Jika dilihat sekilas, terutama dari kejauhan, benteng kapas Pamukkale tampak seperti sebuah gunung salju. Saya sendiri awalnya seperti tertipu dengan penampakan Pamukkale ketika berada di dalam bus. Apalagi di sepanjang perjalanan dari Kusadasi menuju Denizli, saya disuguhi pemandangan gunung beratapkan salju abadi yang sungguh sangat mempesona di mata saya. Hati ini sudah terlanjur senang, karena memang salah satu keinginan yang saat ini belum kesampaian adalah menikmati salju. Namun, ketika sudah sampai di lokasi benteng kapas Pamukkale, saya pun akhirnya harus menerima kenyataan, bahwa Pamukkale bukanlah gunung salju.
Warna putih dari Pamukkale berasal dari mineral batuan kapur yang dikandungnya. Infonya, pada jaman dahulu, beberapa kali terjadi gempa di kota kuno Hierapolis, tempat dimana Pamukkale berada. Gempa ini kemudian menyebabkan munculnya retakan-retakan di sekitar bukit Hierapolis. Dari retakan-retakan ini, kemudian muncul sumber air panas yang kaya akan kalsium karbonat. Awalnya suhu air panas di sini mencapai 100 hingga 350 derajat celcius, namun karena terpapar udara luar, suhunya makin lama makin turun dan air menjadi hangat. Aliran air ini kemudian menguap, memadat dan membentuk lapisan-lapisan kapur seperti yang bisa kita saksikan sekarang ini.
Meskipun kecewa karena ternyata bukan salju, saya tetap takjub pada pemandangan alam yang tersaji di Pamukkale. Berjalan di atas batuan-batuan kapur yang berwarna seputih kapas, sungguh menjadi pengalaman tersendiri. Setelah puas menjelajahi benteng kapas, sambil berfoto ria tentunya, saya ingin duduk sejenak. Awalnya saya berniat untuk duduk di bangku taman yang tersedia di sekitar benteng kapas. Namun niat itu saya urungkan setelah melihat seorang wisatawan dari eropa yang berusia sekitar 50 tahunan, duduk-duduk di salah satu sisi Pamukkale yang tidak teraliri air, sehingga kering. Antara sisi yang kering dan sisi yang sedang saya jejak, terdapat pemisah berupa cerukan, yang tampak mirip dengan selokan. Sang wisatawan ini sepertinya sangat menikmati apa yang dilakukannya, duduk, duduk, sambil mencelupkan kakinya di cerukan yang ternyata didalamnya mengalir air hangat dengan deras.
Saya pun mengajak istri duduk disana dengan kaki dicelupkan, seperti yang dilakukan wisatawan tadi. Dan, ternyata, memang sangat mengasyikkan. Selang beberapa saat, salah satu kawan seperjalanan menghampiri saya dan menawarkan untuk memotret kami berdua.
“Mas Surya, saya ambil foto di sini ya. Backgroundnya keren, seperti berada di antara salju-salju”
Saya baru menyadari itu. Saya buru-buru memberikan kamera kepada kawan saya itu. Dengan aksi bak fotografer professional, kawan saya tadi, mengambil beberapa foto kami berdua. Ah, jadi kayak foto pre-wedding, he he he.
Ketika saya melihat hasil foto, saya pun bersorak gembira. Akhirnya, meskipun saya tidak bertemu salju, saya berhasil foto ala-ala berada di sekitar tumpukan salju. Sayangnya, ekspresi kami berdua di foto itu kurang maksimal. Harusnya kami bergaya pura-pura kedinginan berada di antara salju-salju. Properti yang kami kenakan pun kurang, karena tidak memakai kaus tangan. Padahal jika kedinginan, kaus tangan menjadi hal yang wajib. Namun, semua itu, tidak mengurangi sedikitpun kebahagiaan saya sore itu. Ya, gagal melihat salju di perjalanan pertama kali ke Eropa, namun dapat ganti foto ala-ala salju, he he he.
Sebagai ucapan terima kasih, saya pun memotret balik kawan saya dan istrinya, di tempat yang sama. Dan syukurlah, mereka berdua puas dengan hasil foto saya. Komentarnya sama, foto tipu-tipu, sok-sok-an berada di tengah hamparan salju, ha ha ha. Dasar sesama orang Indonesia yang tidak pernah lihat salju di negaranya. Kata beberapa orang, bahagia itu sederhana. Dan kebahagiaan saya di Pamukkale sore itu adalah berhasil berfoto seolah-olah di atas salju.