Cerita Dari Sebongkah Belerang Ijen

Pagi itu, mata saya terantuk pada dua buah keranjang yang sarat dengan potongan belerang. Dua buah keranjang itu teronggok pada sebuah bukit batu yang memiliki permukaan relatif datar. Di sampingnya, saya melihat seseorang yang tengah duduk sambil sesekali melap keringatnya dengan handuk. Nafasnya tersengal tak beraturan. Namun nafas tersengar itu bukan hanya komoditas pribadinya, saya mengalaminya juga. Perjalanan menanjak dari dasar kawah menuju bibir kawah yang terjal ini penyebabnya.

Sepikul Belerang di Kawah Ijen
Sepikul Belerang di Kawah Ijen

Namun tidak pantas kiranya membandingkan sengalan nafas saya dengan nafas sang bapak. Saya sebenarnya belum pantas untuk tersengal pagi itu. Selama perjalanan mendaki tebing setinggi hampir 800 meter ini, saya hanya membawa tas berisi kamera dan lensa yang paling-paling hanya sekitaran 3 kg beratnya. Tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dua buah keranjang berisi penuh belerang yang dibawa oleh sang bapak, yang kalau ditimbang, beratnya hampir mencapai 70 kg.

Pagi itu, saya tidak sempat bercakap-cakap dengan beliau. Fisik saya yang memang sudah sangat kepayahan, membuat saya ingin secepatnya sampai di bibir kawah, dan beristirahat disana. Jalan setapak menuju kawah ini cukup sempit, sehingga kalau saya beristirahat disana, maka akan mengganggu lalu lalang dari wisatawan maupun penambang. Kalau untuk penambang bolehlah, karena memang beliau membawa bawaan yang berat.

Penambang  belerang di Kawah Ijen
Penambang belerang di Kawah Ijen

Kaki saya terus melangkah ke atas, melewati tangga batu yang tidak beraturan dan curam. Untuk kesekian kalinya, saya harus berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan paru-paru untuk mengelola oksigen. Saat itu, saya melihat sang bapak tadi berdiri. Saya menduga, bapak tadi sudah akan mengakhiri masa istirahatnya. Namun saya salah. Beliau berdiri karena melihat ada dua pasang wistawan berhenti tepat di keranjang belerangnya. Mereka kemudian terlihat saling bercengkerama. Saya penasaran. Saya pun bergerak turun kembali menuju tempat si bapak tadi.

Saya tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi yang saya tahu, beberapa saat kemudian, salah satu cowok terlihat mencoba memanggul keranjang belerang. Keranjang baru terangkat sekitar 5 cm dari tempatnya diletakkan, tapi si cowok sudah meletakkan kembali keranjang tersebut. Wajahnya tampak memerah. Kemudian si cowok kedua mengambil alih tempat si cowok pertama. Sambil mulai meletakkan belerang di pundaknya, dia meminta salah satu teman ceweknya untuk bersiap-siap dengan kameranya. Satu dua tiga, yap, perlahan-lahan keranjang belerang terangkat. Kali ini terangkatnya lebih tinggi. Bahkan hingga badan si cowok hampir tegak. Si cewek mengambil beberapa kali foto. Sekitar 10 detik, si cowok sudah mulai merasa tidak kuat dan meletakkan kembali keranjang belerangnya. Sama seperti cowok pertama tadi, wajahnya memerah. Tapi ada kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya karena berhasil mengangkat beban yang cukup berat. Dan yang terpenting lagi, berhasil diabadikan oleh teman ceweknya. Wajahnya terlihat cukup puas ketika sang cewek memperlihatkan hasil fotonya.

Hmm, dari wajahnya, aku bisa menerka, hasil fotonya sepertinya sangat keren dan layak untuk diunggah ke media sosial. Beberapa saat kemudian, cowok yang pertama, mencoba lagi peruntungannya. Namun, hasilnya tetap sama, bahkan kali ini, keranjang belerang tidak terangkat sama sekali. Akhir cerita, terlihat salah satu dari empat orang tersebut mengangsurkan beberapa lembar uang kepada bapak penambang. Kali ini wajah si bapak yang sumringah.

Bagi saya, kejadian yang baru saja saya saksikan ini menarik. Perubahan dalam dunia pariwisata akibat berkembangnya sosial media dalam beberapa tahun terakhir ini telah merubah perilaku wisatawan. Meskipun selama ini banyak berita yang cenderung negatif, terjadi di lokasi-lokasi wisata, utamanya wisata alam, akibat melambungnya jumlah wisatawan yang melebihi daya dukung dari tempat wisata itu sendiri. Belum lagi, beberapa diantaranya belum memiliki kesadaran kuat akan pentingnya kelestarian ekosistem dan lingkungan. Tapi semua ini bukan berarti tidak ada hal yang positif dari booming dunia pariwisata ini. Salah satu hal positif adalah sesuatu yang baru saja saya saksikan.

Dahulu, sebongkah belerang hanya akan menjadi uang, ketika dijual ke pengepul. Saat ini sebongkah belerang dan keranjangnya bisa disewakan kepada pada wisatawan pemburu foto instagramable. Ya meskipun mungkin nilainya tidak seberapa, tapi lumayan sebagai tambahan. Namun, ada tapinya. Bagi saya, wisatawan yang melakukan aktifitas seperti yang saya saksikan tadi, sebenarnya sangat berisiko untuk terjatuh. Seseorang yang tidak terbiasa dengan beban yang sangat berat, kemudian mencoba memanggul beban berat di daerah yang curam. Jika dia tidak mampu untuk menahan keseimbangan, dia akan tergelincir dan terjatuh. Terhempas dari elevasi yang sangat tinggi dengan medan yang berbatu seperti di kawah Ijen, bisa berakibat fatal.

Untuk itu, hendaknya antara wisatawan dan para penambang bisa memahami dan menjaga keselamatan satu sama lain, karena keduanya sebenarnya sangat diuntungkan dengan aktifitas tadi. Para penambang mendapatkan penghasilan tambahan, dan wisatawan membutuhkan foto yang juara untuk bisa eksis dan makin terkenal di dunia maya. Salah satu caranya mungkin, aktifitas tadi mungkin bisa dilakukan di area dasar kawah. Atau mungkin juga ketika sudah sampai di bibir kawah, dimana disana banyak tempat yang cenderung datar dan aman.

Ketika muncul sebuah nilai baru, biasanya memang selalu diiringi dengan hadirnya sebuah risiko baru. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana meminimalisir risiko tadi, sehingga nilai baru yang didapatkan, bisa optimal.

One thought on “Cerita Dari Sebongkah Belerang Ijen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *