————
“Believe the Unbelievable, Dream the Impossible, and Dont Take No for An Answer”
— Tony Fernandes —
————
Jakarta, Kamis, 30 Maret 2006, satu tanggal yang kucatat di buku catatanku, sebagai salah satu hari bersejarah dalam hidupku. Hari itu untuk pertama kalinya aku mengudara di angkasa. Perasaan tegang, takut, bahagia, dan haru bercampur aduk menjadi satu sejak pesawat Air Asia Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan QZ7210 melaju dengan kecepatan tinggi di landasan pacu di Bandara Soekarno Hatta, tinggal landas, terbang, hingga akhirnya mendarat mulus sempurna di Bandara Juanda di Surabaya satu jam kemudian. Hari itu, seperti menjadi sebuah milestone bagiku.
Di sekitar tahun 2006, terbang, masih menjadi sebuah barang mahal. Ketika itu, harga tiket sekali jalan Jakarta Surabaya berada di sekitar range 300 ribu hingga 400 ribu rupiah. Sebagai perbandingan, tiket kereta api kelas bisnis Jakarta Surabaya sekitar 100 ribu sedangkan kelas eksekutifnya sekitar 180 ribu. Untuk bus malam, harga sekitar 120 ribu hingga 150 ribu.
Hidup sendiri di perantauan Jakarta dengan segala macam permasalahan seperti macet, banjir, sampah ataupun polusi membuatku ingin mudik ke Gresik sesering mungkin. Sekedar untuk melepas rindu kepada orang tua, kawan, kekasih serta mengisi kembali semangat untuk berjuang di perantauan. Dengan pilihan harga moda transportasi, tentu saja Kereta Api kelas bisnis ataupun bus kota menjadi pilihan terbaik karena harganya yang termurah, meski harus menempuh perjalanan panjang hingga 13 jam.
Tapi, sejak hari itu, sebuah alternatif solusi baru kudapatkan dari sebuah maskapai yang belum lama beroperasi di tanah air. Dengan harganya yang hanya sedikit lebih mahal dari kereta api kelas eksekutif, aku bisa mencapai rumah dengan lebih cepat, sehingga waktu yang bisa kumanfaatkan untuk bersilaturahim lebih banyak.
Satu lagi tanggal bersejarah kucatat. Surabaya, Jumat, 14 Januari 2011. Hari itu, sebuah pesawat dengan livery warna merah bertuliskan “Now Everyone Can Fly” dengan nomor penerbangan QZ7682 membawaku terbang dari Surabaya menuju Bandara Suvarnabhumi, Bangkok. Itulah pengalaman pertamaku meninggalkan tanah air dengan pesawat.
Pergi ke Luar Negeri? Menggunakan biaya sendiri? Untuk berlibur? Sebuah kenikmatan yang sangat super mewah. Apalagi menggunakan jasa penerbangan. Perjalanan ke Bangkok, 3,5 tahun yang lalu memang bukan pertama kalinya aku menginjakkan kaki di luar bumi Indonesia. Pada Juni 2010, aku dan istriku pernah berwisata ke Singapura. Namun, ketika itu, kami tidak langsung terbang dari Surabaya ke Singapura. Kami memilih terbang terlebih dahulu ke Batam, untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Singapura dengan menggunakan Feri. Cara itu kami tempuh karena penghematan biaya yang mencapai 50% jika dibandingkan dengan jasa maskapai penerbangan. Tapi, dengan kehadiran Air Asia, semua penerbangan ke Luar Negeri menjadi terjangkau. Tahukah anda, berapa harga tiket Surabaya – Bangkok PP awal tahun 2011 itu, hanya Rp. 562,000!!
Perjalananku ke Bangkok ternyata memberikan inspirasi bagiku untuk berbagi. Pengalaman berburu tiket promo dan membuat rencana perjalanan (itinerary) sebelum bertualang ke Bangkok, yang banyak terbantu oleh berbagai blog ataupun forum yang tersebar di dunia maya, membuatku ingin turut serta berbagi kisah. Apalagi blog-blog tersebut kebanyakan ditulis oleh orang asing yang tentu saja menggunakan bahasa inggris, sehingga masih sedikit panduan perjalanan berbahasa Indonesia. Dan akhirnya, terbitlah blog ini.
Hampir sebagian besar cerita perjalanan yang tertulis dalam blog ini diawali dengan perburuan tiket promo Air Asia. Ada kisah petualangan menyusuri Danau Toba di Sumatera. Lalu ada pengalaman menjelajahi kota tua bernama George Town di Pulau Penang, Malaysia yang merupakan situs warisan dunia UNICEF. Ada juga cerita menikmati hutan kota di KLCC Park Kuala Lumpur sambil berfoto dengan latar belakang menara kembar Petronas. Dan yang paling tidak terlupakan, kesempatan menjejak Pulau Phi-Phi di Phuket, Thailand yang pernah menjadi lokasi pembuatan film The Beach yang dibintangi oleh Leonardo Di Caprio.
Semua cerita perjalanan itu tidak pernah kubayangkan sebelumnya bakal terjadi secepat ini. Medan, Kuala Lumpur, Penang, Malaka, Bangkok, Phuket, ah, sungguh tidak kusangka aku telah berhasil menjejakkan kaki di banyak tempat di dunia ini. Kadang aku merasa, bahkan sampai sekarang, untuk bisa berlibur ke Luar Negeri dan mengunjungi tempat-tempat itu hanya akan menjadi impian saja, hingga aku berhasil menduduki karir yang cukup tinggi di perusahaan dan dengan gaji yang besar. Ternyata aku salah.
Memang, masih ada beberapa tempat di dunia ini yang hingga kini masih berwujud mimpi, seperti Jazirah Arab, Australia, Jepang, Eropa hingga ke Amerika. Tapi dengan apa yang sudah kuraih saat ini, tidak ada alasan bagiku untuk tidak bersyukur kepada-Nya dan berucap terima kasih setulus-tulusnya kepada Air Asia yang sudah memberiku kesempatan untuk melihat dunia.
Air Asia telah merubah pandangan dan paradigmaku untuk menjadi lebih optimis. Aku yakin, suatu hari nanti, dalam waktu yang tidak lama lagi, aku bisa menjejak Jazirah Arab, Australia ataupun Jepang. Dan aku juga yakin, suatu saat nanti, ketika Air Asia kembali membuka penerbangannya ke Eropa, aku akan bisa mewujudkan mimpiku untuk menjejakkan kakiku disana, melihat megahnya Eiffel di Paris, Kebesaran stadion San Siro di Milan serta Old Trafford di Manchester ataupun menyaksikan keajaiban Aurora Borealis di Oslo tanpa perlu untuk menjadi orang yang super kaya terlebih dahulu.
Air Asia, melalui sang pemilik, Tony Fernandes, juga menyadarkanku bahwa tidak ada mimpi yang tidak mungkin bisa diwujudkan, asalkan kita percaya pada diri kita sendiri bahwa kita mampu meraihnya.
Pada tahun 2001, Tony Fernandes memutuskan untuk membeli saham maskapai Air Asia seharaga 1 Ringgit. Dia ingin mewujudkan mimpi masa kecilnya untuk mempunyai sebuah maskapai penerbangan internasional yang besar. Impian Tony kala itu menjadi sebuah hal yang sepertinya sangat tidak mungkin. Bagaimana tidak, saat dibeli Tony, Air Asia hanya memiliki dua buah pesawat saja dan memiliki tanggungan hutang yang menggunung, hingga mencapi sekitar 11 juta USD.
Tapi lihat sekarang. Lihatlah hari ini. Air Asia telah menggurita menjadi maskapai besar di Asia, bahkan di dunia. Dari dua pesawat menjadi sekitar 80an pesawat. Dari hanya mengudara di Malaysia, Air Asia sekarang telah menjelajahi angkasa Asia, Australia, Timur Tengah, bahkan sempat mencicipi langit Eropa.
Tony membuktikan bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin. Dengan keyakinannya yang sangat kuat ditambah kerja keras dan strategi manajemen yang out of the box berupa konsep Low Cost Carrier (LCC), Tony telah membawa Air Asia dari perusahaan yang nyaris bangkrut menjadi berkembang pesat dan mempunyai prospek yang sangat cerah. Konsep LCC juga telah merubah wajah penerbangan di dunia. Kini kesempatan untuk terbang bukan lagi monopoli kaum kaya. Orang biasa pun bisa, seperti slogan Air Asia, Now Everyone Can Fly. Luar biasa Air Asia, Terima Kasih Tony Fernandes.
* Artikel ini diikut-sertakan dalam Kompetisi Blog 10 Tahun AirAsia Indonesia. Bagi rekan blogger yang ingin mengikutinya juga, bisa klik link ini.
tapi sekarang udah susah dapet yang low cost banget ke luar negeri 🙁
“Ya sih, tapi itu juga karena inflasi Mil. Tapi tetep masih lebih murah dibandingkan maskapai lain”
Yaa.. Kalau aku sekalipun belum prnah terbang (pesawat) *curhat* 🙁
Hehe, saya juga ikut merasakan tiket Surabaya – Jakarta yang 100 ribu-an itu Sur, itu sebabnya suami saya bisa bolak-balik seminggu sekali pulang ke rumah 😀
Sekarang?
Ah, ah…tiket kereta api aja mahal banget yaaaa…