Kaki-kaki gontai berjalan beriringan di pekatnya malam. Gelap berpacu dengan dingin dan debu. Dua tiga langkah kaki maju diikuti satu langkah mundur. Nafas memburu terengah-engah. Paru-paru menjerit, meronta, mendamba oksigen yang kian menipis.
Badan sudah tidak sanggup berdiri tegak. Tongkat menjadi tumpuan, menggantikan lutut yang sudah seperti mati rasa. Bahkan beberapa sudah ada yang ambruk dan musti berjalan merangkak.
Kerongkongan terasa kering, tetapi persediaan air harus dihemat. Tetes demi tetes sangat berharga.
Ditengah itu semua, fokus dan konsentrasi harus tetap terjaga. Meski mata terasa berat, meski badan sudah remuk redam. Sudah sekitar tiga jam yang lalu pos Arcopodo kami tinggalkan. Puncak masih menunggu nun jauh di atas sana sedang kiri kanan jurang menganga.
Mahameru, puncak para dewa. Sosok hitam itu menjulang angkuh menantang angkasa. Pesonanya menawan. Kedamaiannya dirindukan. Dan kini, kami disini. Diantara bebatuan dan pasir, disekitar tebing 45 derajat yang terbentang, ditengah rasa keputusasaan, kami mencoba menggapai kemolekan itu.
Banyak orang bilang, jika sesuatu itu didapatkan dengan mudah, maka dengan mudah pula sesuatu itu akan pergi. Tidak akan ada sebuah kesan yang tertinggal. Sebaliknya, jika sesuatu itu didapatkan dengan sulit, maka akan sulit pula sesuatu itu akan pergi. Dan sesuatu itu pastinya akan memberikan kesan yang sangat dalam dan membekas.
Hanya itu lah keyakinan kami saat ini. Perjuangan yang berat ini, pasti nantinya akan setimpal dengan apa yang kami raih nantinya.
Fajar menyingsing di ufuk timur, tetapi kami masih disini. Di punggungan Semeru, tanah tertinggi di pulau jawa. Kami berhenti sesaat. Membiarkan mata menangkap salah satu momen terindah di muka bumi sambil memberikan waktu untuk nafas kami. Sungguh sempurna matahari terbit pagi ini. Sebuah nikmat yang sangat luar biasa dari Sang Pencipta. Jadi nikmat Allah mana yang kau dustakan.
Istirahat bukan berarti berhenti. Perjalanan masih dilanjutkan. Puncak sudah melambai di atas sana. Meminta segera dijejaki. Beberapa rekan sudah mengibarkan bendera putih. Cukup disini perjuangan kali ini bagi mereka.
Respect! Kami tahu, mereka berhenti bukan karena menyerah, bukan karena kalah. Tapi karena mereka tahu keselamatan adalah yang utama. Perjalanan yang sesungguhnya adalah perjalanan pulang. Kembali berkumpul bersama keluarga. Akan sia-sia jika kita meraih puncak, tetapi pada akhirnya tidak bisa pulang. Tidak akan ada kegembiraan. Yang ada hanyalah kegetiran dan air mata.
Semakin ke atas, tebing semakin curam. Empat puluh lima derajat, perlahan-lahan berubah menjadi enam puluh derajat. Stamina makin terkuras, tetapi konsentrasi harus makin fokus.
Dan, akhirnya sampailah kami di puncak. Allahu Akbar. Benar-benar sebuah perasaan yang luar bisa. Membuncah penuh kegembiraan. Kami terpekur memandang semua yang tersaji disana. Langit biru. Gugusan awan yang berarak-arak. Bukit-bukit kehijauan yang menjulang. Sungguh, manusia ini memang sangat kecil dihadapan-Nya. Sungguh, sebuah perjuangan yang sulit, akan meraih sesuatu yang sulit untuk dilupakan. Dan kami pasti tidak akan lupa dengan apa yang kami lihat pagi ini di sepanjang usia kami. Dengan penuh kerendahan hati, kami bersujud pada-Nya. Bersyukur penuh haru telah diberi kesempatan menikmati keindahan ini.
Tiba-tiba terasa puncak itu berguncang. Terdengar suara gemuruh dari dalam perut bumi. Tubuh kami bergetar. Nyali menciut. Pasir dan batu di puncak berderak. Danwhuzzz.. sebuah gumpalan asap menggelegak ke angkasa. Itulah awan panas yang tersembur dari kawah Jongring Saloka. Bentuknya seperti jamur dan sangat mematikan. Awan itulah yang diperkirakan membunuh Soe Hok Gie dan Idhan Lubis di tahun 1969, dua orang pecinta alam dari Universitas Indonesia.
Saat ini awan tersebut belum terlalu membahayakan, karena arah angin masih menuju ke selatan. Tetapi di atas jam 10 pagi, arah angin berubah ke utara, menuju puncak yang saat ini kami jejak. Untuk itulah, kami harus segera turun sebelum jam 10 pagi.
Satu jam berlalu, akhirnya kami pun turun. Perjalanan turun jauh lebih mudah dibandingkan ketika mendaki. Kami seperti bermain ski pasir. Tapi justru disinilah kewaspadaan diperlukan. Banyak data yang menunjukkan bahwa banyak pendaki hilang di Semeru justru pada saat turun dari puncak. Euforia yang berlebihan dan disorientasi arah menjadi penyebabnya. Hanya ada satu jalan dari Arcopodo menuju Puncak Mahameru. Dari situlah kami berangkat, dan menuju situlah kami pulang kembali ke Arcopodo dan lanjut ke camp ground Kali Mati. Sisanya adalah jurang menganga yang siap menerkam. Oleh tim SAR, area jurang ini disebut Blank75.
Tak sampai setengah jam, kami sudah sampai di pos Arcopodo. Disini kami memandang sekali lagi semeru yang menawan itu. Kelak, suatu hari nanti, kami pasti akan kembali disini. Dalam suasana dan kesempatan yang berbeda. Mereguk lagi keindahan dan kedamaian yang ditawarkannya.
Foto-foto di postingan kali ini adalah persembahan dari guru saya, sahabat saya, sang petualang, Mas Imron Fauzi. Postingan ini sudah pernah termuat di Wongkentir Magazine Edisi 1.
kereeen..
ayok ke gunung lagi yok hahahaa
Subhanallaaaah, sampean wis tau nyampe puncak mahameru Sur? Saluuuttttt!!
Mbayangke waktu asap yang membunuh Gie itu keluar kok serem ya. kayak ada naga ganas yang bisa berbalik arah kapan aja. Salutt Sur!:)
cobain rinjani surrrr
*tetep ngeracuni* 😀
Kebayang rasanya, bisa menginjakkkan kaki di gunung tertinggi di Pulau Jawa, Surya…
Saya belum pernah kesana.
Tapi beberapa temen dari Impala-Brawijaya dulu (termasuk sahabat saya yang sudah meninggal dunia), pernah mendaki gunung Semeru ini. Kesannya sama. Mereka begitu kagum dengan keindahannya. Dan yang seru, mereka juga turun meluncur dari puncak karena lereng deket puncak itu memang berpasir…
Kalo saya?
Nggak berani, Suuuuuur!
🙁