————
“Sudah sampai di Tanjung Bira? Tambahkan satu lagi jumlah pulau di bumi ini yang telah kalian jejak dengan mengunjungi Liukang Loe”
————
Deru mesin kapal terdengar merdu di telingaku. Suaranya bersahut-sahutan dengan kecipak gelombang laut yang terhantam badan kapal. Diantara riak-riaknya, sesekali air laut melompat masuk kedalam kapal. Mereka memercikkan diri ke bajuku seolah-olah ingin berkenalan. Aku hanya tersenyum. Aku balas salam mereka dengan memasukkan telapak tanganku kedalam laut. Hmm, sekarang kami sudah resmi berkawan.
Baru beberapa menit yang lalu aku, istri dan kedua adikku masih menjejak kaki di pulau Sulawesi. Tapi sekarang kami sudah berada di dalam sebuah kapal yang tengah melaju membelah perairan selatan Sulawesi. Ada dua buah pulau kecil yang tersembul disana. Salah satunya, konon, mempunyai pantai yang tidak kalah indahnya dengan Tanjung Bira. Pulau Kambing dan Pulau Liukang Loe, itulah tujuan kami menyewa kapal seharga 300 ribu rupiah untuk berlayar.
Di angkasa nun jauh disana, langit membiru dengan indahnya. Di sekitarnya beberapa awan berarak dengan rapinya. Sang Surya yang baru setinggi galah memberikan kehangatannya. Ah, damai sekali pagi ini, batinku. Dan semuanya bertambah indah ketika aku bisa melihat dengan jelas raut wajah yang penuh antusias dan kebahagiaan yang terpancar dari wajah istriku dan dua orang adikku. Terutama dari kedua adikku, karena inilah pengalaman pertama mereka melakukan hoping island.
Antusiasme itu sebenarnya bukan hanya milik istri dan kedua adikku. Aku juga berhak. Mendapatkan kesempatan mengunjungi pulau-pulau kecil yang teronggok berserakan dan berceceran di bumi nusantara ini selalu menjadi hal yang menarik buatku. Ada sebuah perasaan yang entahlah, aku sendiri tidak bisa menggambarkannya. Ada hal yang menggairahkan. Lalu bercampur dengan kegembiraan dan kebanggan. Tapi, tak jarang ada sejumput kegetiran disana. *Sigh*
Setelah 15 menit berlayar, Nakhoda kapal mengarahkan kapal lurus terus ke selatan. Ini artinya kapal akan menuju Pulau Kambing terlebih dahulu. Sayangnya beberapa puluh meter menjelang sampai di Pulau Kambing, laut tiba-tiba bergelombang cukup tinggi, hingga membuat kami berempat sedikit merinding. Tanpa pikir panjang, aku pun memutuskan untuk membatalkan kunjungan ke Pulau Kambing dan kapal langsung mengarah ke barat, menuju Pulau Liukang Loe.
Gelombang laut menjadi lebih bersahabat ketika kapal mengarah ke Pulau Liukang Loe. Bahkan cenderung sangat tenang. Menjelang bibir pulau Liukang, laut seolah berubah warna menjadi hijau toska. Dari atas kapal, mulai tampak terumbu karang yang tumbuh didasar laut. Beberapa puluh meter didepan sana, aku melihat kilauan pasir putih pulau Liukang yang seolah-olah melambai memanggilku. Ah, tapi aku tepis dulu godaan pasir pantai karena aku sudah tidak sabar untuk menceburkan diri ke laut dan bersnorkeling.
Setelah memasang fin, masker snorkel serta tak lupa pelampung, aku pun menceburkan diri ke laut, diikuti adik laki-lakiku. Sedangkan istri dan adik perempuanku memilih untuk tetap di kapal.
Perairan di sekitar Tanjung Bira, Pulau Kambing dan Pulau Liukang Loe ini sebenarnya tidak terlalu banyak spot untuk snorkeling. Konon gelombang dan arus di perairan ini cukup kuat, sehingga tidak aman untuk snorkeling. Tapi bagi penggemar diving, konon ada cukup banyak spot yang bisa dijelajahi, dengan spot terbaik berada di sekitar pulau Kambing.
Puas bersnorkeling, kami berdua pun kembali ke kapal dan segera merapat di Pulau Liukang. Begitu kaki ini menjejak pulau dan pori-pori telapaknya bersentuhan dengan pasir pantainya yang lembut, mendadak datang sebuah rasa yang merasuk ke relung jiwaku. Aku tidak bisa menjelaskan rasa apa itu. Sepertinya hanya hatiku saja yang bisa menerjemahkannya.
Aku lempar pandangan ke seluruh penjuru untuk menikmati jengkal demi jengkal pemandangan yang tersaji disana. Laut yang menghijau, langit yang masih membiru, pasir putih yang berkilau, deretan perahu cadik yang tertambat rapi, daratan pulau sulawesi yang rindang di utara serta wajah-wajah penuh tawa dari anak-anak Pulau. Tanpa sadar air mataku pun meleleh.
Setelah bertemu dengan keramaian yang dahsyat di Tanjung Bira sejak kedatangan kemarin sore hingga pagi tadi, akhirnya kali ini, kami bisa menikmati ketenangan sebuah pantai. Ternyata dari ratusan pengunjung Tanjung Bira, tidak banyak yang melanjutkan perjalanan ke Pulau Liukang Loe. Saat kunjungan kami disana, hanya ada sekitar dua puluhan wisatawan saja yang tengah berkunjung kesana.
Nama Liukang Loe konon berasal dari Bahasa Konjo. Liukang artinya Kayu Hitam, sedangkan Loe bermakna Banyak, jadi arti harfiahnya Pulau yang mempunyai banyak kayu hitam. Pulau Liukang Loe memiliki luas sekitar 5,7 km2 dan dihuni sekitar 300 kepala keluarga yang tersebar di dua kampung, yakni Kampung Buntutuleng dan Passilohe.
Hanya dua jam saja waktu yang kami habiskan di Pulau Liukang Loe. Waktu yang sebenarnya sangat sangat kurang, karena masih banyak hal yang belum ku jelajahi di Pulau ini. Tapi apa boleh buat, kami harus segera memulai perjalanan kembali ke Makassar ketika hari masih siang agar tidak terlalu malam ketika sampai disana. Andai saja, masih ada waktu yang terluang, ingin rasanya menginap semalam di Pulau ini. Benakku sudah terbayang, bagaimana eloknya lukisan alam kala waktu sunset dan sunrise di Pulau Liukang Loe. Hmm, mungkin inilah cara Allah agar aku kembali lagi kesana. Liukang Loe, semoga suatu hari nanti, kita bisa berjumpa kembali, Insya Allah.
Keren..
saya saja yang orang asli Bira sangat sangat jarang main kesana. .
baguuussss
waduh dipameri gini, jadi pingin nih mas surya. 🙂
Sangat keren, pngen k sana
Indah banget, tapi Gak usah di pamerin fotonya gitu napa. Bikin ngiri.. Haha 😀
wih kren-kren,,,,klo punya duit dan wktu jdi pngen k sna,,