Yeh Jawaani Hai Deewani (Sebuah Review)

Saya sebenarnya bukan penggemar berat film India. Tapi didalam daftar film terbaik yang pernah saya tonton selama hidup saya, ada beberapa film india didalamnya. Diantaranya ada Kabhi Khushi Kabhie Gham, Mohabbatein, Kal Ho Naa Ho dan tentu saja film India terbaik sepanjang masa, Kuch Kuch Hota Hai. Jumlah film India di dalam daftar film terbaik saya itu kini bertambah satu lagi dengan masuknya film Yeh Jawaani Hai Deewani.

Yeh Jawaani Hai Deewani Poster
Yeh Jawaani Hai Deewani Poster

Yeh Jawaani Hai Deewani adalah film drama bertema traveling yang dirilis di tahun 2013 dengan pemeran utama adalah Ranbin Kapoor yang berperan sebagai Kabir dan Deepika Padukone yang berperan sebagai Naina. Bagi saya, genre film ini adalah yang saya cari selama ini, sebuah film dengan tema traveling, yang tidak hanya sekedar menampilkan destinasi yang menarik, tetapi juga memiliki karakter cerita yang sangat kuat. Meskipun tidak ada nama besar Bollywood seperti Shahrukh Khan, Kajol, Rani Mukheri, Aamir Khan ataupun Preity Zinta, film ini terbilang cukup sukses di pasar India.

Anyway, review saya ini, menurut saya pribadi jauh dari kata spoiler, meskipun didalamnya ada beberapa dialog yang saya sertakan.

Di awal film, saya dibawa mengunjungi Manali, sebuah daerah pegunungan salju di India Utara. Derah yang berjarak sekitar 12 – 14 jam perjalanan dari pusat kota New Delhi ini, merupakah salah satu bagian kaki pegunungan Himalaya bagian selatan yang masuk kawasan negara India.

Konsep sinematografi yang sangat baik, membuat saya begitu menikmati pemandangan alam yang tersaji disana. Saya begitu terpukau dengan pegunungan salju yang tampak sangat mempesona di mata. Saya pun jadi ingin ke Manali. Dan sejak saat menonton film ini, Manali pun masuk dalam daftar lokasi tempat di dunia yang ingin saya kunjungi.

Yeh Jawaani Hai Deewani Scene at Manali
Yeh Jawaani Hai Deewani Scene at Manali
Yeh Jawaani Hai Deewani Scene at Manali
Yeh Jawaani Hai Deewani Scene at Manali

Beberapa menit kemudian, saya terbang menuju Eropa, tepatnya di ibukota negeri Anggur, Prancis. Sudah bisa ditebak, untuk menunjukkan serta menguatkan pada penonton bahwa film tersebut memang berlatar kota Paris, Menara Eiffel, harus masuk ke dalam adegan. Tapi, yang membuat saya suka, sudut pengambilan gambar sang ikon, berbeda dengan film berlatar Paris yang pernah saya tonton. Adegan di Paris berlangsung dengan durasi yang cukup singkat, tetapi sangat membekas.

Yeh Jawaani Hai Deewani Scene at Paris
Yeh Jawaani Hai Deewani Scene at Paris

Selanjutnya, saya disuguhi sekaligus diperkenalkan dengan sebuah pertunjukan budaya, yakni sebuah pesta pernikahan ala India. Pesta pernikahan ala India ternyata sebuah pesta yang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Pesta digelar setidaknya selama 4 hingga 7 hari penuh, mulai dari pesta ala modern dengan menggunakan jas dan gaun, hingga yang bernuansa tradisional india, terutama saat prosesi pernikahannya, dengan mengenakan Kurta dan Sari.

Pernikahan di Scene Yeh Jawaani Hai Deewani Scene
Pernikahan di Scene Yeh Jawaani Hai Deewani Scene
Pernikahan di Scene Yeh Jawaani Hai Deewani Scene
Pernikahan di Scene Yeh Jawaani Hai Deewani Scene

Di sela-sela, pesta pernikahan yang panjang itu, saya diajak untuk mengunjungi Udaipur, sebuah kota berjuluk “The Venice From India”, yang terletak di negara bagian Rajashtan. Dataran Rajashtan yang sebagian besar berupa gurun pasir, menjadi sedikit sejuk dengan kehadiran istana-istana nan megah dengan taman-taman cantik yang menghiasinya.

Udaipur, salah satu lokasi pengambilan gambar Yeh Jawaani Hai Deewani
Udaipur, salah satu lokasi pengambilan gambar Yeh Jawaani Hai Deewani

Salah satu scene terbaik film ini berada di Udaipur, saat sang sutradara menyajikan pemandangan matahari terbenam dari sebuah bukit. Beberapa menit sebelum adegan ini, terdapat beberapa dialog antara sepasang pemeran utama yang sangat saya suka dan bagi saya merupakan salah satu dialog terbaik dari beberapa film yang pernah saya tonton. Pantas saja Hussain Dalal, sebagai scriptwriter diganjar penghargaan Star Guild Awards di tahun 2014 sebagai Best Dialog.

Senja di Udaipur, Salah satu adegan di Yeh Jawaani Hai Deewani
Senja di Udaipur, Salah satu adegan di Yeh Jawaani Hai Deewani

Dialog yang terjadi di Udaipur itu telah memberikan sebuah gambaran, bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Sering kali beberapa dari kita, terutama yang suka untuk traveling, iri melihat kehidupan seorang wartawan travel seperti dari National Geographic, Discoverty Channer ataupun Fox Traveller. Nah, di film ini, kita seperti ditunjukkan, bahwa kehidupan wartawan travel ternyata tidak seenak atau senyaman yang dibayangkan. Ada banyak pengorbanan yang harus mereka lakukan. Dan beberapa pengorbanan itu adalah sebuah hal yang sangat tidak mudah.

“Aku takut dengan kehidupan seperti yang kalian, orang-orang kebanyakan, lakukan. Kalian menghabiskan seluruh hidup kalian di satu kota, satu rumah, satu ruangan,” ujar Kabir.
“Aku justru takut menjadi orang-orang sepertimu, yang berpindah-pindah, seperti kaum nomaden,” sahut Naina membalas.
“Kamu mengatakan itu, karena kamu belum pernah menikmati kehidupan di negara yang berbeda.”
“Dengan cara seperti itu, aku ragu, apakah kamu pernah merasakan kenyamanan sebuah rumah.”
“Kamu tidak pernah tahu, bagaimana rasanya duduk bersama keluarga asing, lalu mendengar berbagai cerita kehidupan mereka.”
“Tapi kamu juga tidak akan pernah tahu, bagaimana rasanya duduk bersama kawan lama dan mengenang masa-masa lalu bersama-sama.”
“Suatu hari, aku akan membawamu ke San Fransisco. Aku akan mengajakmu makan ‘Mutton Burger’ yang paling terkenal disana. Kamu akan jadi tergila-gila dengan burger.”
“Suatu hari nanti, aku akan membawakanmu ‘Mutton Biryani’ buatan rumah. Dan aku yakin, kamu akan melupakan Burger.”
“Kamu belum pernah ke Paris kan?”
“Kamu sendiri apakah sudah pernah melihat kelahiran seorang bayi?”
“Johannesburg, Piala Dunia dan Gol kemenangan dari Andres Iniesta.”
“Stadion Wankhede (Stadion Cricket di Mumbai) dan Pukulan kemenangan dari Mahendra Singh Dhoni.”
“Matahari Terbit di California.”
“Hujan di Bombay.”
“Blueberry Cheesecakes.”
“Indian Custard.”
“Menonton Phantom of the Opera di Broadway.”
“Menonton Dilwaale Dulhaniya Le Jayenge di bioskop dengan ditemani semangkuk popcorn.”
“Suatu hari nanti, kamu akan menjadi ibu yang gemuk dari dua orang anak, dan aku akan tetap seperti ini, dengan tubuh yang tegap dan fit.”
“Bukan hanya dua, tetapi enam. Dan suatu hari nanti, ketika kami bersama-sama menonton Harry Potter di istana kecil kami, kau, sendirian, masih sibuk membetulkan jahitan di sepatumu, di sebuah desa di Afrika.”
Rentetan dialog demi dialog ini diakhiri dengan sesuatu yang membuat saya dan istri tertawa, karena beberapa percakapan terakhir ini mengingatkan akan kami berdua.
“Ayo, kita harus cepat, kita tidak boleh ketinggalan ‘Light and Sound Show’ yang akan dimulai sesaat lagi,” ujar Kabir.
“Aku Lelah. Mari kita menghabiskan waktu disini. Kamu lihat, pemandangan disini sangat bagus,” kata Naina sambil menghela nafasnya.
“Aku tahu, tetapi akan lebih bagus dan lebih menyenangkan jika kita bisa menjelajahi dan melihat semua yang ada di kota ini.”
“Kamu tidak bisa melakukan segalanya dalam satu hari.”
“Tentu saja aku bisa,” sahut Kabir mantap. “Lihat ini.” Dan kemudian Kabir mengeluarkan selembar kertas yang bertuliskan daftar itinerary. “Tinggal satu tempat ini yang ada di daftar, yang belum kita kunjungi.”
Naina mengambil kertas itu, dan kemudian membuangnya. “Oke, dan sekarang kita tidak perlu mengunjunginya lagi.”
Adegan seperti ini sering kami alami beberapa kali saat traveling. Saya yang masih antusias untuk menjelajah karena masih ada target tempat yang harus dikunjungi di hari itu. Sedangkan istri sudah kelelahan dan ingin segera beristirahat, ataupun istri ingin sekedar berdiam diri menikmati suasana. Tak jarang, adegan ini berakhir dengan cemberutnya istri saya tercinta, he he he.
“Apakah tidak menyesal, jika ternyata ‘Light and Sound Show’ berjalan luar biasa?,” sahut Kabir, masih dengan keinginnya untuk menonton pertunjukan tersebut.
“Tentu saja akan luar biasa, tetapi, jika kita meninggalkan tempat ini, kita akan kehilangan sunset yang indah ini,” sahut Naina. “Seberapa keras kamu berusaha, kamu akan selalu kehilangan sesuatu dalam hidup. Jadi, mari kita sejenak nikmati momen ini.”

Berbicara film India, tidak lengkap jika tidak berbicara tentang musiknya. Bagi saya, musikalitas film ini sangat baik dan modern. Suara gendang dan irama musik ala dangdut khas India masih mendominasi soundtrack dari film, seperti yang terdengar dari lagu “Balam Pitchkari”, “Kabire”, dan “Ghagra”. Tetapi aroma modernisasi sangat kental pada lagu “Badtameez Dil” yang bernuansa disko. Sedangkan lagu favorit saya di film ini adalah “Ilahi” dan “Subhanallah”, terutama “Subhanallah” yang dibuka dengan alunan musik akustik.

Terakhir, bagi yang teracuni dengan review saya ini, selamat berburu film ini, download dan kemudian meluangkan waktu sekitar 3 jam untuk menontonnya. Bagi yang tidak teracuni, terima kasih, setidaknya sudah meluangkan waktu untuk berkunjung ke blog ini, he he he.

Oh iya, sebelum postingan ini saya akhiri, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Karan Johar dan Dharma Production, yang sekali lagi telah memproduksi film berkualitas. Setelah Kuch Kuch Hota Hai dan Kabhi Khushi Kabhie Gham, kini ada satu lagi film legenda, Yee Jawaani Hai Deewani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *