Film Dilan 1990 Sebuah Review

Saya sebenarnya relatif jarang ke bioskop untuk menonton film Indonesia. Bukannya tidak suka, tapi hanya merasa tidak worth it saja. Apalagi hanya dalam hitungan beberapa bulan, kebanyakan film Indonesia sudah tayang di televisi. Jadi cukup sabar menunggu sekitar 3 sampai 6 bulan untuk bisa menonton secara gratis.

Tapi khusus untuk film Dilan 1990, adalah sebuah perkecualian. Film ini justru menjadi film yang saya tunggu-tunggu. Hanya berselang seharu dari jadwal tayang perdana di seluruh bioskop Indonesia, tepatnya di tanggal 26 Januari 2018, saya pun menonton film yang disutradarai oleh Fajar Bustomi. Tentu saja nontonnya bersama mantan pacar.

Dilan 1990
Dilan 1990

Sebelum membahas beberapa detil, secara overall, saya cukup puas dengan film Dilan 1990. Adaptasi novel berjalan dengan baik mulai dari akting para pemain, chemistry diantara dua tokoh utama, Dilan dan Milea, serta setting tahun 1990 yang benar-benar bikin rindu masa itu. Bahkan saya punya prediksi bahwa film ini akan menjadi legenda baru film remaja seperti Ada Apa Dengan Cinta.

Tulisan review ini jauh dari kata spoiler. Justru bagi yang sudah membaca novelnya, itu adalah spoiler yang paling wahid. Saya sendiri adalah salah satu pembaca novel karya Pidi Baiq yang bertajuk, Dilan, dia adalah Dilanku tahun 1990, meskipun membacanya baru di akhir tahun 2017, saat gemuruh dari film Dilan sudah ramai dibicarakan. Karena jalan cerita yang sangat menarik dan mengalir, tanpa terasa saya hanya menghabiskan beberapa jam saya untuk menyelesaikannya. Sejak saat itu, saya pun menunggu dengan antusias film Dilan tayang di bioskop.

Ketika sebuah novel diadaptasi ke layar lebar, biasanya terdapat banyak pro dan kontra di kalangan para penggemar, tak terkecuali untuk film Dilan 1990 ini. Dari pendapat yang kontra, film dianggap merusak imajinasi dari pembaca, apalagi ketika karakter aktor dan aktris yang memerankan tokoh-tokoh dalam film tersebut tidak sesuai dengan harapan.

Dalam Dilan 1990, hal tersebut dialami Iqbaal Ramadhan yang memerankan tokoh sentral dalam cerita, Dilan. Sosok Dilan yang macho, suka tawuran tp romantis dan puitis, dianggap tidak serasi dengan karakter Iqbal. Wajah Iqbal dianggap terlalu manis dan kurang macho. Namun kenyataan di film, tidak demikian. Saya merasa Iqbal sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi seorang Dilan. Meski di beberapa adegan, saya melihat akting Iqbal masih agak kaku, tapi saya bisa memaklumi, karena selain kekakuan aktingnya tidak fatal, membawakan peran sebagai sosok utama dari novel yang memiliki banyak pembaca dan juga fans, tentu menjadi tantangan tersendiri yang kadang bisa membuat gugup.

Iqbaal Ramadhan sebagai Dilan
Iqbaal Ramadhan sebagai Dilan

Untuk peran yang lain, seperti Milea, Ayah Milea, Ibu Milea, ataupun Wati, sepupu dilan, semuanya bermain cukup bagus. Hanya saja yang menurut saya, yang agak mengganggu justru akting aktris senior, Ira Wibowo, yang berperan sebagai bunda Dilan. Bagi saya, mbak Ira kurang berhasil untuk membawakan sosok bunda Dilan yang sedikit tomboy, perhatian dengan anak-anaknya dan juga gaul.

Dilan dan Milea
Dilan dan Milea

Satu lagi yang paling mengganggu adalah adegan akhir film, yang menunjukkan sosok Milea di tahun 2014. Bagi saya dengan penggambaran Milea di tahun 1990 berumur 17 tahun, maka di tahun 2014, seharusnya usia Milea sudah 41 tahun. Namun di film, digambarkan, tampak belakang dari sosok Milea 2014 yang sepertinya masih berusia 25 tahun.

Bagian terbaik dari film ini adalah sinematografi dan pembangunan latar belakang film untuk menunjukkan suasana tahun 1990. Mulai dari motor CB tahun 80an yang dikendarai Dilan, rumah Dilan dan rumah Milea yang suasananya sangat hijau dan bergaya rumah klasik Indonesia, mobil toyota corolla DX yang mendominasi jalanan kota Bandung, yang salah satunya dimiliki Kang Adi, guru les privat Milea, dan suasana sekolah, kelas dan gaya berpakaian siswa siswi nya, yang terasa sangat dekat dengan suasana yang saya alami di masa SMA dulu. Saya memang tidak pernah tinggal ataupun singgah di Bandung di tahun 90an, tapi saya rasa, suasana di hampir setiap kota, utamanya yang masih dalam satu pulau, relatif sama.

Dan satu hal yang begitu membuat nostalgia tahun 1990an begitu sempurna adalah adanya kotak telepon umum. Tahun 90an, telepon umum adalah andalan utama komunikasi, terutama bagi cowok-cowok yang PDKT sama gebetannya. Mau telepon di rumah, takut dimarahin, karena ngabisin pulsa, jadinya ya melipir ke telepon umum.

Di awal film saya sudah menduga bahwa film Dilan 1990 berpotensi menjadi legenda seperti AADC. Saat menonton di salah satu gerai bioskop XXI di Surabaya, saya melihat bioskop hanya terisi setengah saja. Selain itu juga tidak ada antrian panjang seperti saat AADC dulu. Tapi dari informasi yang saya terima, sepanjang dua hari awal penayangan, film Dilan 1990 sudah ditonton sebanyak 500.000 penonton. Setelah saya pikir, mungkin penyebab tidak penuhnya penonton di bioskop dan juga tidak adanya antrian seperti AADC di tahun 2002, adalah jumlah bioskop jaringan XXI di tahun 2018 ini, jauh lebih banyak dibanding tahun 2002, dengan jumlah hampir dua kali lipat. Selain itu channel pembelian tiket saat ini tidak hanya di loket saja seperti 16 tahun yang lalu, tetapi bisa melalui MTix untuk jaringan XXI atupun memanfaatkan aplikasi Go-Tik dari Go-Jek untuk bioskop CGV.

Film Dilan 1990 sebenarnya berdurasi sekitar 90 menit, tetapi ketika menyaksikannya, waktu terasa berjalan lebih cepat dari durasinya. Mungkin karena film Dilan 1990 ini alur ceritanya memang bagus. Hal menarik lainnya, ketika film sudah selesai dan lampu bioskop sudah menyala, banyak penonton yang masih tidak mau beranjak dari bangkunya. Entahlah mengapa. Bisa jadi salah satunya karena mereka baper, atau mungkin mereka masih berharap durasi filmnya lebih lama lagi.

Jadi, kapan kamu nonton film Dilan 1990? Jangan nonton Dilan sendirian, berat, kamu nggak akan kuat, ajak saya saja.

2 thoughts on “Film Dilan 1990 Sebuah Review

  • 28/01/2018 at 00:19
    Permalink

    Ini uda pilem ke 5 Iqbal mas, dan genre drama romantis kayanya di pilem sebelum Dilan juga genre yang sama. Ala anak SMA juga.
    Gimana coba? Atau ada perspektif lain?

    Reply
    • 28/01/2018 at 20:05
      Permalink

      Terima kasih infonya Mas.
      Ya mungkin redaksional saya ganti, film pertama sebagai solois, gak bareng-bareng sama CJR, he he he.
      Yang saya tahu, Iqbaal dan CJR memang punya banyak proyek film dan kebanyakan di genre drama, tapi mungkin peran yang diembannya tidak serumit saat memerankan Dilan. Mungkin itu mas

      Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *