Sebuah Cerita Dari Booming Pariwisata di Cappadocia

Pernah dengar cerita orang Indonesia yang menjual atau mungkin menyewakan jangka panjang, pulau-pulau kecil nan eksotis di seantero nusantara kepada orang asing untuk kemudian dibangun private resort atau pusat wisata skala internasional. Atau mungkin pernah dengar cerita bukit atau gunung yang ditambang tanahnya hingga bukit atau gunung itu sudah tidak berbentuk bukit lagi. Tanah yang ditambang ini kemudian dijual ke negara lain sebagai bahan untuk membangun gedung ataupun reklamasi. Alasan yang sangat kuat dibalik semua ini tentu saja masalah ekonomi. Booming pariwisata ataupun booming reklamasi, membuat pemilik pulau atau tanah rela melepaskannya demi pundi pundi uang.

Sebuah pemandangan di Cappadocia
Sebuah pemandangan di Cappadocia

Kejadian seperti ini, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Salah satunya terjadi di Turki, tepatnya di kawasan Goreme, Cappadocia. Goreme dikenal memiliki deretan perbukitan batu yang sangat indah. Perbukitan ini dibentuk bukan oleh tangan manusia, namun oleh alam, sehingga bukit batu ini memiliki keunikan dengan bentuknya yang berbeda-beda antara satu sama lain. Bukit batu ini kemudian digali sehingga terbentuklah ruang-ruang didalam bukit. Bahkan beberapa ruangan terletak di bawah tanah. Ruang-ruang ini kemudian difungsikan sebagai ruang tamu, kamar tidur hingga dapur sehingga bukit batu ini pun menjadi rumah. Beberapa bukit batu tidak hanya difungsikan sebagai rumah, tetapi juga sebagai tempat pertemuan, pemakaman dan juga tempat ibadah. Sekilas, ketika tengah berada di Goreme ini, rasanya seperti tengah menyelami kehidupan jaman batu ala Fred dan Wilma di film kartun, The Flinstones.

Sebuah pemandangan di Cappadocia
Sebuah pemandangan di Cappadocia

Sejak booming pariwisata di Cappadocia beberapa tahun silam, beberapa pemilik rumah memutuskan untuk menjual rumahnya demi pundi-pundi lira yang diharapkan akan membuat kehidupan mereka jauh lebih baik. Rumah batu Goreme pun berubah fungsi menjadi area komersial seperti hotel dan juga cafe, yang diperuntukkan untuk menampung wisatawan yang jumlahnya semakin meningkat dengan signifikan setiap tahunnya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh tour guide lokal kami, yang diamini oleh salah satu kawan seperjalanan. Kawan baru saya ini sebelumnya pernah datang ke Cappadocia delapan tahun silam. Saat itu suasana Cappadocia masih sangat sepi. Hotel belum terlalu banyak. Hampir semua bukit batu bisa dijelajahinya, di masuki ruangan-ruangannya, dan bisa berfoto didalamnya, tanpa ada larangan memotret seperti sekarang ini.

Sebuah pemandangan di Cappadocia
Sebuah pemandangan di Cappadocia

Mungkin, inilah arti dari kalimat, dunia pariwisata itu bagaikan dua sisi mata pisau. Di satu sisi, akan ada banyak pemasukan dari para wisatawan yang berkunjung. Namun di sisi lain, kunjungan dari banyak turis akan berpotensi merusak keseimbangan alam dan lingkungan. Sebagai contohnya adalah kerusakan bawah laut di Maya Bay, Krabi, Thailand dan juga Boracay di Philipina. Setiap harinya, ada lebih dari 200 kapal boat maupun kapal tradisional datang dan pergi dari Maya Bay. Hal ini mengancam ekosistem terumbu karang di sekitar maya bay. Dari portal berita asia-nikkei, pemerintah kedua negara berencana menutup sementara lokasi wisata tersebut beberapa bulan dari kunjungan wisatawan. Setelah masa penutupan selesai, dilanjutkan kebijakan pembatasan jumlah wisatawan per hari.

Tiket Masuk Goreme Open Air Museum, Cappadocia
Tiket Masuk Goreme Open Air Museum, Cappadocia

Untungnya, pengelola kawasan Goreme, Cappadocia, tanggap atas hal ini. Mereka pun membagi beberapa bagian dari bukit batu sebagai kawasan hotel maupun cafe, dan sebagian lainnya dibiarkan seperti aslinya, sebagai bagian dari pelestarian lingkungan. Salah satu bagian dari bukit batu yang dibiarkan sebagai aslinya, untuk kemudian dikelola menjadi museum bernama Goreme Open Air Museum. Goreme Open Air Museum dapat dikunjungi wisatawan dengan terlebih dahulu membayar sebesar 30 turki lira. Beberapa bukit batu di Goreme Open Air Museum ini tidak bisa dikunjungi wisatawan karena kondisi situs yang mengkhawatirkan. Terdapat juga larangan memotret di dalam bukit batu, terutama bukit batu yang dulunya bekas rumah ibadah dan tempat pemakaman. Di dalam bukit batu juga dibuat semacam anjungan kayu, demi kenyamanan pengunjung.

Sebuah pemandangan di Cappadocia
Sebuah pemandangan di Cappadocia

Ya, memang selalu ada dampak di setiap aktivitas, tak terkecuali aktivitas pariwisata. Disini saya melihat perlunya program edukasi, tidak hanya bagi pengelola wisata, tetapi juga bagi para pengunjungnya. Beberapa hal yang perlu disampaikan adalah terkait kepedulian kepada kelestarian peninggalan sejarah serta pemahaman bahwa jika kita tidak bisa menjaga peninggalan sejarah ini, maka generasi penerus tidak bisa menikmatinya. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran di kalangan wistawan dan pada akhirnya dapat mengurangi dampak dari aktivitas pariwisata itu sendiri. Semoga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *