Kepingan demi kepingan uang logam berpindah lincah dari tangan kanan saya ke tangan kiri saya. Sementara itu mata saya menatap tajam satu persatu kepingan logam itu dengan seksama. Sesekali saya harus membalik mukanya agar tahu, berapa nominal ringgit yang di ampu si logam.
Jauh di dalam tempurung kepala, otak saya berdenyut. Jutaan sel dan jaringan saraf yang tengah berkumpul disana bersinergi untuk membantu saya memastikan berapa nilai total dari seluruh kepingan itu.
Dua menit berlalu, seluruh kepingan tersebut telah berpindah tangan. Saya menutup mata sejenak, mengurangi intensitas cahaya yang berebut masuk ke dalam kornea agar lebih fokus sekaligus membantu percepatan kinerja otak untuk menghitung.
Saya membuka mata seraya menatap rangkaian jarum jam di arloji. Selang beberapa detik kemudian, kedua bola mata berpindah ke dua lembar kertas yang sedari tadi dipegang oleh istri. Kemudian sekali lagi saya menutup mata. Kali ini sedikit lebih lama dari yang pertama. Terkadang tanpa sadar, dahiku mengernyit. Sampai akhirnya sebuah kesimpulan didapat, dan saya kembali membuka mata.
“Oke Mam, kita mampir ke Putrajaya”
“Uangnya cukup?”
“Aku hitung, cukup.”
“Kalau waktunya? Kita hanya punya waktu enam jam lho untuk mengejar penerbangan ke Surabaya”
“Insya Allah cukup. Setengah jam dari sekarang kita sudah sampai di Putrajaya. Dua jam pusing-pusing di Putrajaya. Nanti kita ikut paket tur 2 jam yang harganya 25 ringgit per orang itu. Kalau baca info di web, turnya dimulai jam 11 siang. Sekarang jam 09.40. Nanti kita naik KLIA transit yang jam 10.15. Kalau di jadwal sampe Putrajaya jam 10.35. Jadi, kita punya waktu untuk mengejar paket tur jam 11 siang,” terangku.
“Baliknya?”
“Tur mulai jam 11, kalau lamanya 2 jam, estimasi jam 1 siang selesai. Nanti kita kejar KLIA transit ke bandara yang jam 1.20, mam. Sampai KLIA 2 jam 1.40 siang. Pesawat kita jam 15.40. Jadi masih punya waktu 2 jam. Tapi kita harus siap-siap lari kalau ternyata turnya molor. Bagaimana?”
“Oke, siap”
—
Bus melaju lambat di sebuah jalanan yang sangat lebar. Total ada sekitar 8 jalur tersedia, masing-masing 4 jalur untuk setiap arah. Tidak banyak mobil ataupun motor yang melintas siang itu.
Di dalam bus, saya, istri dan delapan penumpang lainnya tampak serius menerima berbagai penjelasan dari bapak tour leader tentang Putrajaya, sebuah kota baru yang dibangun oleh Malaysia sebagai pusat pemerintahan. Kuala Lumpur sudah sangat sibuk dan padat, sehingga perannya dikurangi menjadi hanya sebagai pusat perekonomian saja.
Pemberhentian pertama dari tur ini adalah Masjid Putra. Nama Putra diambil dari nama Perdana Menteri Malaysia yang pertama, Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj. Lokasinya berada tepat di sebelah kantor pemerintahan Perdana Menteri Malaysia.
Dari awal, masjid ini sudah tampak menarik perhatian karena warnanya yang tidak biasa, merah muda. Masjid yang memiliki 9 kubah ini mulai dibangun sejak tahun 1997. Dua tahun kemudian, tepatnya 9 Maret 1999, Masjid ini mulai diresmikan penggunaannya.
Dalam perjalanan menuju Masjid beberapa menit yang lalu, dari atas jembatan, saya menyaksikan Masjid Putra seolah-olah mengapung di atas danau. Hal ini karena memang Masjid cantik ini berada di bibir danau Putrajaya, sehingga banyak juga yang menyebutnya Masjid terapung.
Dari Masjid Putra, kami dibawa menuju ke pusat kota Putrajaya. Lagi-lagi saya disuguhi sebuah pemandangan jalanan yang sangat lebar, tetapi sepi. Saya bayangkan, kalau ada jalanan seperti itu, yang lebar dan sepi, di Surabaya, pasti sudah saya manfaatkan untuk maen bola.
Di tepian jalan, gedung-gedung bertingkat tumbuh dengan pesat. Menariknya, gedung-gedung tersebut tidak hanya sekedar berbentuk kotak, tetapi memiliki desain arsitektur yang sangat cantik dan tampak sangat modern.
Setelah berjalan dengan sangat lambat di pusat kota, bus pun akhirnya berhenti di Putrajaya International Convention Center, sebuah gedung pertemuan di Putrajaya yang lokasinya berada di sebuah bukit yang cukup tinggi. Dari sini kita bisa menikmati keseluruhan pemandangan kota Putrajaya.
Dari atas bukit tersebut saya melihat sebuah lansekap kota yang sangat modern. Jalanan yang lebar, gedung-gedung bertingkat, rumah ibadah, jembatan yang bersanding dengan ruang terbuka hijau yang sangat luas berupa padang rumput dan juga danau. Lansekap kota menjadi lebih cantik karena ketiadaan tiang dan kabel listrik yang menutupi. Dari informasi bapak pemandu wisata, seluruh instalasi listrik, air maupun jaringan komunikasi berada di bawah tanah, sehingga tidak mengganggu pemandangan. Saat ini pun, tengah dibangun jaringan transportasi kereta bawah tanah yang nantinya akan terintegrasi dengan jaringan kereta di seluruh Malaysia.
Sang bapak juga menyinggung tentang sepinya kota. Menurut beliau, sepinya kota karena memang penghuninya masih belum terlalu banyak. Sebagian besar diantaranya adalah karyawan pemerintah Malaysia yang kantornya sudah pindah ke Putrajaya. Pada akhir pekan suasana akan makin sepi karena para penghuni biasanya pergi ke kota seperti Kuala Lumpur ataupun liburan.
Meski saat ini suasananya masih sepi, dalam 10 tahun mendatang, Putrajaya diperkirakan akan menjadi kota yang ramai dan sibuk, sehingga seluruh infrastruktur kota sudah disiapkan dari sekarang, mumpung masih sepi. Saya benar-benar kagum dengan langkah pembangunan negeri tetangga kita yang satu ini. Solusi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapai Kuala Lumpur bukan dengan melakukan pembangunan besar-besaran, tetapi membangun kota baru yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Kuala Lumpur.
Pemberhentian berikutnya sekaligus pemberhentian terakhir adalah sebuah taman bunga yang suasananya sangat kental dengan nuansa negeri sakura. Ini adalah lokasi yang tepat untuk berfoto ria di Putrajaya. Suasananya juga sangat nyaman dan asri. Masih disekitar area taman bunga, terdapat jembatan yang desainnya sekilas mirip dengan Sydney Harbour Bridge.
Dari taman bunga ini, bus pun berjalan kembali menuju stasiun Putrajaya. Tetapi ketika melewati jembatan seri wawasan, bus singgah sebentar di atas jembatan karena permintaan salah seorang turis asing dari Jerman. Kami semua pun menyambutnya dengan ceria, karena jembatan ini sangat sayang untuk dilewatkan tanpa berfoto.
Sekitar jam 1 siang kurang 5 menit, kami sudah sampai kembali di stasiun Putrajaya. Saya dan istri pun bergegas untuk mengejar KLIA Transit jam 13.20 untuk kembali ke bandara KLIA2 dan kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke Surabaya. Sampai jumpa kembali Putrajaya, sampai bertemu lagi Malaysia.
PutraJaya berubaaaah banget yah
Aku pernah sekali doang ke sono tahun 2005-an lah 🙂
Berubah jauh kah mbak, antara 2005 dengan 2015?