangi. Setelah mampir ke hotel sejenak untuk sholat Subuh dan bersih-bersih badan, kami langsung melanjutkan perjalanan kembali dengan menggunakan moda transportasi bus. Karena perjalanan dari Banyuwangi kota ke arah barat menuju Kalibaru memakan waktu yang cukup lama, sekitar 3 jam, maka banyak dari kami memilih untuk langsung melanjutkan tidur.
Sebagian kecil lainnya tampak asyik bercengkerama dengan telepon selulernya sambil mengetikkan beberapa karakter untuk dikicaukan di dunia maya.
Pagi itu fajar baru saja berlalu, tetapi yang nampak di ufuk timur sana hanyalah putih kelabu. Tiada semburat merah jingga yang biasanya menghias angkasa pagi.
Ingin rasanya mengikuti jejak rekan-rekanku untuk tidur. Sudah berulang kali aku mencoba memejamkan mata, tetapi tetap saja dia tak mau terlelap, padahal kantuk menyerang dengan sangat hebat. Ya sudahlah, tampaknya aku memang diminta terjaga untuk bisa menikmati pemandangan yang tersaji di luar sana.
Jalanan yang kami lalui cukup lebar. Terdapat empat jalur disana, dua jalur untuk ke arah barat dan dan dua jalur untuk ke arah sebaliknya. Jalanan relatif mulus dengan marka jalan yang sangat tegas. Yang membuatku berdecak kagum dari tadi aku hanya melihat sedikit sampah yang tercecer di jalanan, mulai dari Banyuwangi kota hingga Kalibaru. Padahal, beberapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 2011, Banyuwangi sempat mendapat predikat kota terkotor. (Sumber dari sini). Hmm, kayaknya asyik dan keren juga Pak Abdullah Azwar Anas ini.
Pusat Kerajinan Alat Dapur Desa Kalibaru Wetan
Menjelang pukul 8 pagi, kami mulai memasuki area Kalibaru. Awan mendung yang tadinya menguasai langit mulai berarak pergi, sehingga pancaran sinar matahari sanggup menembus hingga kulit bumi.
Lalu lintas Banyuwangi Kalibaru pagi ini memang sangat lancar tanpa ada kepadatan sama sekali, sehingga hanya dalam waktu dua jam saja, kami sudah sampai. Pemandangan menarik pun mulai bermunculan di pinggiran jalan yang merupakan Jalan Utama Banyuwangi Surabaya via Jember itu, yakni kemilau dari peralatan dapur yang terpapar sinar matahari. Peralatan dapur itu tergantung dengan rapi di toko-toko yang berjajar di sepanjang sisi kiri kanan jalan.
Sebenarnya bagiku tidak ada yang spesial dari toko peralatan dapur. Tokh aku sendiri sudah sering melihatnya. Tapi penasaran juga kalau jumlah tokonya sangat banyak seperti ini. Toko-toko ini baru atau sudah lama? Lalu kira-kira berapa omzet per harinya? Tapi karena memang tidak ada didalam itinerary yang sudah disusun panitia, ya aku mencoba mengira-ngiranya sendiri.
Eh, tiba-tiba saja, kecepatan bus yang kutumpangi ini mulai melambat dan bergerak ke kiri seraya beberapa detik kemudian berhenti tepat di salah satu toko. Lho, aku cuman bisa bergumam keheranan.
Ibu Yayuk Andini
Dari salah seorang pedagang bernama Ibu Yayuk Andini (45 tahun), aku mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaanku tadi. Menurut beliau, sentra peralatan dapur ini mulai ada sejak pertengahan dekada 80an. Tetapi mulai ramai sekitar dekade 90an. Bu Yayuk sendiri berjualan mulai tahun 1997.
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat aneka peralatan dapur itu adalah Stainless Stell, Aluminium, Galvalum serta kayu. Harga yang dipatok untuk satu buah peralatan berkisar antara 10 ribu rupiah hingga 400 ribu rupiah, bergantung besarnya, jumlah barang yang dibeli dan juga bahannya. Untuk bahan, peralatan dengan bahan Stainless Stell menjadi yang termahal diantara bahan yang lain.
Pembelinya kebanyakan warga sekitar Jawa Timur dan Bali, meski sesekali ada warga Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Tidak jarang pula ada wisatawan asing yang berbelanja di tokonya. Para bule ini biasanya membeli pernak-pernik kecil seperti cangkir, teko ataupun tatakan gelas untuk dijadikan kenang-kenangan. Pernah suatu kali Bu Yayuk menawarkan wajan dengan harga yang sangat murah, mereka tetap menolak, karena akan sangat susah bagi mereka untuk membawanya.
Selain dipasarkan langsung di toko, beberapa produk juga ada yang dikirim ke seluruh nusantara. Tetapi sayangnya belum menembus pasar ekspor. Bu Yayuk sendiri sebenarnya hanya fokus menjual di tokonya saja dan belum pernah mengirimkan produk-produknya, hanya saja dia tahu bahwa beberapa rekan sejawatnya sudah ada yang berhasil mengirimkan produknya hingga ke seluruh Indonesia.
Ketika ditanya tentang omzet, bu Yayuk memberikan angka sekitar 400 ribuan rupiah per hari untuk hari biasa dan bisa menembus hingga lebih dari satu juta rupiah ketika di akhir pekan. Mengenai persaingan, dengan bersahaja, Bu Yayuk percaya bahwa rizki itu sudah Allah atur, sehingga dia yakin bahwa setiap pedagang sudah ada rizkinya masing-masing. jadi kalau dikatakan bersaing, ya tetap bersaing, tetapi diluar itu, mereka semua tetap hidup rukun dan guyub.
Resort Margo Utomo
Setelah mampir sebentar di Sentra Peralatan Dapur, kami pun melanjutkan perjalanan ke Margo Utama Resort, sebuah resort bergaya Eropa yang mempunyai sejarah cukup panjang di dunia pariwisata Banyuwangi. Seperti yang dituturkan di web site resmi Margo Utomo Resort yakni www.margoutomo.com, Kisah bermula di tahun 1943, saat H.R.M. Moestadjab, pendiri Margo Utomo mewarisi tanah dari ayahnya. Pada awal berdirinya, resort ini bukanlah hotel, tetapi hanyalah sebuah perkebunan yang luas dengan dipadu peternakan sapi perah skala kecil (karena jumlah sapinya masih sedikit).
Pintu Masuk Peternakan dan Perkebunan Margo Utomo
Tahun 1975, harga dari semua produk perkebunan terjun bebas. Hal ini membuat Pak Moestadjab sempat kesulitan untuk melanjutkan usaha perkebunannya. Sampai pada akhirnya dia mendapatkan ide cemerlang untuk menggabungkan konsep perkebunan dan wisata. Dimulai dari memanfaatkan kamar di rumahnya sendiri untuk menerima tamu, Pak Moestadjab memulai usahanya tersebut. Usaha ini ternyata berkembang sangat pesat dan hingga saat ini Margo Utomo telah memilik 51 kamar. Pak Moestadjab meninggal di tahun 2000, disusul kemudian istrinya di tahun 2008. Kini anak mereka, Bu Endang Mariana yang melanjutkan perjuangan Margo Utomo.
Setibanya di Margo Utomo, kami langsung disambut oleh Bapak Ari, salah satu staf dari Margo Utomo Resort yang akan memandu kami berkeliling.
Perjalanan di mulai dari Margo Utomo Dairy Farm atau Peternakan Sapi. Total ada sekitar 100 ekor sapi disini, dan semuanya berjenis Holstein Friesian, jenis sapi perah asli Eropa yang dikenal memiliki produksi harian susu terbanyak. Sejarahnya, pada awal berdirinya resort ini, Pak Moestadjab mendapat hadiah anak sapi betina jenis Holstein Friesian dari rekannya di Belanda. Kemudian sapi ini dikawinkan dengan pejantan lokal dan akhirnya berkembang biak hingga banyak seperti sekarang ini.
Dari informasi yang disampaikan oleh Bapak Sudi, Manajer dari peternakan, pemerahan susu dilakukan dua kali sehari, yakni mulai jam 7 pagi hingga jam 7 sore. Pemerahan dilakukan dengan cara modern, yaitu dengan alat pemerah susu, bukan dengan tangan. Satu ekor sapi menghasilkan antara 5 hingga 25 liter susu per hari. Saat ini dari 100 ekor sapi, ada sekitar 38 sapi yang produktif menghasilkan susu. Semua produk susu dan turunannya seperti keju, digunakan sepenuhnya untuk menjamu tamu yang menginap di Margo Utomo Resort yang kebanyakan adalah wisatawan asing. Sisanya baru dijual ke daerah Banyuwangi, Jember hingga Bali.
CakWig mencoba memerah susu
Rekan-rekan blogger terlihat sangat antusias di Perternakan Sapi ini. Bahkan beberapa diantaranya ada yang mencoba praktek memerah susu.
Setelah puas dengan peternakan susu, kami diajak berkeliling ke area perkebunan. Disini aku melihat beberapa tumbuhan yang selama ini aku hanya tahu produk dan rasanya saja, tetapi belum tahu wujud pohonnya, seperti buah pala, vanilla dan lada. Selain ketiga pohon tadi, ditanam pula Salak, Kelapa, Durian Merah, Kayu Manis, Kopi jenis robusta dan juga tebu. Disini kami juga sempat mencicipi manisnya gula kelapa.
Pohon Kayu Manis
Pohon Vanilla
Pohon Kopi Robusta
Berburu Gula Kelapa
Manisnya Gula Kelapa
Ada hal yang perlu diperhatikan jika ingin betah berkeliling Perkebunan, yaitu jangan lupa memakai lotion anti nyamuk, karena gigitan nyamuk hutan bikin kulit terasa gatal hingga bentol bentol.
Setelah dari perkebunan, kami diajak melihat cottage-cottage yang diperuntukkan untuk tamu. Kebetulan saat kami datang, Margo Utomo sedang low season, sehingga kesempatan ini dimanfaatkan pengelola untuk melakukan pembersihan menyeluruh serta renovasi. Yap Margo Utomo tengah bersolek untuk menyambut tamu yang biasanya mulai berdatangan sejak bulan Februari, lalu mencapai puncaknya pada bulan April hingga Oktober.
Sebelum mengakhiri kunjungan, aku sempatkan membeli keju untuk keluarga di rumah. Hanya saja, karena keju ini tanpa pengawet, umurnya tidak terlalu lama jika tidak disimpan di lemari es. Ya semoga saja kejunya belum basi ketika tiba di rumah.
Setelah menjelajahi daerah Kalibaru, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Adat Using, Kemiren untuk berburu kenikmatan kopi. Tunggu ceritanya dan tetap stay tuned di blog ini.
Pohon palanya nggak ada ta, Sur?
“Ada mbak, tapi gak kepoto. Besar banget ya pohonnya”