Sebuah Cerita dari Sentra Kerajinan Kain Tenun Tradisional Lombok

Suatu siang di salah satu sudut pulau Lombok. Tepatnya di salah satu sentra kerajinan tenun tradisional yang berada di bumi Sasak ini. Saya menyaksikan wanita-wanita tangguh yang tengah asyik menenun sebuah kain. Dengan cekatan mereka memainkan gulungan-gulungan benang sambil sesekali memainkan sebuah bambu yang dipasang melintang di atas kaki mereka yang tengah berselonjor. Mili demi mili, senti demi senti, hingga meter demi meter, benang-benang tersebutpun akhirnya terangkai menjadi sebuah kain yang sangat indah.

Wanita Suku Sasak Menenun Kain Tradisional Lombok
Wanita Suku Sasak Menenun Kain Tradisional Lombok

Melihat kedatangan kami, mereka menghentikan sejenak aktivitasnya. Secara spontan mereka tersenyum kepada kami semua. Bagi saya, ini bagai ucapan selamat datang yang penuh keramahan, khas dari pulau Lombok dan juga Indonesia. Interaksi pun terjadi. Dengan penuh kesopanan mereka menanyakan asal daerah kami. Sejurus kemudian mereka juga menawarkan, apakah ingin mencoba menenun.

Beberapa diantara rekan-rekan saya langsung menyambut tawaran itu. Sang ibu pun bangkit dari duduknya dan mempersilakan rekan saya untuk menggantikan posisinya. Setelah posisinya sudah benar, ibu itu kemudian mengajari cara menenun. Saya sendiri tidak begitu tertarik untuk mencoba menenun dan lebih memilih untuk mengambil beberapa foto aktivitas menenun itu dari berbagai sudut.

Ibu Supandi, salah wanita penenun kain tradisional Lombok
Ibu Supandi, salah wanita penenun kain tradisional Lombok

Sambil memotret, saya berbincang dengan salah satu wanita disana. Beliau bernama ibu Supandi. Sudah belasan tahun mereka bekerja di sentra kerajinan tenun tradisional ini. Beliau menjual jasa berupa keterampilannya dalam menenun kain. Dalam sehari, beliau bekerja sekitar 8 jam. Setelah satu kain selesai dibuat, kain pun diserahkan ke pemilik sentra kerajinan untuk dipasarkan. Atas jerih payahnya, Ibu Supandi mendapatkan uang sekitar 600 ribu per kain yang dibuatnya. Satu kain biasanya diselesaikan dalam waktu 1 hingga 2 bulan, tergantung ukuran kain yang dibuat dan tingkat kerumitan desainnya. Itu artinya, semakin rumit desainnya, maka semakin lama ibu Supandi mendapatkan upah.

Saya pun seperti terhenyak. Nilai 600 ribu untuk sebulan itu sangat kecil. Apalagi 600 ribu untuk dua bulan. Waktu menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi ibu Supandi dan rekan-rekannya. Saya pun berpikir, apakah kedatangan kami ini bermanfaat bagi mereka atau justru akan menganggu kerja mereka. Anggaplah, jika para tamu tersebut mengambil sekitar 20 menit waktu sang ibu, maka ibu tersebut kehilangan 20 menit yang berharga untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tapi anehnya, para wanita penenun tersebut tidak mengeluh dengan kedatangan kami, malah menyambut dengan ceria dan mempersilakan pada siapapun yang bersedia belajar menenun.

Hanya dalam waktu lima menit, kebingungan saya terjawab. Ketika tengah asyik mencari angle yang bagus, saya mendapati sebuah nampan kecil berisi uang pecahan 5ribu, 10ribu hingga 50ribuan. Setiap seorang rekan saya merasa cukup dengan belajar tenunnya, atau mungkin tepatnya sudah cukup dengan jumlah foto yang diambil saat dia bergaya menenun, para wanita penenun ini, secara samar, menunjukkan nampan tempat uang tadi, seperti seolah-olah menunjukkan pada rekan saya, kalau misal ingin memberi tips, letakkan di nampan itu. Ada rekan saya yang paham dan kemudian meletakkan beberapa lembar uang disana. Tetapi yang cuek pun ada. Namun hal tersebut tidak mengurangi keceriaan para wanita penenun tadi. Semua “anak asuh tenunnya” disambut dengan tersenyum.

Saya pun menghela nafas lega. Terus terang kenyataan tentang upah 600 ribu per kain sempat membuat saya khawatir kalau di masa depan nanti, banyak generasi muda wanita suku Sasak yang lebih memilih pekerjaan lain yang lebih menjanjikan kesejahteraan daripada menenun sehingga Lombok dan Indonesia bisa kehilangan salah satu kesenian khasnya. Namun dengan adanya uang tips dari para pengunjung ini, saya pun optimis bahwa itu akan menjadi penyemangat bagi para wanita Sasak untuk tetap menenun. Setidaknya setiap hari ada uang yang bisa dibawa pulang. Apalagi konon katanya, wanita wanita suku Sasak belum boleh menikah, jika dia belum memiliki keterampilan menenun.

Saya mencoba belajar menenun
Saya mencoba belajar menenun

Saya pun akhirnya jadi ingin mencoba belajar menenun. Ya tentu saja sambil narsis sedikit lah, he he he. Dan kesimpulannya, ternyata menenun itu sangat susah dan sepertinya melelahkan. Jadi mari kita hargai jerih payah para wanita pemegang estafet kelestarian budaya negeri dengan tidak ragu memberi beliau tips. Insya Allah itu akan membantu mereka dan membuat mereka bersemangat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *