————
“Jika Bali atau mungkin Lombok sudah terlalu mainstream, maka coba datanglah ke ujung selatan pulau Sulawesi. Datanglah ke Tanjung Bira”
————
Di suatu sore yang sedikit berawan, kubiarkan kaki-kakiku bertelanjang tanpa alas. Aku bebaskan mereka dari belenggu yang selama ini membatasi sentuhan langsung mereka dengan kulit bumi. Aku paparkan pori-pori telapak kakiku dengan bulir-bulir pasir pantai yang berserakan itu. Sungguh, ini untuk pertama kalinya aku merasakan pasir yang selembut itu. Rasanya kakiku seperti menginjak sebuah adonan tepung.
Selain pasirnya yang putih dan lembut, airnya juga jernih. Saking beningnya, warna air laut disini tampak kehijau-hijauan. Satu lagi kekhasan dari pantai ini adalah adanya tebing-tebing karang setinggi sekitar 10 meter yang menghias bibir pantai. Bagian bawah dari tebing-tebing ini berbentuk cerukan yang disebabkan oleh hantaman gelombang air laut saat pasang.
Salah satu bagian menarik, di beberapa bagian tebing dibuat tangga yang mengarah langsung ke laut. Dengan air laut yang jernih kehijauan, sekilas tangga itu tidak seperti menuju ke laut, melainkan kolam renang. Sebuah kolam renang yang tak berbatas dan tak bertepi.
Hmm, Pantai ini memang bukan pantai biasa. Dengan berbagai keindahan yang ditawarkan, tak salah kiranya jika pantai yang satu ini layak disebut surga. Yap, selamat datang di Pantai Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan.
Terbayar lunas sudah perjalanan panjang seharian dari Bandara Sultan Hasanuddin Makassar menuju Tanjung Bira. Lebih bahagia lagi, ketika aku menatap kebahagian yang terpancar dari tiga pasang mata, masing-masing milik istriku dan dua orang adikku. Lelah memang masih sedikit tergurat dari wajah mereka, tetapi kegembiraan telah perlahan demi perlahan mengikisnya.
Perjalanan kali ini memang aku tidak sendiri, atau hanya berdua saja dengan istri, tetapi aku mengajak serta dua adikku. Selain ingin berbagi kebahagiaan, aku juga ingin memberikan pengalaman kepada mereka untuk naik pesawat.
Pesawat take off dari Surabaya sekitar jam 5.30 WIB dan mendarat dengan mulus di Makassar sekitar jam 07.45 WITA. Keluar dari bandara, kami langsung dijemput oleh driver dari pihak rental mobil yang sudah kusewa sehari sebelumnya via internet dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Bira. Untuk perjalanan dari Makassar ke Tanjung Bira aku memang memilih untuk menyewa kendaraan, selain karena lebih nyaman dan hemat waktu, kami juga berpergian berempat, jadi worth it lah kalau sewa mobil.
Perjalanan dari Makassar ke Tanjung Bira sejatinya adalah perjalanan menyusuri wilayah pesisir pantai selatan pulau Sulawesi. Meski lama perjalanan cukup panjang dengan durasi sekitar 6 jam, tapi rasanya sangat nyaman. Ini karena aspal jalanan yang relatif sangat mulus. Hanya sedikit saja yang tidak begitu bagus yakni di sekitar kawasan perbatasan antara Takalar dan Jeneponto. Tapi yang tidak bagus itupun masih dalam taraf yang bisa ditolerir. Keren juga nih Sulawesi Selatan. Dari informasi Bang Erick, driver yang menemani kami ke Bira, tidak terlalu banyak kendaraan berat yang melewati jalanan ini, sehingga kualitas jalan tetap terjaga dengan baik.
Selama perjalanan menuu Tanjung Bira, pemandangan didominasi oleh sawah dan gunung di sisi utara serta padang rumput dan juga pantai di sisi selatan. Pemandangan sedikit berbeda ketika berada di kabupaten Jeneponto dengan disuguhkannya ratusan kuda yang tengah digembalakan dengan bebas di padang rumput layaknya sapi, kerbau ataupun kambing. Kuda memang binatang khas dari Jeneponto. Hampir semua masakan yang ditemui di sepanjang jalan di Kabupaten Jeneponto menggunakan kuda sebagai bahan dasar, mulai dari coto, konro, maupun sop saudara. Kami pun akhirnya mengurungkan niatan makan siang di Jeneponto karena dari tiga rumah makan yang kami singgahi disana, semua berbahan dasar kuda. Aku sih sebenarnya oke-oke saja makan daging kuda, hanya saja istri dan adik-adikku pada gak tega.
Kami pun akhirnya makan siang di rumah makan Bawakaraeng di kabupaten Bantaeng, sebuah kabupaten yang dipimpin oleh salah satu putra terbaik yang dimiliki negeri ini, Bapak Nurdin Abdullah. Sebelumnya kami memastikan coto, konro maupun sop saudara yang dimasak disana berbahan dasar daging sapi.
Sekitar pukul 14.00, kami pun sampai di Bira. Tujuan pertama adalah mencari sunshine guest house yang akan menjadi rumah kami selama satu malam di Bira. Sehari sebelumnya aku sudah menelpon untuk memastikan ketersediaan kamar disana. Tujuan kedua? Tentu saja, Pantai pasir putih Tanjung Bira. Dari sunshine guest house, cukup berjalan kaki selama 5 menit, sampailah kami di bibir pantai Tanjung Bira.
Sesampainya di pantai, kami langsung disambut oleh bapak-bapak yang menawarkan jasa untuk bermain banana boat. Selain itu ada juga yang menawarkan kapalnya untuk hoping island ke pulau kambing dan pulau liukang loe yang lokasinya tak jauh dari pantai. Dengan halus, aku menolak semua penawaran itu karena sesuai rencana, sore ini adalah waktunya untuk menikmati pantai Bira. Untuk hoping island, aku sudah mempunyai rencana tersendiri, yaitu esok hari.
Hari itu, Tanjung Bira laksana pasar. Puluhan bus dan mobil yang membawa ratusan orang datang ke Tanjung Bira akhir pekan itu. Sebagian besar dari mereka sepertinya adalah siswa-siswi sekolah menengah di sekitar Bira, yang tengah menikmati hari-hari santai setelah Ujian atau bahkan mungkin tengah merayakan kelulusan. Ini terlihat dari wajah-wajah mereka yang berusia sekitar belasan tahun. Banyak dari mereka juga mengenakan baju yang sama. Pada bus ataupun mobil yang mereka tumpangi tertempel poster dengan tema tulisan yang hampir sama, Perpisahan ataupun Penamatan.
Menurut Bang Erick, Bira memang selalu ramai di setiap akhir pekan. Tapi untuk hari itu, ramainya sungguh luar biasa. Salah kiranya kalau aku menganggap Bira adalah surga tersembunyi. Mungkin bagi pelancong dari luar Sulawesi Selatan, masih sedikit sekali yang tahu tentang Bira, tetapi bagi wisatawan lokal, Bira adalah salah satu destinasi utama di akhir pekan atau ketika masa liburan tiba.
Kami bertahan di pantai hingga malam menjelang. Sayangnya hari itu di ufuk barat, langit berawan cukup tebal, sehingga kami tidak mendapatkan senja yang sempurna. Tapi, apapun itu, syukur Alhamdulillah, kami sudah diberi kesempatan untuk mencicipi salah satu keindahan alam yang terhampar di bumi nusantara ini.
Catatan Tambahan:
Bagi rekan-rekan yang akan menuju Bira dari Bandara Sultan Hasanuddin Makassar dengan kendaraan umum, maka pertama-tama yang dilakukan adalah naik bus Damri Bandara dan turun di lapangan Karebosi. Dari sana, naik angkutan kota (yang lazim disebut Pete-pete di Makassar) jurusan GOWA dan turun di terminal Malengkeri. Dari terminal, akan ada pilihan moda bus (jurusan Makssar-Selayar) atau mobil (jenis Kijang atau Panther) yang akan mengantarkan anda sampai ke Bira. Sebelumnya pastikan bahwa angkutan akan membawa anda ke Bira, karena banyak juga yang hanya akan mengantar sampai terminal Bulukumba saja. Kalaupun misalnya rekan-rekan sampai di terminal Malengkeri sudah kesiangan dan tidak ada lagi mobil atau bus yang menuju Bira, maka naik saja yang jurusan Bulukumba. Nanti dari Bulukumba, naik pete-pete lagi jurusan Bira.
keren bangeeetttt…. mau kesana juga ah
gillaa, keren & indah pantainya…