Episode Pagi di 1 Syawal 1441 H

Sorai, riang, gelak tawa, wajah berbinar, bau wewangian, jabat tangan. Suara takbir sahut menyahut. Lalu menyeruak, langkah-langkah kaki kecil setengah berlari, diiringi gelak tawa. Di tangannya, semerbak harum lembar-lembar kartal yang masih licin. Sesekali pemiliknya menghentikan langkahnya, terdiam. Sejurus kemudian wajahnya tampak serius mengamati lembar demi lembar tersebut. Selang beberapa detik kemudian, tampak kelegaan di wajahnya.

Melihat wajah-wajah mungil tadi, saya kemudian menatap wajah yang lebih mungil dari mereka, yang saat ini sedang berada dalam gendongan saya. Sedari tadi, dia berontak, merengek, minta turun. Sepertinya dia ingin turut berlarian. Kaki-kaki imutnya sudah tidak sabar ingin menjejak dan bergerak. Utinya, ibu saya, sudah menyuruh saya untuk membiarkannya turun, namun, hari itu, saya ingin Aldebaran berada dalam gendongan saya. Merasakan tubuhnya, yang menurut timbangan sudah mencapai bobot 10.5 kg, di usianya yang sudah 16 bulan.

Pada sebuah titik, di tengah perjalanan saya pagi itu, beberapa orang menyalami seorang bapak sepuh yang tengah duduk di atas kursi roda yang didorong keluarganya. Saya menatap wajah bapak itu. Senyum di bibirnya tampak merekah. Ada sebuah kerinduan membuncah dari dalam hati. Ah, mendadak saya terkenang kisah lebih dari 20 tahun silam, ketika beliau dengan sabar mengajarkan kepada saya tentang makhraj huruf hijaiyah. Saya pun ijin berpisah dari rombongan keluarga. Saya serahkan Al ke gendongan istri, dan kemudian ikut dalam antrian salaman.

Saat tengah antri, seseorang dari belakang menjawil telinga saya. Saya pun menoleh ke belakang. Dan saat itu saya melihat seutas wajah cengengesan yang sangat khas. Saya masih ingat, meskipun tumpukan lemak makin menyembul di kedua pipinya. Pemiliknya adalah seseorang yang pernah mengajak saya untuk sengaja terlambat di penghujung kelas 3 SMA. Kamu tuh dapat jatah buku BK dari sekolah, eman2 kalau kosong. Kalau sampai kelulusan, bukumu tetap kosong, nanti dipakai murid lain. Tiap tahun, sekolah itu ada anggaran buat beli buku BK, jadi kalau bukumu masih kosong, anggaran tidak akan terserap, karena satu buku milikmu. Begitulah doktrinnya saat itu, dan, entah mengapa, saat itu, saya percaya padanya.

Di belakang wajah cengengesan itu, menyembul wajah satu orang lagi, yang membuat saya agak terkejut. Sependek yang saya tahu, rumahnya relatif jauh dari lapangan yang akan menjadi tempat saya sholat Ied.

“Aku pengen salim sama si bapak, Sur, mau minta maaf. Seminggu yang lalu, saat tengah piket, ndilalah, si bapak ini diantar keluarganya untuk periksa. Aku yang kebagian meriksa beliau tapi, bodohnya, aku lupa siapa beliau. Aku cuman ngerasa, ketika nulis rekam medis, nama ini tampak akrab di telingaku. Tapi aku lupa siapa. Dan aku baru ingat kemarin. Ya wes, aku sholat Ied disini saja. Alhamdulillah, bisa ketemu bapaknya”

Setelah sungkem, saya pun mengambil shaf. Entah dari mana, tiba-tiba saya tersadar, bahwa hingga saat ini, pandemi covid-19 masih terjadi. Saya jadi bingung sendiri, entah sejak kapan, saya berubah pikiran untuk sholat Ied berjamaah. Dan lebih dalam lagi, sejak kapan saya berada di Gresik? Bukannya semalam, saya masih berada di Tuban? Dan kemudian mendadak mata saya terbuka. Pandangan saya menyapu ke sekeliling ruangan tempat saya berada saat itu. Sunyi. Sepi. Yang terdengar hanya suara kipas angin dan gemericik air dari kran kamar mandi kos yang memang tidak bisa tertutup rapat. Sayup-sayup kemudian, terdengar suara adzan. dan reflek, saya memeriksa HP.

“Oh, sudah subuh ternyata”

Saya pun bangkit dari tempat tidur, segera mengambil wudhu dan kemudian sholat subuh.

Ba’da sholat, saya buka pintu kamar kos. Langit masih gelap. Gema takbir terdengar kembali bersahut-sahutan setelah sholat subuh usai ditunaikan. Saya coba hirup dalam-dalam udara pagi itu. Ah segar sekali. Selama ramadhan, sangat jarang saya menikmati udara pagi, karena biasanya setelah sholat Subuh, saya rebahan di tempat tidur, terus ketiduran.

Beberapa menit kemudian, fajar mulai merekah, dengan semburat merahnya sudah mulai tampak. Seingat saya, ini adalah untuk pertama kalinya, saya menikmati hari Raya, sendirian. Jauh dari keluarga, baik keluarga kecil saya, maupun keluarga besar. Saya menghela nafas. Sejenak, saya kemudian merenung. Ternyata memang sungguh banyak nikmat yang sudah Allah berikan ke manusia ya, yang terkadang, memang tidak berupa uang. Sekedar bisa mudik dan bisa berkumpul dengan keluarga di hari raya, ternyata sebenarnya adalah sebuah nikmat yang sangat besar dari Allah. Bahkan sangat besar, karena terkadang tidak bisa terbeli dengan uang. Namun sering kali kita tidak menyadarinya, karena mungkin dianggap sudah biasa. Dan selama ini kita tidak pernah berpikir untuk tidak bisa mudik. Dan pagi ini, ketika nikmat itu untuk sementara dicabut oleh-Nya, kita baru menyadarinya. Ah, memang manusia itu kecil, lemah dan tidak berdaya ya.

Ketika langit sudah sepenuhnya terang, saya pun segera mandi dan sesudahnya mengenakan baju terbaik yang ada di lemari hari itu. Jika sebagian besar sahabat dan kolega memasang status bahwa, ini untuk pertama kalinya, di sepanjang hidupnya, menjadi imam sholat Ied, kalau saya, ini untuk pertama kalinya saya sholat Ied, sendirian.

Setelah sholat, ada pesan via whatsapp masuk ke ponsel saya, dari dua rekan kerja di kantor. Pertanyaan keduanya sama, apakah saya tetap di Tuban, atau mudik ke Gresik. Begitu saya jawab, saya masih di kos-kosan di Tuban, 30 menit kemudian, mereka datang ke kos, dan mengantar lontong opor ayam untuk saya. Saya begitu gembira menerimanya. Sungguh maha benar firman Allah, bahwa rizky yang membuat manusia bahagia adalah rizky yang datang dari arah yang tidak terduga-duga. Beberapa menit yang lalu, saya membayangkan, pagi itu, mungkin saya hanya bisa sarapan dengan kurma dan susu, sambil menunggu indomaret buka, untuk membeli roti dan mungkin minuman botol. Rumah makan, pastinya sebagian besar, atau bahkan mungkin semuanya, tutup. Tapi kemudian, rizky Allah datang.

Usai sarapan, saatnya silaturahim digital melalui vicon. Bagi saya, tidak ada hal yang membuat saya behagia dan bersyukur pada hari ini, selain mengetahui bahwa seluruh keluarga besar saya dalam keadaan sehat wal afiat.

Sepenggal episode pagi pada Hari Raya Idul Fitri 1441H yang ingin saya tulis untuk saya kenang di kemudian hari. Teriring doa terucap, semoga Allah segera mengangkat wabah covid-19 ini, sehingga kita bisa kembali berkumpul dengan keluarga dan kembali bisa sholat berjamaah di rumah Allah, Aamiin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *