Belasan lokomotif berkumpul dan berjajar rapi sambil berhadap-hadapan di sebuah jalur rel. Warnanya yang hitam mengkilap membuat loko-loko itu masih tampak gagah. Di sekujur tubuhnya, yang seluruhnya terbuat dari besi, hampir tidak ada karat yang tumbuh. Sekilas diamati, loko-loko tersebut tampak seperti baru. Tidak nampak tanda-tanda bahwa mereka sebenarnya sudah berusia lebih dari satu abad.
Di sekitar loko-loko tersebut, pada jalur rel yang berbeda, terdapat beberapa gerbong yang usianya tidak lebih muda dengan para loko. Kondisinya terawat dengan sangat baik. Bahkan beberapa gerbong baru saja mendapatkan perawatan berupa cat baru. Menilik ke dalam gerbong, tersaji sebuah desain interior yang menurutku sangat klasik. Dua buah bangku kayu diletakkan berhadap-hadapan di masing-masing sisi panjang gerbong. Ada juga gerbong yang memiliki bangku menghadap ke depan seperti kereta saat ini, dengan tetap menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya.
Menjelajah lebih jauh, saya melihat lagi sebuah gerbong yang unik. Kali ini bentuknya didesain seperti sebuah rumah lengkap dengan terasnya.
Beberapa langkah kemudian, saya menemukan sesuatu yang agak aneh di mata. Sebuah lubang besar berbentuk lingkaran sempurna, dengan ada rel melintas di atas lingkaran tersebut. Karena penasaran, saya mendekati lubang tersebut. Ternyata, itu adalah sebuah alat untuk merubah arah gerbong maupun lokomotif. Ini untuk pertama kalinya saya melihat alat itu. Hebatnya, setelah ratusan tahun berselang, alat tersebut masih berfungsi sempurna. Besi melingkar yang digunakan sebagai bantalan rel saat alat itu berputar pun terlihat masih bagus. Tidak nampak adanya kerusakan, baik karena faktor usia, maupun faktor alam seperti pemuaian. Desain yang sempurna.
Saya melanjutkan langkah hingga sampailah di sebuah stasiun tua peninggalan kolonial. Ah, akhirnya sampai juga saya di salah satu stasiun tertua di pulau Jawa atau bahkan di Indonesia ini. Selamat datang di Museum Kereta Api, Stasiun Ambarawa. Dibangun sejak tahun 1873 di atas tanah seluas 127500 meter persegi, kondisi bangunan di stasiun Ambarawa tampak masih sangat baik. Lantainya juga terlihat bersih. Dinding-dindingnya bercat putih gading dengan kombinasi pernak pernik bata berwarna warna merah marun. Aura kolonial semakin terasa kental ketika melihat tulisan WILLEM I diatas sebuah bilik yang dulunya adalah bekas loket karcis, tepat sesaat setelah masuk stasiun. Suasana sore yang sedikit berawan, semakin membuat suasana serasa bukan di Indonesia.
Dengan penuh antusias, saya menjelajah sudut demi sudut stasiun. Saya senang sekali dengan aktivitas mengunjungi bangunan tua bersejarah seperti ini, karena dari sinilah, saya mendapat banyak sekali ilmu baru. Tentu saja, saya tidak melewatkan kesempatan ini untuk hunting foto, karena memang tempat-tempat seperti ini sangat fotogenic dan juga instagramable.
Berada di stasiun Ambarawa sungguh membangkitkan nostalgia. Saya seolah-olah terbawa ke suasana masa lalu. Aura masa lalu di stasiun ini yang terlihat dari bangunan, desain, hiasan dinding hingga asesoris seperti jam dinding, sungguh sangat kuat. Suasana masa lalu makin terasa kuat ketika melihat para pengunjung stasiun yang sebagian besar adalah anak-anak muda, tetapi bergaya dan berbusana oldies ala tahun 70an atau 80an. Tampaknya tema retro dan klasik menjadi tema yang paling banyak diusung ketika datang ke stasiun ini.
Hal yang menarik dari Stasiun Ambarawa, selain suasana stasiunnya sendiri, adalah paket tur kereta wisata Ambarawa. Disini pengunjung bisa merasakan sensasi menaiki gerbong kereta yang ditarik oleh lokomotif uap tua. Ada dua rute yang bisa dipilih yaitu rute Ambarawa – Bedono PP dan Ambarawa – Tuntang PP dengan biaya 50 ribu per orang. Informasi tambahan, kereta wisata ini hanya beroperasi di hari Minggu dan hari libur nasional saja. Sedangkan kunjungan saya kemarin di hari Sabtu. Ya seperti biasa, mungkin ini semacam pertanda bahwa suatu hari nanti saya harus berkunjung kembali ke Ambarawa, menuntaskan romantisme menumpang kereta uap yang belum saya dapatkan.
selamat bernostalgia mas.. hehehe