Sudah nonton film Dilan 1990, sebuah film yang disutradari oleh Fajar Bustomi yang diadaptasi dari sebuah Novel karya Pidi Baiq berjudul Dilan, dia adalah Dilanku tahun 1990? Kalau sudah, berarti harusnya menyadari bahwa salah satu scene terbanyak di film Dilan 1990 adalah adegan menelpon, dimana Dilan selalu menelpon Milea dari telepon umum. Di trailer film Dilan 1990 yang dirilis sekitar sebulan sebelum jadwal pemutaran film di seluruh bioskop di Indonesia, adegan Dilan menggombali Milea via telepon umum pun begitu mendominasi.
Di film Dilan 1990, telepon umum seolah-olah menjadi penguat setting film yang mengambil latar belakang tahun 1990an. Bagi teman-teman yang mengalami masa remaja di tahun 1990an hingga menjelang milenium, pasti sangat akrab dengan telepon umum, terutama bagi cowok-cowok yang sudah punya gebetan, termasuk saya sendiri juga.
Saya pun terkenang, masa-masa ketika saya duduk di bangku SMP di sekitar tahun 95an, dimana saya harus bersepeda berkeliling kota Gresik untuk mencari telepon umum yang tidak ada antrian atau setidaknya antriannya sedikit, demi bisa telepon dengan gebetan jaman itu. Ketika telepon umum sudah digenggaman dan nada tunggu terdengar, suasana hati makin deg-degan karena takut kalau yang mengangkat telepon adalah orang tuanya.
Menelpon di telepon umum itu sebenarnya gak nyaman. Sudah harus berdiri, terkadang harus rela digigit nyamuk, hingga diteror para pengantri yang kadang sampai mengular. Tapi, tetap, telepon umum menjadi favorit untuk bisa berkomunikasi, terutama sama gebetan. Beberapa penyebabnya, kalau telepon di rumah, bisa bisa kena marah dari orang tua karena ngabis-abisin pulsa. Kalau maen langsung ke rumah gebetan, takut sama orang tuanya. Jadinya komunikasinya ya di telepon umum.
Menonton Dilan yang menggombali Milea dengan kalimat kalimat penuh pujian maut di telepon umum, membuat saya benar-benar seperti memasuki lorong waktu ke masa remaja saya yang memang berlangsung dari 1994 hingga tahun 2000. Saya saat itu merasakan betapa indahnya masa itu. Masa dimana internet dan sosial media belum menguasai waktu kehidupan manusia. Masa dimana kita tidak bisa mengetahui isi hati orang lain, termasuk gebetan. Coba di masa sekarang, cukup dengan stalking sosial media orang lain, seseorang bisa dengan mudah mengetahui isi hati ataupun pola pemikirannya. Ketika gebetan kita sering menuliskan status kekagumannya pada seseorang di sosial media, secara tidak langsung, kita akan menarik kesimpulan bahwa si gebetan suka sama seseorang itu, hal mana yang membuat kita mungkin akan mundur teratur, sebelum berperang, dari kancah pertempuran asmara, terutama jika orang yang dikagumi gebetan, memiliki kelebihan dibandingkan kita. Coba di masa lalu, kita gak akan pernah tahu detil dari seseorang kalau gak bertanya padanya atupun minimal pada sahabat-sahabat dekatnya.
Akhirnya, terima kasih pada sutradara film Dilan 1990, mas Fajar Bustomi, sang penulis novel Dilan, Ayah Pidi Baiq, Iqbaal Ramadhan, Vanesha Prescilla, serta semua pendukung film Dilan 1990, yang sudah mengajak saya untuk menembus lorong waktu kembali ke masa remaja saya, termasuk mengenang saat-saat indah yang sudah saya lalui bersama telepon umum.