Pagi masih buta, tapi roda-roda motor saya sudah memulai aktivitasnya. Adzan subuh sudah berlalu dua puluh menit yang lalu, sehingga suasana jalanan sudah cukup ramai dengan para jamaah yang pulang dari menunaikan sholat Subuh. Hujan semalaman membuat kota Surabaya terasa begitu sejuk, bahkan cenderung dingin. Jaket membungkus rapat tubuh saya, tetapi masih tidak mampu menepis dingin yang menyergap.
Pagi itu, bersama istri, saya berniat menuju kawasan Pantai Ria Kenjeran. Dari rumah saya, yang sama-sama di wilayah Surabaya Timur, jaraknya hanya sekitar 8 km saja dengan waktu tempuh normal 20 menit. Sangat dekat sebenarnya, hanya saja karena dingin, maka perjalanan pagi itu saya tempuh sekitar 40 menit.
Sesampainya disana, saya musti memarkir motor di area sekitar kaki jembatan, karena di setiap hari Minggu pagi, jembatan ini ditutup untuk kendaraan bermotor. Aroma ikan langsung terasa begitu saya membuka helm, karena memang salah satu kaki jembatan berada di area Pasar Ikan Kenjeran. Saya pun mulai berjalan menuju area tengah jembatan. Semakin mendekati area tengah jembatan, aroma ikan mulai berkurang dan sebagai gantinya adalah udara pagi yang sangat segar.
Sejak pertengahan tahun 2016 lalu, Surabaya memiliki sebuah ikon wisata baru berupa sebuah jembatan yang diberi nama Jembatan Surabaya. Lokasinya berada tepat di sebelah timur Pantai Kenjeran Lama. Sejak dibuka resmi untuk umum di tanggal 9 Juli 2016, jembatan ini nyaris tidak pernah sepi dari pengunjung, terutama di akhir pekan.
Salah satu yang membuat jembatan ini istimewa adalah lokasinya yang berada di atas laut, tepatnya di atas pantai timur Surabaya. Di tengah-tengah jembatan terdapat sebuah bangunan semacam observation deck yang terbuat dari rangka besi. Observation ini dibuka mulai pukul 6 pagi hingga 5 sore setiap harinya. Dibutuhkan nyali yang cukup untuk naik ke observation deck ini, karena lantai bangunan bukan berupa pelat besi yang tertutup, tetapi rangka besi yang bercelah, sehingga dari atas, kita bisa melihat laut terhampar luas di bawah kita. Angin di observation deck juga terasa lebih kencang daripada di jembatan, sehingga lebih memicu adrenalin. Bagi para wanita, sangat tidak disarankan untuk memakai rok dan juga sepatu hak tinggi, jika akan menaiki observation deck.
View terbaik dari jembatan Surabaya adalah arah timur laut, karena di sanalah pengunjung bisa melihat megahnya jembatan kebanggan Indonesia, jembatan Suramadu. Biasanya jika di pagi hari, view jembatan suramadu tidak terlalu nampak jelas, karena kabut. Tapi kegagahan sang jembatan yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura itu tetap terasa, meski samar-samar.
Satu hal lagi yang membuat spesial adalah sajian pertunjukkan air mancur warna-warni di sisi barat area jembaatan. Hanya saja, air mancur ini tidak dioperasikan setiap hari, melainkan hanya di malam hari, di akhir pekan dan di event-event tertentu saja.
Tak terasa, setelah melangkah setapak demi setapak, akhirnya saya dan istri sampai juga di tengah jembatan, tepat di bawah Observation Deck. Langit pagi itu sudah mulai merekah kemerahan, menyibak pekatnya gelap, hitamnya angkasa. Di ufuk timur, sang mentari sudah mulai menampakkan dirinya kembali, pertanda bahwa pagi sudah menjelang. Bagi saya, inilah yang saya cari pagi itu. Perjuangan menembus dekapan hawa dingin beberapa menit lampau pun terbayar lunas dengan sajian istimewa dari Allah sang Maha Pencipta.
Pagi memang selalu indah, karena itulah awal dari karya kita di hari itu. Dan juga permulaan dari sebuah cerita kehidupan baru.