Zona Waktu dan Produktifitas, Sebuah Opini

Hari masih gelap ketika jarum jam yang bertengger di hotel tempatku menginap menunjukkan angka 06.00 pagi waktu Kuala Lumpur. Kubuka jendela kamar hotel dan aku bisa melihat lampu-lampu jalanan di depan hotel masih menyala. Jalanan sendiri masih cukup lengang.

Jam di Bandara Juanda, Surabaya
Jam di Bandara Juanda, Surabaya

Aku tatap sekali lagi jam dinding itu. Dan aku memastikan bahwa jam dinding tersebut tidak mati karena jarum detiknya masih bergerak. Aku ambil hand phone dan mendapatkan informasi bahwa jam dinding tersebut sudah menunjukkan waktu yang sesuai.

Masih belum reda keherananku, sayup-sayup terdengar suara adzan mengalun merdu dari sebuah masjid yang terletak tidak jauh dari hotel. Aku melongo. Sekitar satu jam yang lalu, aku baru saja menunaikan sholat dengan niatan adalah sholat Subuh, eh ternyata waktu subuh baru saja masuk.

Aku ambil lagi handphone dan melihat aplikasi jadwal sholat yang terinstall disana. Oh ternyata, informasi location di sana belum ku ganti, masih lokasi Surabaya, pantas saja waktunya keliru. Segera ku update location dan tertera disana bawa waktu Subuh adalah pukul 06.02 waktu Kuala Lumpur. Dan, aku pun mengulang sholat subuh.

Jam 06.30 pagi, ketika fajar mulai menjelang, beberapa penduduk kuala lumpur sudah tampak bersiap memulai kesibukan. Dan aku juga memulai petualangan di ibu kota negeri jiran ini.
Masih ingat dengan wacana pemerintah untuk menyatukan zona waktu di Indonesia menjadi GMT+8 atau sesuai dengan Waktu Indonesia Tengah (WITA)? Wacana itu sempat ramai sekitar tahun 2013. Dalam wacana yang disampaikan oleh salah satu menteri di era pemerintahan Presiden SBY itu, salah satu manfaat yang ingin didapatkan dari penyatuan zona waktu tersebut adalah produktivitas dan koordinasi.

Aku sendiri menjadi salah satu warga negara indonesia yang sangat menyetujui usulan tersebut. Aku menyadari, akan terjadi banyak permasalahan di awal implementasinya, terutama di propinsi yang terletak di ujung barat dan ujung timur Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Utara, Papua dan Papua Barat. Kondisi wilayah indonesia yang sangat luas dan lebar memang seolah-olah membuat penyatuan zona waktu menjadi sesuatu yang sepertinya sulit untuk terealisasi.

Tetapi sebenarnya aku melihat banyak sekali manfaat yang bisa diambil dari penyatuan zona waktu ini. Dari sisi perekonomian misalnya, dengan adanya penyatuan zona waktu ini, brarti jam di Indonesia akan sama dengan negeri tetangga yaitu Singapura dan Malaysia. Ini berarti, bagi perusahaan Indonesia yang memiliki hubungan kerja sama dengan perusahaan yang ada di negeri tetangga itu, tidak kehilangan jam produktif karena selisih waktu.

Selain itu selisih antara Indonesia dengan pusat bisnis tersibuk di dunia yaitu New York berselisih pas 12 jam. Aku sendiri kurang tahu pasti apa keuntungan dengan selisih pas 12 jam dengan New York, tapi kurasa sedikit banyak pasti ada keuntungannya, he he he.

Dari sisi jam kerja, terutama untuk kota-kota di area Indonesia bagian Barat, dengan zona waktu Indonesia menjadi GMT+8, maka jam keberangkatan kerja menjadi terasa lebih pagi (Jam masuk kerja tetap jam 8 pagi, tetapi sebenarnya adalah jam 7 pagi dengan menggunakan zona waktu saat ini). Dengan lebih pagi, maka badan akan terasa lebih segar. Matahari juga belum bersinar terlalu terik sehingga badan tidak akan terlalu berkeringat. Dan ketika jam pulang tiba, hari masih belum terlalu malam, sehingga masih sempat untuk sekedar menikmati hangatnya matahari sore.

Lalu terakhir dari sisi religi, terutama bagi umat muslim di kota-kota area Indonesia Barat, waktu Subuh menjadi lebih realistis dan terlihat tidak terlalu pagi. Jika sebelumnya waktu Subuh di Surabaya atau Jakarta berkisar antara jam 04.00 hingga 04.30 menjadi seolah-olah maju menjadi antara jam 05.00 hingga jam 05.30 pagi.

Jadi anggaplah untuk wilayah Surabaya, jam 04.30 kita bangun pagi. Sempatkan sejenak untuk sholat tahajjud, untuk kemudian mandi. Lalu tepat jam 05.00 pagi, saat adzan subuh berkumandang, kita berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat subuh di masjid. Setelah itu jam 05.30 pulang dari masjid, berganti pakaian kerja, sarapan pagi dan jam 06.30 sudah siap untuk berangkat kerja.

Terus terang, untuk subuh dan tahajjud ini, aku agak iri dengan saudara muslim di Malaysia maupun Singapura. Mereka bangun jam 5 pagi, atau paling telat jam 5.30 pagi, mereka masih punya waktu untuk sholat tahajjud. Dan dengan waktu subuh jam 6 pagi, itu artinya besar kemungkinan, hampir sebagian besar muslim di Malaysia atau Singapura mendirikan sholat subuh berjamaah di Masjid. Ah rasanya pasti indah sekali.

Waktu Isya’ pun menjadi terasa lebih malam. Jika biasanya Isya sekitar jam 7 malam, maka menjadi jam 8 malam. Pulang dari sholat isya’ berjamaah, waktu sudah menunjukkan sekitar jam 20.30. Setelah Isya’ mungkin meluangkan waktu bercengkerama sebentar dengan keluarga, untuk kemudian jam 21.00 atau 21.30, bersiap untuk pergi tidur. Tidur pun menjadi tidak terlalu malam dan juga optimal. Lagipula sunnah Rasulullah melarang kita untuk tidur terlalu malam agar keesokan paginya tidak terlambat sholat Subuh. Lebih baik lagi jika sempat untuk sholat Tahajjud.

Nah, inilah sekilas sebuah opini pribadi dariku tentang rencana penyatuan zona waktu di Indonesia yang hingga kini belum terealisasi. Ya memang selain yang pro sepertiku, pasti banyak juga yang kontra. Tetapi apapun itu, tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk mengkaji kembali rencana ini.

2 thoughts on “Zona Waktu dan Produktifitas, Sebuah Opini

  • 23/11/2015 at 10:53
    Permalink

    aku gak setuju penyatuan zona waktu. masuk kantor jam 8 aja aku harus bangun jam 4 subuh supaya gak telat. lah kalo dimajuin masa aku bangun tengah malem…hiks 🙁

    Reply
    • 07/12/2015 at 14:40
      Permalink

      He he, ini kan hanya opini saja. Ya memag niat untuk penyatuan harusnya disertai dengan perbaikan di sisi transportasi umum sehingga untuk rekan-rekan di Jakarta sendiri tetap merasa nyaman 🙂

      Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *