Berburu foto blue fire yang konon hanya ada dua di dunia atau mengabadikan human interest berupa para penambang belerang. Dua hal itu yang biasanya menjadi daya tarik utama wisatawan, utamanya fotografer ataupun sekedar penghobi foto, untuk datang ke kawah Ijen. Demikian pula saya.
Sayangnya, saat kesempatan itu datang di depan mata, saya tidak berhasil menjemputnya.
Pertama, karena kondisi fisik yang sudah sangat kepayahan saat menapaki perjalanan menuju puncak Dieng. Tubuh saya seperti berontak. Setelah cukup lama tidak berolahraga teratur, tiba-tiba saya paksa dia untuk berjalan mendaki selama 3 jam. Belum lagi kondisi udara yang sangat tipis dan dingin.
Sebenarnya, pada akhirnya saya berhasil memaksa kaki saya untuk terus bergerak dan bergerak, hingga akhirnya saya berhasil menapaki puncak. Saya kira ini sudah titik akhir. Saya salah. Ternyata untuk bisa menikmati api biru, saya harus turun lagi ke dasar kawah. Di remang kegelapan malam, saya mencoba menebak seberapa dalam dan seberapa jauh dasar kawah yang musti saya tuju untuk menyaksikan api biru. Saya memperhatikan aliran cahaya yang berasal dari head lamp para wisatawan yang mengular disepanjang tebing kawah dan kemudian berkerumun di sebuah titik di ujung sana. Saya menebak, di sekitaran titik di ujung itulah letak api biru.
Sempat terbesit ragu untuk turun, karena melihat jarak yang cukup dalam. Saya tidak membayangkan, sanggupkah saya untuk bisa naik menuju ke bibir kawah lagi nanti. Namun karena rasa penasaran yang teramat sangat, saya pun memutuskan untuk turun ke dasar kawah. Tak lupa sebelumnya saya menyewa masker gas.
Perjalanan turun menuju dasar kawah ternyata bukan perjalanan yang mudah. Medannya berbatu dan cukup terjal. Setelah sekitar 20 menitan, saya pun sampai di dasar kawah. Jilatan-jilatan api berwarna biru itu kini tersaji indah di depan mata saya. Warna birunya tampak sangat jelas karena suasana sekitarnta yang gelap pekat. Saya pun melepas masker sejenak dan mencoba menghunus kamera. Sebenarnya saat itu, saya melihat kondisi tidak cukup kondusif untuk memotret karena arah asap belerang menuju ke arah saya. Tapi saat itu saya ingin segera memotret karena kondisi badan letih dan saya ingin segera kembali naik ke bibir kawah. Riuhnya suasana di dasar kawah membuat tidak ada tempat yang bisa saya gunakan untuk sekedar istirahat.
Saya pun nekat membuka masker, membidik dan tiba-tiba asap pekat berhembus cukup banyak dari sekitar tambang belerang dan memapar wajah saya. Seketika itu, mata saya terasa sangat perih.
Dan inilah penyebab kedua, mengapa saya gagal mendapatkan foto api biru dan penambang belerang. Saya pun mengambil sebotol air mineral, yang isinya hanya tinggal setengahnya, dari dalam tas untuk membasuh mata. Dengan hati-hati saya membuka botol, menuangkan air ke tutup botol seraya kemudian memercikkannya ke mata secara perlahan, agar pembilasan terjadi maksimal. Persediaan air yang minim membuat saya harus berhati-hati dalam memanfaatkannya. Mata memang terasa perih, tapi hati tetap harus sabar.
Insiden ini membuyarkan mood saya. Kondisi mata yang tidak nyaman membuat saya tidak ingin memotret lagi. Yang dipikiran saya saat itu, saya ingin segera naik ke bibir kawah untuk menghindari hembusan asap belerang, sekaligus meminta air mineral dari kawan-kawan saya yang tengah menunggu di bibir kawah, untuk membasahi mata.
Ketika fajar sudah merekah, saya bisa melihat dengan jelas kepulan asap yang membumbung tinggi dari lokasi tempat dimana blue fire berada. Asap yang cukup pekat memang. Saya pun turun lagi ke kawah untuk sekedar mengambil beberapa foto. Ya, meskipun beberapa jam yang lalu, mood sempat hilang, namun ketika melihat pemandangan pagi yang begitu eksotis, sayang sekali untuk tidak diabadikan. Namun kali ini saya turun tidak sampai ke dasar kawah karena lutut dan engkel di kaki sudah protes keras. Saya mencukupkan diri di sebuah tempat yang cukup lapang, di tengah-tengah antara bibir kawah dan dasar kawah.
Ya, sebuah pengalaman yang sangat berharga buat saya untuk lebih hati-hati dalam memotret di kemudian hari. Tapi apapun itu, Ijen memang mempesona. Kejadian ini bukan berarti bahwa saya akan kapok ke Ijen lagi. Tapi justru, saya harus ke Ijen lagi, karena masih ada sebuah hal yang belum tuntas.