Stasiun telah ramai pagi ini. Padahal dua jarum sebuah jam dinding yang terpasang di tembok stasiun baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Entahlah apa yang telah membuat para manusia sudi berhiruk-pikuk di stasiun sepagi ini. Apakah para manusia itu mempunyai waktu yang berbeda dengan waktu stasiun. Setahu saya didunia ini, pada setiap tempat, Tuhan hanya memberikan satu waktu saja, tidak kurang dan tidak lebih sedetikpun.
Seorang anak muda baru saja masuk kedalam stasiun. Dia membawa sebuah tas ransel besar. Dia memakai kaus berwarna putih dan celana jeans biru yang sudah sangat kumal. Wajahnya sebenarnya tidak bisa dibilang ramah. Rambutnya yang panjang sebahu dibiarkan terurai. Di wajahnya terdapat bekas sayatan pisau yang melintang panjang sedikit dibawah mata kirinya. Badannya juga besar dan kekar. Tetapi saat ini wajah itu terlihat sangat lelah. Sepasang kantung mata terlihat jelas menghiasi kedua kelopak matanya.
Begitu masuk kedalam stasiun, hal pertama yang dia lakukan adalah melihat arloji yang melingkar dilengannya. Dan sesaat kemudian wajahnya terlihat sedikit ceria. Ada gumaman kecil keluar dari mulutnya.
“Ah, ternyata aku bisa sampai disini lebih cepat 15 menit”
Pemuda itu menurunkan tas yang sedari tadi membebani punggungnya. Dia meletakkan tas itu pada sebuah kursi kosong. Setelah itu dia menatap sebuah papan berwarna hitam yang tertempel diatas loket penjualan karcis. Itu adalah papan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api ke dan dari stasiun ini. Cukup lama pemuda itu menatap papan itu sambil sesekali melihat kembali arloji yang ada ditangannya.