Romansa bisa terjadi di mana-mana. Kita bisa menemuinya di rumah, di jalanan, di sekolah maupun di kantor. Romansa menyapa tak kenal waktu, kadang pagi, siang, sore, dan ada kalanya malam. Romansa bisa mendatangi para kutu buku di keheningan perpustakaan ataupun menyeruak diantara hiruk pikuk pasar. Romansa bisa hadir di darat, ikut berenang di lautan, ataupun turut terbang melintasi udara. Seperti yang terjadi sore itu, di antara ratusan penumpang burung besi yang tengah menjelajah langit, dari Surabaya menuju Denpasar.
Hari itu saya mendapatkan boarding pass dengan nomor kursi 8F, yang artinya saya akan duduk di pinggir jendela. Kursi di pinggir jendela adalah kursi favorit saya, karena saya biasanya menghabiskan waktu terbang dengan memotret pemandangan di luar pesawat. Apalagi terbang di sore hari menjelang petang, dimana akan ada pemandangan sunset yang pastinya sangat indah.
Waktu boarding pun tiba. Saya segera bangkit dari kursi di ruang tunggu, berjalan menuju pintu pemeriksaan, masuk pesawat dan segera duduk di kursi 8F seperti yang tertera di boarding pass. Sejauh ini semuanya berjalan normal. Sambil menunggu proses boarding selesai, saya membaca majalah yang terdapat di kantung kursi pesawat, sambil sesekali melihat pemandangan dari balik jendela.
Sepuluh menit berlalu, pesawat pun tampaknya sudah siap untuk diberangkatkan, karena sudah tidak ada lagi lalu lalang penumpang. Dua kursi di samping saya, 8D dan 8E, masih kosong. Sebuah pengumuman disampaikan oleh pramugari bahwa pesawat belum diberangkatkan karena masih menunggu sekitar 4 penumpang lagi.
Setelah menunggu sekitar 2 menit, empat penumpang itu pun akhirnya sampai di kabin pesawat. Dua orang diantaranya duduk di samping saya. Satu orang bapak berusia sekitar 50 tahunan, sedangkan seorang lagi adalah ibu dengan usia tidak jauh dari sang bapak. Kalau saya perhatikan sejenak, beliau berdua adalah sepasang suami istri.
Setelah meletakkan semua tas di bagasi, keduanya serempak menatap saya yang sudah duduk manis. Saya pun memasang senyum terbaik bak pramugara untuk menyambut kedatangan beliau di pesawat. Tapi entah mengapa, beliau berdua tidak membalas senyum saya. Sang bapak justru memeriksa kembali boarding passnya dan kemudian membisikkan sesuatu kepada sang ibu. Saya melihat ada sebuah wajah kekecewaan pada diri sang ibu. Ada sebuah diskusi kecil diantara mereka berdua, sebelum akhirnya keduanya menduduki kursi masing-masing. Sang bapak di 8E, di samping saya. Sedangkan sang ibu di 8D.
Diskusi kecil ternyata berlanjut ketika beliau berdua sedang duduk. Sesekali sang bapak melihat ke arah saya, yang mana membuat saya jadi bingung. Ingin rasanya membuka percakapan, tetapi bingung harus memulai dari mana.
Perlahan-lahan, pesawat bergerak mundur meninggalkan apron. Beliau berdua masih sibuk diskusi kecil hingga lupa memasang sabuk pengaman. Saya pun mendapatkan momentum untuk membuka pembicaraan.
“Permisi pak, “ saya mencoba menyapa. “Maaf, pak, sabuk bapak belum dipasang”
“Sabuk?” sahut sang bapak keheranan. “Celana saya sudah pakai sabuk, mas?”
Hmm, sepertinya ini pengalaman terbang pertama bagi beliau berdua.
“Bukan sabuk celana pak, tapi sabuk pengaman,” saya pun menunjukkan sabuk pengaman di kursi saya.
“Hah, pakai sabuk pengaman? Kayak naik mobil aja, mas,” sahut sang Bapak. “Ini wajib ya?”
“Iya Pak, wajib, demi…” Saya pun menghentikan kalimat. Jika saya berkata demi keselamatan penerbangan, saya khawatir, beliau berdua akan ketakutan. Saya pun mengganti kalimatnya, “Kalau enggak, nanti dimarahi mbak pramugarinya, Pak, terus disuruh turun dari pesawat, pak.”
Mereka pun langsung tampak ketakutan dan buru-buru memasang sabuk pengamannya.
Safety demo pun tiba. Dari wajahnya, tampak mereka terheran-heran dengan kegiatan ini. Tapi, mereka memperhatikan dengan sangat serius.
“Mohon maaf, Pak, apakah ini penerbangan bapak yang pertama?”
“Iya, mas, ini pertama kalinya kami naik pesawat. Nah…..”
Mendadak, bapak itu menghentikan kalimatnya dan sejurus kemudian terdiam.
“Ada yang bisa saya bantu, pak?”
Bapak itu seperti akan menyampaikan sesuatu, tetapi ragu-ragu.
Saya pun mengulang, “Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Begini mas, ini kan penerbangan kami yang pertama. Nah, istri saya itu ingin duduk di samping jendela. Dia ingin lihat langit dari dekat. Ingin lihat awan. Dan juga ingin lihat rumah kami dari atas pesawat. Tadi saya sudah sampaikan kalau tempat duduk kita itu nomornya disini. Kita ga boleh pindah-pindah. Emangnya naik bis. Trus dia tadi cemberut dan berkata, kalau memang ga bisa lihat langit, ga bisa lihat awan, ngapain naik pesawat, “ sahut sang bapak. “Nah sebenarnya, kita itu boleh pindah pindah kursi atau enggak, mas?”
“Hmm, sebenarnya boleh-boleh saja pak, kalau kebetulan ada kursi kosong di pesawatnya. Tetapi jika semua penuh, ya harus ijin dulu sama orang yang mau diajak tukeran kursi, kira-kira mereka mau gak”
“Ooo gitu ya” ujar sang bapak.
Saya tersadar, mungkin bapak itu ingin saya bertukar kursi dengan sang ibu, tetapi beliau tidak sanggup untuk menyampaikannya. Makanya dari tadi melihat ke arah saya terus-terusan. Saya pun bimbang. Cuaca sore itu memang sangat indah, dan saya yakin, sore ini saya akan mendapatkan sunset yang sempurna. Tapi, ini bukan penerbangan pertama saya, dan saya sudah cukup sering mendapatkan foto sunset dari angkasa. Baiklah, saya akan bertukar kursi dengan sang ibu. Tapia da masalah lain. Saat ini posisi pesawat sudah hampir mendekati runway, dan artinya sudah tidak boleh lagi bergerak dari kursi.
Safety demo hampir berakhir. Entah bagaimana, tiba-tiba reflek saja, tangan saya memencet tombol cabin crew yang ada di atas kepala saya. Seorang pramugari yang baru saja melakukan safety demo menghampiri. Saya pun menyampaikan kepadanya bahwa hari ini saya ada gangguan metabolisme tubuh, sehingga saya bakal sering kencing. Jika saya duduk di jendela, ini akan sangat merepotkan bapak ibu yang ada disamping saya, sehingga saya meminta ijin untuk tukar kursi dengan sang ibu.
Jawaban sang pramugari sudah bisa saya tebak. Dia mengizinkan, asal sang ibu mau, tetapi tukar kursinya tidak sekarang, karena waktu lepas landas sudah dekat.
Tiba-tiba dari ruang kemudi, pilot menyatakan bahwa pesawat baru bisa lepas landas sekitar 15 menit yang akan datang karena ada antrean di runway.
Sang pramugari pun buru-buru mengizinkan kami untuk bertukar kursi. Meski sempat menimbulkan sedikit kegaduhan dan juga pusat perhatian penumpang lain, acara tukar kursi pun berakhir dengan sukses dalam waktu kurang dari 2 menit.
Ucapan terima kasih yang sangat tulus terlontar dari mulut sang bapak. Dan kemudian kami berdua melihat ke arah sang ibu yang tampak sangat bahagia dengan kursi barunya. Saya pun jadi ikut bahagia. Sebuah kebahagiaan yang sangat sederhana.
“Sekali lagi terima kasih, mas. Hari ini, istri saya lagi berulangtahun. Sebagai kadonya, saya memberikan kejutan dengan mengajaknya naik pesawat. Dari dulu, dia ingin sekali naik pesawat. Saya sampai gak enak hati, karena sampai setua ini belum bisa mewujudkan mimpi seseorang yang saya cintai. Lha gimana lagi mas, uang kami pas-pasan.”
“Oh,” saya tidak bisa berkata-kata lagi.
“Alhamdulillan, minggu lalu saya dapat rejeki, mas. Tanpa pikir panjang, saya pun buru-buru ke travel untuk nyari tiket. Saya bilangnya gini mas, carikan saya tiket pesawat PP dari Surabaya yang paling murah. Tujuannya terserah, yang penting yang paling murah. Orang travelnya sampe bingung,” sahut si Bapak sambil tertawa. “Jadilah, dapat tiket ke Bali. Ya pas lah, sekalian rekreasi, he he he.”
Saya pun ikutan terkekeh, “Iya pak, sekalian jalan-jalan.”
Pesawat pun bersiap lepas landas. Saya melirik ke arah sang Ibu yang wajahnya tampak campur aduk, antara senang, kagum dan juga tegang. Tangannya mengenggam erat tangan sang bapak, yang tampak lebih tenang. Samar-samar, saya mendengar percakapan mereka.
“Pak, kok serem ya ternyata.”
“Tenang Bu, gakpapa.”
Tiba-tiba, saya seperti merasakan aura cinta yang dipancarkan beliau berdua. Ah benar-benar sebuah romansa yang sangat syahdu. Di usianya yang sudah tua, beliau berdua masih sangat mesra dan tampak saling mencintai satu sama lain.
Sepanjang perjalanan, mereka selalu memandang keluar jendela. Dari raut wajah, saya tahu, mereka tampak sangat menikmati panorama bumi dari angkasa yang mereka saksikan untuk pertama kalinya itu. Langit yang membiru, gumpalan awan putih yang berarak dan juga gugusan pegunungan di sepanjang jawa bagian timur.
Menjelang pendaratan di Denpasar, saya melihat guratan-guratan jingga yang mengukir langit barat dari balik jendela. Langit pun memerah. Tampak di kejauhan, sosok puncak Mahameru yang tak henti-hentinya menghembukan asap. Sayangnya, saya tidak bisa mengabadikan momen tersebut. Tapi saya tidak menyesal, karena di dekat saya, ada pemandangan yang bagi saya jauh lebih indah dari sunset sore itu. Sepotong kisah cinta, sebuah romansa, di udara.