Secangkir cairan cokelat kehitaman tersaji di depanku. Tampak kabut tipis menari-nari dia atas permukaannya. Semerbak aroma harum serta merta menembus syarafku ketika beberapa helai dari kabut itu sampai ke pori-pori hidungku.
Hmm, batinku.
“Silahkan diminum, dan setelah itu ceritakan, apa yang kamu rasakan,” ujar seorang pria dihadapanku.
“Terima kasih pak.”
Semakin banyak helaian kabut yang hinggap ke hidungku, semakin liar keinginan syarafku untuk segera menikmati rasanya. Dengan kekuasaanya, dia perintahkan seluruh organ tubuhku untuk segera bekerja.
Kupegang gagang cangkir itu lalu kuangkat. Kudekatkan ke arah mulutku perlahan lahan. Semakin dekat, semakin terasa keharumannya. Namun bersamaan dengan itu semakin terasa pula hawa panas yang bergolak di dalamnya. Meski begitu, aku tidak gentar. Konon di saat masih kondisi panas itulah, kita bisa merasakan kenikmatan maksimal dari si cairan itu.
Semakin dekat, dekat dan akhirnya beberapa tetes tumpah ke mulutku. Hawa panasnya langsung seperti membakar rongga mulutku. Lidahku berjingkat. Selang beberapa detik mulutku membuka menutup untuk memberikan ruang bagi udara untuk bisa keluar masuk ke dalam rongga mulut dan menurunkan suhu didalamnya. Setelah suhunya sudah pas, mulutku pun menyesap habis cairan itu dan meratakannya keseluruh permukaan lidah.
Beberapa detik kemudian, syaraf-syaraf indera di mulutku mulai bekerja keras menganalisa rasa. Entah karena memang bukan penggemar dan penikmat, sekeras apapun analisa yang dilakukan otakku, tetap saja, aku tidak menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan rasa itu. Ingin sekali ada sebuah kamera yang bisa memotret bagaimana bentuk sebuah rasa.
“Bagaimana mas?” tanya pria yang memberiku secangkir minuman tadi.
“Saya tidak bisa menggambarkannya pak. Yang pasti saya belum pernah merasakan ini sebelumnya,” ujarku
“Pahit gak?”
“Tidak terlalu pak”
“Lalu apa yang bisa kamu rasakan sekarang? Setelah semua yang ada di mulut sudah habis”
“Enak pak,” ujarku sambil mengecapkan mulut. Seperti ada rasa manis dan asam di lidah dan langit-langit
“Itulah yang dinamakan after taste, atau jejak rasa yang tertinggal. Itulah kenikmatan kopi.”
Namanya lengkapnya Setiawan Subekti. Oleh orang-orang di sekitarnya biasa dipanggil Pak Iwan, seorang pecinta dan penikmat kopi yang namanya sudah termahsyur hingga mancanegara. Sudah beberapa kali dia diundang untuk menjadi juri kopi baik tingkat nasional maupun internasional. Salah satu misinya saat ini adalah menjadikan Banyuwangi sebagai kota kopi dengan salah satu kopi yang ingin diangkatnya adalah Kopi Using, kopi yang berasal dari desa Kemiren, Banyuwangi.
Saat ini aku tengah berada di Sanggar Genjah Arum yang berlokasi di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Sanggar ini bisa dibilang sebagai pusat kebudayaan dari desa Kemiren. Selain sebagai tempat workshop kopi bagi warga desa Kemiren, banyak kegiatan kesenian yang diselenggarakan disana. Saat kami tiba di Sanggar beberapa menit yang lalu, sebuah pertunjukan Othek menyambut kedatangan kami. Othek adalah pertunjukan seni musik yang dilakukan oleh para wanita tua desa kemiren. Para pemainnya memukul mukul lesung dengan tongkat yang biasanya digunakan sebagai penumbuk padi atau kopi. Dari situ muncul sebuah irama yang sangat indah. Hmm, keren juga.
Kesenian Othek
Selain Othek, kami juga disuguhi oleh pertunjukan tari Barong Kemiren. Mendengar kata Barong, selalu yang teringat adalah Bali, padahal Banyuwangi juga mempunyai Tari Barong. Bagi masyarakat Kemiren, Barong adalah sebuah simbol kebersamaan seluruh warga desa.
Kesenian Barong
Kembali ke Kopi, hal yang paling utama dari pengolahan biji kopi adalah saat menyangrai. Jika cara menyangrai salah, maka dijamin cita rasa kopinya pasti akan hilang. Mitos yang beredar bahwa kopi selalu berwarna hitam pekat itu sebenarnya mitos yang tidak benar. Kopi berwarna hitam pekat itu karena sangrainya yang salah sehingga kopinya menjadi gosong. Apapun yang gosong, pastilah rasanya pahit. Makanya itu kopi identik dengan pahit.
Karena itulah saat pertama kali tiba di Desa Adat Kemiren, kami tidak langsung dibawa ke Sanggar Genjah Arum, tetapi terlebih dahulu singgah di salah satu rumah yang digunakan sebagai pusat pengolahan dan produksi kopi Kemiren. Di sana kami mendapatkan penjelasan (sekaligus praktek bagi beberapa rekan blogger) bagaimana cara mengolah biji kopi yang benar, utamanya menyangrai.
Mas Tuki dan Mas Haidi dari Pathok (Paguyuban Tholek Kemiren) dalam keterangan menjelaskan sebelum menyangrai, kegiatan yang terlebih dahulu dilakukan adalah mengayak biji kopi. Tujuannya adalah memisahkan antara biji kopi yang besar dan yang kecil. Jadi nantinya, biji kopi yang kecil disangrai dengan sesama yang kecil, sedangkan yang besar juga dengan sesama yang besar, agar diperoleh tingkat kematangan yang sama saat sangrai.
Menyangrai Biji Kopi
Setelah biji kopi sudah terpisah secara dimensi, saat sangrai pun tiba. Sangrai dilakukan di atas wajan yang terbuat dari tanah liat dengan suhu mencapai 220 derajat celcius. Sebanyak maksimal 6 ons biji kopi disangrai dalam satu waktu selama 15 20 menit. Lima menit pertama, lakukan sangrai dengan pelan. Lalu selanjutnya, kecepatan ditambah setiap selang lima menit. Saat disangrai bobot dari biji kopi akan susut 15% karena kadar airnya menguap.
Setelah 15 20 menit, biji kopi tersebut diangkat dari wajan, lalu dikipasi, agar cita rasa di dalamnya tidak hilang. Setelah dingin, diamkan biji kopi selama minimal 3 hari. Baru setelah itu ditumbuk. Setelah menjadi bubuk, kopi siap untuk diseduh dan disajikan.
Menumbuk biji kopi
Untuk menyeduh kopi, juga ada caranya agar cita rasa kopi terjaga. Pertama jerang air hingga mendidih. Setelah mendidih, diamkan dulu setengah menit agar suhunya turun hingga sekitar 90 derajat celcius. Kemudian masukkan satu sendok makan kopi ke dalam cangkir.
Masukkan air yang sudah didiamkan tadi ke dalam cangkir hingga cukup sampai setengah cangkir dulu, lalu aduk perlahan-lahan. Nantinya ampas dari kopi akan terangkat dan mengapung di permukaan. Ampas ini akan menahan cita rasa kopi agar tidak keluar. Kopi akan lebih nikmat rasanya jika keluar busa pada air kopi tadi. Setelah itu, tuang air secara perlahan hingga cangkir penuh. Aduk sebentar. Tambahkan gula secukupnya sesuai selera dan kopi siap untuk dinikmati.
Biji Kopi Kemiren ini dari jenis kopi robusta yang berasal dari seluruh perkebunan kopi yang tersebar di daerah Banyuwangi. Jadi biji kopi yang digunakan adalah biji kopi lokal Banyuwangi. Tapi meski dengan hanya biji kopi lokal, Mas Haidi optimis bahwa cita rasa yang dihasilkan tidak kalah dengan kopi-kopi lainnya.
Kopi-kopi yang dihasilkan oleh Pathok ini dikemas dalam sebuah kantong plastik dan diberi nama Jaran Goyang. Harga yang dipatok juga cukup murah dan terjangkau sehingga tak heran para dblogger langsung memborong kopi-kopi tersebut hingga stoknya habis. Senyum tersungging di wajah Mas Tuki, Mas Haidi dan rekan-rekannya melihat kami semua yang seperti kesetanan berebut kopi, he he he.
Sampai dengan saat ini, pemasaran kopi Kemiren masih di tingkat lokal saja dengan omzet sekitar 20 kg per minggu (dihitung dari berat biji mentah sebelum disangrai). Tapi dengan promosi pariwisata yang besar-besaran dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, aku optimis dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, Kopi Using Kemiren tidak lagi menjadi kopi yang asing di telinga para penikmat dan pecinta kopi, dan diterima baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Dan nama Banyuwangi akan termahsyur sebagai salah satu penghasil kopi terbaik di dunia yang ada di Indonesia seperti Toraja di Sulawesi ataupun Gayo di Aceh. Semoga.
Kopi Kemiren, sekali seduh kita saudara, dua kali seduh yo bayar rek 🙂 Setiawan Subekti.
kopi kemiren? saya bacanya kopi kemaren *uppss 😀
kapan bisa cobain ya 🙂
ohya blogwalking ya 🙂 di blog saya.. http://goo.gl/bQSw6M
.
Kopinya enak gak?
ohya blogwalking ya 🙂 di blog saya.. http://goo.gl/bQSw6M
.
Hihihihi…iya Sur, kalo udah lebih dari sekali, memang wajib bayar…
Thanks infonya ya, pagi ini saya banyaaak sekali tambahan ilmu dari Banyuwangi. Dan kopi kemiren ini, bener-bener bikin saya penasaran…ehm, saya penikmat kopi hitam soalnya, Sur!
“Wah, begitu ya mbak. Kalau ke Banyuwangi jangan lupa mampir ke Sanggar Genjah Arum mbak”