Percikan Cahaya di Kota Madinah

Sholat Maghrib baru saja usai. Ketenangan Masjid Nabawi yang sedari tadi terasa, pun berubah menjadi riuh karena langkah serta suara para jamaah sholat Maghrib yang mengantri keluar Masjid. Meski suasana hiruk pikuk sangat terasa, tetapi kondisi sangat tertib.

Masjid Nabawi di Waktu Petang
Masjid Nabawi di Waktu Petang

Saya sendiri saat itu memutuskan untuk bertahan di Masjid Nabawi hingga waktu Sholat Isya’ tiba. Selain karena jarak waktu antara sholat maghrib dan Isya’ yang relatif sempit, saya juga ingin mengistirahatkan kaki sejenak karena terasa cukup pegal setelah seharian menjelajahi Masjid Nabawi dan sekitarnya. Perut juga belum terasa lapar, karena sebelum sholat Maghrib tadi, dua gelas air zam-zam sudah membahasi kerongongan dan lambung.

Suasana masjid Nabawi begitu nyaman untuk I’tikaf. Selain suhu udara yang sejuk, hasil dari kolaborasi penyejuk udara yang terpasang di setiap tiang masjid, permadani yang terhampar di hampir setiap jengkal masjid sangat tebal, sehingga terasa empuk.

Sepuluh menit berlalu, suasana di dalam masjid kembali kondusif. Riuh sudah berlalu dan kini suara yang tertangkap oleh gendang telinga saya adalah sayup-sayup lantunan suara ayat suci Al Qur’an. Hampir semua orang di sekeliling saya menyibukkan diri dengan mushaf Al Qur’an. Beberapa diantaranya membaca sendiri dan beberapa diantaranya membaca sambil berkelompok membuat setengah lingkaran dengan dipimpin seorang guru.

Di antara kelompok-kelompok kecil tadi, terdapat beberapa kelompok yang terdiri dari anak-anak seusia 5 hingga 12 tahun. Mereka jumlahnya tidak sedikit. Di sekitar saya saja, terdapat tak kurang dari dua puluhan anak. Sejauh mata memandang, saya juga melihat beberapa majelis-majelis kecil yang terdiri dari anak-anak di sisi lain masjid Nabawi. Kalau melihat gestur mereka, sepertinya anak-anak ini bukan hanya sekedar membaca Al Qur’an, tetapi lebih dari itu. Mereka sedang menghafal. Sesekali mereka membaca Qur’an yang mereka pegang, dan kemudian sesekali mereka menutupnya, dengan bibir tetap melantunkan ayat-ayat suci itu.

Bosan menghafal dengan duduk, mereka pun berdiri. Bosan dengan berdiri mematung, ada yang menggoyang-goyangkan badan dengan tetap terus mencoba menghafal. Ada juga dari anak-anak itu, membentuk kelompok lebih kecil lagi, menjadi dua atau tiga orang. Satu anak melantunkan hafalannya, sahabatnya menyimak, sambil mengingatkan atau mengoreksi jika hafalan temannya keliru.

Ketika mereka sudah yakin dengan hafalannya, mereka datang ke seseorang, yang saya meyakini adalah guru mereka, untuk menyetor hafalan. Jika berhasil, guru itu pun mencatat dalam sebuah kertas dan kemudian si anak menjauh untuk bergantian dengan sahabatnya yang lain, menyetor hafalan. Si anak yang sudah menyetor hafalan, kembali menekuni ayat demi ayat di mushaf yang ia pegang untuk kembali menghafal.
Kegiatan itu terus dilakukan hingga Adzan Isya berkumandang di Masjid Nabawi. Mereka pun diam sejenak untuk mendengarkan panggilan sholat itu. Seusai adzan, mereka melanjutkan sejenak kegiatan menghafalnya, sebelum akhirnya menyudahi dan mengembalikan kembali mushaf Al Qur’an pada tempatnya.

Pemandangan petang itu, bagi saya, benar-benar membekas di hati. Sungguh Allah telah memberikan cahaya dan keberkahan pada kota Madinah seperti yang Rasulullah minta. Bukan hanya berupa kilauan cahaya lampu, tetapi yang terpenting, cahaya iman dan cahaya kebenaran. Dari kota Madinah inilah, Islam menyebar ke seluruh dunia. Dari kota Madinah juga, pemerintahan Islam pertama dimulai. Dan juga dari kota Madinah inilah, lahirlah figur-figur islam yang sangat disegani, mulai dari era Khulafaur Rasyidin hingga sangkakala berkumandang nantinya. Itulah mengapa kota Madinah mendapat julukan, Madinah Al Munawaroh yang artinya kota yang bercahaya.

Namun disisi lain, apa yang saya saksikan malam itu membuat jiwa saya bergejolak. Saya mendadak takut. Dengan semua yang telah saya lakukan pada waktu yang telah saya sia-siakan di dunia ini, pantaskah saya mengaku sebagai hamba Allah yang taat? Ketika melihat adik-adik generasi penerus perjuangan Islam, serta para jamaah Masjid Nabawi yang hatinya senantiasa terpaut dengan Masjid dan Al Qur’an, lantas kemudian berpaling melihat pada diri sendiri yang amalannya masih belum seberapa, tetapi tidak berhenti memproduksi dosa, apakah saya layak mengharapkan surganya Allah?

Ah saya jadi malu pada diri saya sendiri yang seolah-olah sudah menumpuk banyak kebaikan, padahal itu semua tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan amal soleh adik-adik maupun guru gurunya di Masjid Nabawi. Belum lagi, jika dibandingkan dengan para mujahid di Gaza, yang menurut cerita dari salah satu ustadz, tidak pernah sedikitpun melewatkan waktunya untuk berdzikir. Karena itulah mereka memiliki keberanian yang sangat tinggi. Bagi mereka, rasa takut mereka hanyalah untuk Allah, bukan kepada sesama manusia.

Suasana Masjid Nabawi Di Malam Hari
Suasana Masjid Nabawi Di Malam Hari

Seusai salam sholat Isya yang dilanjut dengan sholat jenazah, saya tidak buru-buru untuk keluar Masjid. Lapar memang mulai terasa karena memang malam ini saya belum makan, tetapi saya sempatkan diri untuk kembali duduk di Masjid. Saya ingin sejenak, sekali lagi, mengamati wajah adik-adik, calon generasi terbaik penerus perjuangan Islam yang sedari tadi membuat saya takjub. Malam ini, adalah malam terakhir saya di kota Madinah pada kunjungan umrah saya tahun 1438 H ini. Esok siang, setelah sholat Dzuhur, saya sudah harus berangkat menuju kota suci Mekkah. Saya berharap, semoga saya diberi kesempatan lagi oleh Allah untuk bertemu kembali dengan adik-adik yang sangat menginspirasi itu sekaligus mengunjungi kembali kota Madinah di tahun-tahun yang akan datang. Aamiin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *