———-
“Pengingat sejarah, pengenang peristiwa, itulah salah satu fungsi Monumen yang banyak tumbuh di muka bumi ini, baik itu monumen yang sengaja dibuat maupun monumen yang ada dengan sendirinya”
———-
Kapal itu tampak begitu besar dan kokoh. Konon bobot matinya mencapai 2600 ton. Hampir sekujur tubuhnya terbuat dari besi dan baja. Hanya beberapa bagian saja yang terbuat dari logam lain ataupun kayu. Di beberapa bagian tubuhnya, terdapat lambang Petir berwarna merah yang dibingkai oleh sebuah persegi panjang berlatar belakang warna kuning.
Itulah PLTD Apung, salah satu pembangkit listrik milik PT PLN. Pembangkit Listrik berbahan bakar solar dengan kapasitas 10.5 MW ini didatangkan ke Aceh pada sekitar tahun 2003 untuk menyuplai energi listrik ke masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya.
Jika biasanya sebuah pembangkit dibangun secara permanen di sebuah daratan, maka PLTD Apung ini adalah pembangkit yang didesain untuk bisa terapung dan bergerak di lautan. Karena desainnya yang mobile, maka PLTD ini bisa dimanfaatkan secara bergantian pada daerah-daerah yang saat itu memang sangat membutuhkan listrik.
Sebagai sebuah kapal dan pembangkit listrik, PLTD Apung harusnya saat ini tengah mengapung di tengah lautan sembari memproduksi energi, bukan teronggok di daratan seperti yang sekarang ini kulihat dengan sepasang mataku. Tapi itulah kenyataannya sekarang. Kekuatan tsunami yang luar biasa dahsyat telah menggerakkan kapal dengan jutaan kilogram itu hingga sejauh 5 km dari posisi semula, di pantai Ulee Lheue. Bahkan menurut cerita warga, kapal ini sebenarnya telah bergerak lebih dari 5 km, namun kemudian energi balik tsunami membawanya kembali ke arah laut. Tapi karena energi balik tsunami yang sudah melemah, maka kapal pun akhirnya berhenti ditempatnya sekarang.
Kini, PLTD Apung sudah tidak beroperasi lagi sebagai Pembangkit Listrik, namun berubah fungsi menjadi salah satu situs peringatan tsunami sekaligus tempat wisata edukasi. Pengunjung yang datang bisa naik ke atas anjungan kapal. Di anjungan, disediakan teropong yang bisa digunakan untuk melihat panorama kota Banda Aceh dan pantai-pantai yang berada di sekitarnya. Untuk memudahkan pengunjung untuk naik ke atas kapal, pemerintah kota Banda Aceh membangun tangga disekitar kapal.
Dari kisah penjaga monumen, saat tsunami terjadi, PLTD Apung tengah berlabuh di area pantai Ulee Lheue. Ada sekitar 8 awak kapal yang berada di dalam kapal. Ketika air laut surut, PLTD Apung pun miring karena dasar laut yang tidak rata. Hal ini menyebabkan tujuh awak turun dari kapal untuk menyelamatkan diri karena takut kapal terbalik, meninggalkan seorang yang masih tertinggal didalam karena saat itu dia tengah tertidur. Selain itu mereka juga tertarik untuk menangkap ikan yang banyak tergelepar karena surutnya air laut di sekitar kapal.
Tanpa mereka sadari, beberapa menit setelah mereka turun, gelombang dahsyat pun datang. Ketika sadar, mereka sudah tidak sempat lagi untuk menyelamatkan diri. Sedangkan satu orang yang tengah tertidur didalam kapal selamat.
Salah satu monumen tsunami lainnya di Aceh adalah adanya sebuah kapal yang bersandar di atap rumah penduduk di kawasan Lampulo, Banda Aceh. Saat tsunami terjadi, kapal seberat 65 ton dengan panjang sekitar 25 meter yang tengah berlabuh di dermaga itu, terseret hingga sejauh 3 km hingga akhirnya berhenti ketika tersangkut atap salah satu rumah penduduk.
Hingga sekarang, kapal kayu itu masih berada pada posisinya. Hanya saja, sekarang kapal tidak hanya disangga oleh dinding rumah, tetapi juga beberapa tiang penyangga yang sengaja dibangun agar badan kapal tidak jatuh. Agar pengunjung bisa melihat dari dekat bentuk kapal, dibangunlah tangga di sekitar kapal. Tetapi untuk menjaga agar badan kapal tetap utuh dan tidak rusak, pengunjung tidak diperbolehkan naik ke atas kapal.
Satu lagi monumen peringatan Tsunami bisa ditemui di kota Banda Aceh. Kali ini adalah sebuah bangunan permanent yang sengaja dibangun oleh Pemerintah khusus sebagai museum sekaligus pusat edukasi bagi warga yang ingin mengetahui tentang Tsunami. Namanya Museum Tsunami Aceh. Untuk memasukinya tidak dipungut biaya sama sekali.
Dari jalan raya, desain museum karya salah satu putra terbaik bangsa Indonesia, kang Ridwan Kamil yang saat ini menjabat sebagai walikota Bandung, ini sudah sangat memikat semua orang untuk datang berkunjung.
Perjalanan menjelajah museum berawal dari sebuah lorong panjang yang sempit dan gelap. Lorong yang mempunyai tinggi sekitar 40 meter itu disebut lorong tsunami. Begitu masuk, suara gemericik air yang cukup deras menyambut para pengunjung yang datang. Untuk menambah efek dramatisasi tsunami, dari langit-langit lorong meluncur turun beberapa bulir-bulir air yang cukup untuk membuat rambut menjadi basah. Hmm, lorong yang sebenarnya pendek itu menjadi serasa lebih panjang.
Setelah lepas dari lorong tsunami, sebuah ruangan berbentuk persegi dengan dikelilingi dinding kaca menyambut para pengunjung. Didalam ruangan itu terdapat puluhan standing screen yang sekilas berbentuk seperti batu nisan. Pada standing screen itu diputar foto-foto dokumentasi kejadian tsunami tahun 2004 silam secara slide show.
Dari ruangan persegi, pengunjung diarahkan untuk masuk menuju sebuah ruangan yang cukup sempit berbentuk seperti sumur/silinder yang semakin ke atas diameternya semakin mengecil. Ruangan itu diberi cahaya kuning nan temaram. Di ujung atas dari ruangan terdapat lafadz Allah yang bercahaya, sehingga ruangan ini dinamakan ruang Light Of God. Ada sebuah makna tersirat didalam sumur ini, yakni ketika dalam kondisi terjepit, diantara hidup dan mati seperti yang dialami para korban tsunami saat gelombang datang menerjang, hanya ada satu pertolongan yang bisa menyelematkan manusia, yaitu pertolongan Allah.
Pada dinding-dinding sumur, tertempel nama-nama yang merupakan sebagian korban dari tsunami. Dari luar, sumur ini tampak seperti sebuah cerobong.
Keluar dari sumur, pengunjung diajak berjalan memutar, seolah-olah seperti seseorang yang tengah berada di antara gelombang tsunami. Semakin lama berjalan berputar, semakin ke atas dan semakin berat, hingga akhirnya sedikit saja yang selamat dari gelombang dan sampailah ke sebuah jembatan yang disebut Jembatan Harapan (Hope Bridge). Di atas jembatan harapan, terdapat bendera 52 negara yang selama kejadian tsunami turut berpartisipasi aktif mengulurkan bantuan kepada Aceh dan seluruh survivor tsunami. Hmm, sebuah desain yang tidak hanya indah dan menarik dari sisi seni, tetapi juga sarat sekali dengan makna dan perjuangan para survivor tsunami.
Di museum tsunami terdapat berbagai macam fasilitas yang digunakan demi kepentingan edukasi tsunami bagi pengunjung, seperti teater yang menayangkan beberapa video dokumentasi kejadian tsunami 2004, diorama tsunami, alat peraga bentuk geologi bumi, galeri foto-foto tsunami lengkap dengan aneka macam artefak tsunami seperti sebuah jam dinding yang berhenti berdetak saat gempa mengguncang Aceh atau sepeda motor dan masih banyak lagi.
Hmm, ternyata banyak sekali pelajaran yang bisa kuambil dari perjalananku yang hanya sehari penuh di kota Banda Aceh. Salah satunya adalah betapa kita memang sangat kecil dan tiada berdaya dihadapan Allah sang pencipta alam semesta. Jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada lagi pertolongan bagi mahkluk seperti kita kecuali dari Allah sendiri.
aku pernah kesini waktu belom jadi monumen, disekelilingnya masih runtuhan rumah-rumah
sedih banget kalo udah inget tsunami di aceh itu, kejadiannya udah beberapa tahun silam tapi sampi sekarang masih aja keinget
Keren ya, Sur…saya kira ada diluar Indonesia…hehe, atau justru karena yang motretnya hebat, fotonya jadi makin keren?
Who knows 😉
Saya belum pernah ke tempat ini, tapi dari cerita dan foto-foto yang Surya tampilkan, saya bisa ngebangin gimana dahsyatnya tsunami di Aceh tahun 2004 dulu…
Museum Tsunami…
Mudah-mudahan museum jenis ini hanya ada satu di Indonesia ya Sur, atau bahkan di dunia…
Miris melihatnya. Kebayang ribuan orang yang kehilangan sanak keluarganya.
Innalillahi wa inna illaihi roji’un…
Saya sudah prnah lihat sebelumnya foto2 museum tsunami Aceh dari teman yg prnah brkunjung. Memang keren tempatnya. Tapi saya juga blum prnah kesana, padahal rumah saya di Medan. Belum kesampaian
“Semoga dalam waktu dekat segera kesampaian mas :)”