Menyambut Pagi di Pasar Terapung Muara Kuin

Pagi itu, adzan subuh baru saja berkumandang sekitar 20 menit yang lalu di kota seribu sungai, Banjarmasin. Suasana masih sangat gelap. Di ufuk timur, matahari belum menampakkan diri secara utuh. Yang tampak hanyalah semburat jingganya.

Di hari yang masih gelap itu, aku dan teman-temanku sudah berada didalam mobil untuk memulai perjalanan menjelajahi ke-eksotisan budaya Kalimantan Selatan. Yap, pagi ini, kami ingin menikmati riuhnya Pasar Terapung Muara Kuin. Pasar ini terletak di sungai kuin, salah satu anak sungai Barito. Mata kami semua sebenarnya masih sangat berat untuk terbuka. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah satu-satunya cara untuk bisa melihat eloknya pasar terapung muara kuin.

Pasar terapung muara kuin mulai beroperasi dari jam 6 pagi hingga sekitar jam 8 atau maksimal jam 9 pagi. Jadi jika kami berangkat dari hotel agak siang dikit, dijamin, begitu kami sudah sampai lokasi, yang kami temukan mungkin hanyalah sisa-sisa pasar atau bahkan sudah tiada lagi pedagang disana.

Jalanan masih tampak lengang, sehingga mobil yang kami tumpangi bisa melaju cukup kencang. Perjalanan kami terhenti di sebuah dermaga kecil bernama Belitung. Disini kami menyewa sebuah kelotok alias perahu yang akan membawa kami menuju Pasar.

Dengan jadwal pasar yang sangat pagi, maka sewa mobil adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk bisa menuju dermaga kelotok dari pusat kota Banjarmasin. Atau kalau sendiri, mungkin bisa naik ojek. Angkutan kota belum beroperasi sepagi itu. Kalau ada pun, maka akan ditempuh dengan waktu yang cukup lama karena masih sedikit penumpang yang naik.

Negosiasi harga sewa kelotok berjalan cukup alot. Si Pemilik kelotok membuka harga 150 ribu, sedangkan kami menginginkan harga 100 ribu. Dengan dibantu oleh Pak Soni, driver dari mobil sewaan kami, kami akhirnya berhasil mendapatkan harga 120 ribu.

Kelotok berjalan pelan menyusuri sungai barito yang sangat luas. Saking luasnya, aku merasa berada di laut daripada di sungai. Angin pagi menderu kencang dan terasa cukup dingin menembus kulit. Hal yang membuatku menyesal meninggalkan jaket di dalam mobil.

Hanya beberapa menit, kami sudah sampai di lokasi pasar terapung. Suasana masih tampak cukup sepi dan lengang. Aku tidak menemukan suasana riuhnya pasar terapung seperti yang sering aku lihat di majalah, koran ataupun iklan lawas salah satu stasiun televisi swasta nasional. Entahlah, apakah mungkin karena hari masih terlalu pagi atau karena masih dalam suasana bulan ramadhan atau memang benar berita yang pernah kubaca di sebuah blog ataupun media online bahwa pasar terapung di Kalimantan selatan ini menuju kepunahan.

Tanpa membuang waktu, aku keluarkan kamera dan mengambil beberapa frame. Banyak sekali hal menarik disini, hingga membuatku seperti tidak rela berhenti menekan shutter. Riak-riak kecil air sungai yang senantiasa menggoyangkan kelotok yang kami tumpangi, membuat kami harus berhati-hati ketika memutuskan mengambil gambar dengan berdiri.

Beberapa menit menuyusuri pasar, kelotok kami didekati oleh beberapa pedagang. Mereka menawarkan dagangannya yang berupa hasil bumi seperti sayur dan buah. Sambil mendayung perahunya, yang dalam bahasa banjar disebut Jukung, mendekati kelotok kami, para pedagang yang kebanyakan adalah ibu-ibu ini, meneriakkan barang dagangan mereka. Tertarik dengan keranuman buah-buahan yang mereka tawarkan serta dalam rangka turut berpartisipasi dalam kelestarian pasar terapung ini, kami pun membeli beberapa buah-buahan. Salah satu buah yang menarik perhatianku adalah Kesemek. Bukan apa-apa, tapi sepanjang hidupku, aku belum pernah makan buah kesemek sama sekali.

Dalam transaksi kali ini, kami hanya bisa pasrah dan percaya pada si pedagang bahwa buah yang dia jual rasanya manis. Kami jelas tidak bisa mencicipinya karena tengah beribadah puasa ramadhan.

Jika berkunjung ke pasar ini tidak pada bulan ramadhan, konon akan ada kelotok yang khusus berjualan makanan. Salah satu yang laris manis adalah Soto Banjar, makanan khas Banjar. Disini wisatawan bisa merasakan sensasi makan soto banjar yang lezat itu di atas kelotok.

Semakin siang, suasana pasar ternyata tidak terlalu bertambah ramai. Masih lengang seperti di awal kedatangan kami beberapa menit yang lalu. Mungkin memang benar berita-berita bahwa pasar terapung ini menuju kepunahan. Arus modernisasi yang diikuti dengan tumbuh suburnya pasar-pasar tradisional maupun modern di daratan serta ditunjang dengan mudahnya dan murahnya mendapatkan kredit sepeda motor membuat pasar terapung kehilangan geliatnya. Orang-orang Banjar kini lebih memilih membeli motor daripada perahu/jukung. Untuk belanja, mereka bisa melakukannya di daratan.

 

Pembeli di Pasar Terapung berkurang. Akibatnya penjual pun berkurang. Kini, yang bisa kusaksikan hanyalah sebuah sisa-sisa kejayaan pasar terapung yang dulunya merupakan denyut nadi ekonomi warga Banjar yang konon sudah berjalan sejak 4 abad silam. Masih beruntung diriku bisa menikmati sisa-sisa itu. Jika pemerintah tidak turun tangan dan tidak segera melakukan sebuah tindakan pelestarian, sisa-sisa ini akan menjadi tidak berbekas. Pasar terapung Muara Kuin pun hanya tinggal nama dan legenda. Semoga ini semua tidak terjadi.

7 thoughts on “Menyambut Pagi di Pasar Terapung Muara Kuin

  • 02/09/2012 at 19:47
    Permalink

    Wuihh…. Senangnya Sur bisa berkunjung ke sana. Dan senangnya diriku bisa membaca langsung cerita dari orang yang aku kenal langsung. Berasa ikut main ke sana.

    Daaan yang lebih mengherankan, belum pernah makan kesemek? OHMAIGOOOODDD!! *lebay*

    Thx Sur. 😀

    “He he he he.. iyo Dan.. rung tau mangan kesemek.. Ndeso ya. he he he”

    Reply
  • 03/09/2012 at 09:48
    Permalink

    Waaahh, akhirnya keliling Banjarmasin juga… Menurut cerita teman suamiku di Banjarmasin dulu, pasar terapung memang sudah sangat berkurang keramaiannya, maklum mall2 uda mulai masuk Banjarmasin 😀 dan pasar terapung di Muara Kuin memang lebih kecil daripada yang di Lok Baintan, tapi yang terdekat dari Banjarmasin. Sempat kuliner apa aja mas? Cerita duuunk…

    “Hmmm.. Cerita tentang kuliner ya.. Soto Banjar, Udang Galah? Nanti deh dicoba bikin ceritanya.. Paling-paling entar isinya maknyus maknyus doang lel, he he he”

    Reply
  • 03/09/2012 at 15:29
    Permalink

    oooh mungkin itu sepi karena bulan ramadhan, soalnya pas aku kesana rame kog.. malahan ada kyk warung gitu di kapal jd sarapan ngopi nya di atas kapal gitu. eh tp aku juga kesananya udah 4 tahun yg lalu sptnya wkwkwkwk

    “Ohh gitu ya.. Mungkin kalau ada kesempatan kesana lagi, semoga pasarnya lebih ramai dan lebih riuh.. :)”

    Reply
  • 16/09/2012 at 12:14
    Permalink

    alhamdulillah…dapat kesempatan lagi ikut menikmati hasil lawatannya Surya… makasih (lagi) ya.. 🙂

    “Sama-sama mbak”

    Reply
  • 22/09/2012 at 07:13
    Permalink

    ikut nyimak dan baca… Salam kenal tentunya….

    Jkt 22 sept 2012

    “Salam kenal juga mas adie”

    Reply
  • 07/10/2012 at 23:48
    Permalink

    Belum pernah makan kesemek, Surya?
    Duh, itu kan buah kesukaan ibu dan almarhumah ibu mertua saya…buah kuno yang pake bedak itu, rasanya bener-bener unik kan?
    😉

    “Iya nih mbak, ndeso, makan kesemek aja belum pernah, hi hi hi”

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *