Berkunjung ke kabupaten Jember, kurang langkap rasanya jika tidak singgah di Pantai Pasir Putih Malikan atau yang lebih dikenal dengan nama Pantai Papuma. Lokasinya yang cukup dekat, hanya berjarak sekitar satu jam perjalanan ke arah selatan kota Jember, dan kondisi jalanan yang sudah baik, membuat Pantai ini harus masuk dalam kategori “must see” saat berkunjung ke kota Jember.
Bulan September 2016 yang lalu, ada sebuah undangan pernikahan dari seorang sahabat di kota Lumajang. Dengan jarak Jember – Lumajang yang hanya dipisahkan satu jam perjalanan, plus sudah sejak lama ingin mencicipi keindahan pantai Papuma, jadilah saya melanjutkan perjalanan hingga ke timur.
Di dunia ini sudah ratusan, ribuan atau bahkan jutaan kata mutiara terbuat. Ada yang pendek, berupa satu, dua, tiga buah kata, ada juga yang panjang hingga membentuk kalimat bahkan paragraf. Diantara semua kata mutiara itu, ada satu sosok yang selalu digunakan untuk menggambarkan sebuah arti ketegaran. Dan sepertinya hanya sosok itulah yang pantas untuk menyandang arti sebuah ketegaran. Dialah sang batu karang.
Salah satu karang yang sangat melegenda di seantero pulau Jawa atau bahkan Indonesia, sebagai perwujudan arti kata ketegaran, adalah batu karang di sekitar perairan Pantai Pasir Putih Malikan, kabupaten Jember, Jawa Timur atau yang lebih dikenal sebagai Pantai Papuma.
Bulan Mei adalah bulan yang sangat spesial untuk kota Surabaya. Di setiap akhir bulan Mei, tepatnya di tanggal 31 Mei, kota yang mendapat julukan kota pahlawan ini merayakan hari ulang tahunnya. Dalam rangka menyemarakkan hari jadi kota terbesar kedua di Indonesia itu, pemerintah kota Surabaya mengadakan banyak sekali kegiatan, seperti aneka macam lomba dan juga beberapa festival. Untuk itulah, bulan Mei adalah bulan yang sangat tepat untuk mengunjungi kota Surabaya.
Salah satu festival yang diselenggarakan untuk meramaikan perayaan hari jadi kota Surabaya di tahun 2016 ini adalah Surabaya Urban Culture Festival. Acara yang diadakan pada hari Minggu, 29 Mei 2016 yang lalu ini, mengambil tempat di salah satu jalan yang sangat termahsyur di Surabaya, yaitu Jalan Tunjungan.
Ratusan warga kota Surabaya tumpah ruah di sepanjang jalan yang namanya diabadikan dalam lirik lagu berjudul “Rek Ayo Rek” ini. Selain sebagai sarana rekreasi, sebagian besar warga Surabaya menghadiri festival ini sebagai sarana untuk berfoto ria di tengah-tengah Jalan Tunjungan tanpa khawatir akan tertabrak mobil atau motor, sebuah hal yang tidak mungkin bisa dilakukan di hari-hari biasa.
Saya jatuh cinta pada foto-foto ini, rangkaian foto sebuah pagi di bandara internasional Juanda, Surabaya. Foto ini saya ambil di bulan Mei 2015, sesaat sebelum saya terbang ke Bali. Bagi saya, foto-foto tersebut istimewa. Sudah beberapa kali saya menjejakkan kaki di pintu gerbang propinsi Jawa Timur ini, tetapi belum pernah saya mendapatkan momen pagi seperti dalam foto-foto tersebut. Pun setelahnya, saya belum pernah lagi mendapatkan momen seperti itu lagi.
Sebenarnya sejak lama, sejak saya mendapatkan foto tersebut, saya ingin bercerita tentang foto tersebut. Tetapi saya bingung, apa yang akan saya ceritakan. Bagi saya, foto-foto itu jauh lebih indah daripada narasi dan deskripsi terindah yang pernah saya buat. Yah, apa boleh buat, dan akhirnya kata demi kata yang sangat tidak narasi dan deskripsi inilah narasi dan deskripsi untuk foto tersebut.
Satu hal yang pasti, dari koleksi foto yang saya ambil dalam rangkaian perjalanan saya ke Bali tujuh bulan yang lalu itu, bukan foto-foto selama saya berada di pulau Dewata, Bali yang menjadi favorit saya. Justru foto-foto pagi di awal perjalanan inilah yang menjadi favorit saya. Ada seseorang yang berkata, “It is important to enjoy the journey, not just the destination”, dan pagi itu, saya mendapatkan momen terbaik justru ketika saya belum tiba di tempat tujuan.
Malam itu, diantara milyaran butiran pasir dan kegelapan pekat yang menyelimuti, tiba-tiba aku harus bertekuk lutut. Padahal Baru saja aku turun dari sebuah jeep yang membawaku dari kota Malang menuju sebuah samudera pasir yang tak bertepi ini. Awalnya semua terasa baik-baik saja, meski aku harus menggigil menahan hawa dingin yang terus mencoba menyusup ke dalam kulitku, sampai suatu ketika, kepalaku mendongak ke atas, ke arah langit. Saat itu mendadak kakiku terasa lemas dan serta merta tidak sanggup menahan beban badanku. Dan bruuk, lututku pun jatuh menghantam bumi.
Saat itu mataku seperti terhipnotis oleh magnet besar nun jauh di angkasa sana, sehingga sekedar mengalihkan pandangan saja, aku tak sanggup. Energiku pun seolah terhisap habis. Dan bahkan air mataku pun tanpa sadar turut berderai. Aku sendiri tidak mengerti.