Baru saja, Aldebaran, saya turunkan dari gendongan tepat di sebuah padang rumput yang cukup luas, dia sudah langsung berlarian. Sedari masih dalam gendongan, kaki-kaki mungilnya sudah bergerak kesana kemari. Badannya pun sempat menggeliat-geliat, seperti mencoba memberontak dari dekapan saya. Saya pun coba memberinya pengertian, bahwa, nanti ada waktunya, saya akan menurunkannya. Dan tampaknya dia pun paham. Badannya sudah tidak lagi meronta, namun tidak dengan sepasang kakinya. Saat waktunya tiba, saya menurunkannya dari gendongan dan melepaskan dekapan, dia langsung berlari, seolah terlepas dari sebuah belenggu.
Di artikel kedua tentang revolusi bakar uang ini, saya akan melanjutkan catatan saya dari bagian pertama yang diakhiri sebuah tanda tanya besar, darimana perusahaan start up ini masih bertahan, dan masih setia dengan memberikan promo-promonya, meski sudah lebih dari 3 tahun membakar uang.
Saya, yang makin penasaran dengan model bisnis para perusahaan start up ini, kemudian mencoba menggali lebih dalam. Saya mencoba ikuti berita tentang si ojek online, sampai kemudian saya mendapatkan sebuah istilah baru, valuasi, yang kemudian disusul lagi dengan istilah unicorn dan decacorn. Jadi, yang dikejar oleh para startup ini adalah valuasi, atau nilai perusahaan, yang diukur dari jumlah investasi yang berhasil mereka dapatkan. Saya mengernyitkan dahi. Oke, akhirnya satu pertanyaan terjawab, bahwa bisa jadi, yang menutup uang promo itu adalah investasi yang disuntikkan investor. Si owner startup pun tetap mendapatkan penghasilan, ya dari uang investasi tadi. Lalu, satu pertanyaan lagi muncul, return apakah yang menjadi imbal balik bagi sang investor? Kalau kita invest tanah, emas, selisih harga jual dan harga beli adalah imbal balik yang diharapkan. Kalau kita investasi dalam deposito, ada bunga yang menjadi keuntungan untuk pemilii deposito. Investasi bentuk saham, return nya berupa dividen dan selisih nilai saat jual dan saat beli. Lha kalau invest di startup? Keuntungannya ga ada, bahkan uang investasi dipakai buat nutup promo.
Pertanyaan ini terus bergulir di kepala saya sampai kemudian saya mendapatkan idioms, “data is the new oil”. Saya kemudian merekonstruksi sebuah kerangka di otak saya. Ada berapa data yang dicetak oleh ojek online, setiap harinya? Data penumpang, rute penumpang, lama perjalanan, data pesanan makanan, data lokasi si pemesan makanan, data transaksi harian, data jam, tempat transaksi sering terjadi, dst.
Ini sekedar catatan usil saya terkait trend bakar uang dari beberapa startup. Saya menulisnya bukan berdasarkan jurnal ilmiah ataupun merekap dari seorang yang ahli ekonomi, tapi murni sebuah asumsi yang didasarkan dengan apa yang saya lihat. Kalimat pembuka ini adalah sebuah disclaimer, bagi yang tidak sengaja, tersesat di blog ini. Lanjut membaca, Alhamdulillah, atau kalau memang tidak berkenan, dipersilakan untuk mungkin membaca tulisan lain di blog ini, he he.
Sebenarnya, kebiasaan bakar uang pada sebuah perusahaan, sudah terjadi sejak lama. Di Indonesia, saya sempat berasumsi bahwa trend ini dimulai dengan era masuknya pertelevisian swasta di awal tahun 1990an, dimana saat itu, iklan mulai berseliweran di layar kaca. Namun kemudian saya ternyata keliru, karena dunia periklanan sejatinya sudah ada sejak puluhan tahun silam, namun mungkin dalam bentuk yang berbeda. Sebelum era televisi, iklan sudah mulai beredar melalui pamflet, koran dan radio. Di luar negeri, penetrasi iklan biasanya begitu besar di acara-acara besar olahraga, seperti Olimpiade, Piala Dunia sepakbola, atau mungkin arena balap mobil formula 1.
Sebuah shifting bisnis, dilakukan oleh dua maskapai besar dunia yang berbasis di Asia Tenggara, Thai Airways dan Air Asia. Setelah core business nya luluh lantak, dihantam oleh gelombang pandemi covid-19, yang hingga saat ini belum terkendali, manajemen dari kedua maskapai mencoba untuk bertahan hidup dengan model bisnis, yang mungkin, tidak akan pernah terbayangkan sebelumnya, akan dilakukan oleh keduanya.
Saat ini, Thai Airways, yang sudah dinyatakan bangkrut di bulan Juni 2020 silam, tengah menekuni bisnis berjualan makanan khas Thailand yang sekilas mirip dengan roti goreng. Kudapan yang diberi nama Pa Tong Go ini, infonya saat ini menjadi salah satu makanan yang sangat populer di Thailand. Setiap hari, warga Thailand rela mengantri di beberapa gerai Thai Airways yang menjajakan Pa Tong Go. Imbasnya, neraca pendapatan sang maskapai kebanggaan Thailand tersebut, menunjukkan trend yang cukup positif. Pada media Bangkok Post, CEO dari Thai Airways, Chansin Treenuchargon mengklaim bahwa bisnis mereka ini telah memberikan suntikan pendapatan sekitar 10 juta baht per bulan.
Selama empat belas bulan terakhir, suasana sore seperti inilah yang sering menjadi santapan mata saya. Sebuah rooftop PV dengan latar belakang senja dan padang rumput. Setiap saya memandangnya, setiap kali itu pula, saya memotretnya. Saya tidak pernah bosan memotretnya, meskipun foto foto itu memenuhi galery foto di ponsel. Saya ingin mengabadikannya karena memang suatu hari nanti, di waktu yang mungkin tidak lama lagi, saya tidak bisa menikmati lagi pemandangan itu. Panorama padang rumput itu nantinya agak berganti dengan hiruk pikuk pipa pipa yang mengelilingi puluhan tangki yang berjejer.
Namun, belum juga satu tangki terpasang, ternyata waktu saya disini sudah usai.