Cerita Pagi di Masjidil Haram

Di tengah pagi yang masih gelap, saya duduk bersama ribuan jamaah sholat Subuh yang memadati Masjidil Haram. Saat itu sholat subuh baru saja selesai ditunaikan. Setelah berdzikir dan berdoa sejenak, beberapa jamaah di sekitarku mulai bangkit dari duduknya dan bergerak menuju Kakbah. Sebagian dari mereka, masih mengenakan pakaian ihram, tapi tidak sedikit pula yang sudah menggunakan pakaian berjahit. Begitu mendapatkan tempat yang cukup nyaman, mereka memulai memutari Kakbah dengan arah berlawanan arah jam. Yap, mereka bergegas untuk thawaf.

Matahari Terbit di Masjidil Haram
Matahari Terbit di Masjidil Haram

Beberapa jamaah yang lain, masih setia duduk. Sebagian besar dari mereka menyibukkan diri dengan mushaf sambil sesekali mendongakkan wajahnya sembari menatap Kakbah. Kemudian dari arah belakang, tiba-tiba saya merasakan sebuah pergerakan yang cukup masif. Ternyata itu gelombang arus dari kaum ibu yang bergerak maju dari shafnya yang di belakang, untuk memulai thawaf ataupun sekedar mendapatkan tempat yang lebih lapang untuk bisa menatap Kakbah.

Saya sendiri masih duduk bersila, sambil sesekali menatap kebelakang, menanti istri. Setelah sepuluh menit berselang, barulah saya bisa menemukan wajah istri saya tercinta diantara ribuan kaum ibu. Setelah itu kami berdua pun duduk sambil menatap Kakbah. Sebenarnya saat itu, saya juga ingin melaksanakan thawaf sunnah, karena ba’da Subuh adalah waktu yang sangat pas. Angin terasa sangat segar seperti suasana pagi pada umumnya, sedangkan langit masih gelap. Thawaf setelah Subuh, bagi saya, juga aktivitas ibadah yang paling pas untuk mengusir kantuk, karena biasanya setelah Subuh itu bawaannya ngantuk. Tapi, saat itu, kami memang ingin sekedar duduk menatap kakbah sambil menikmati suasana pagi.

Suasana Setelah Subuh di Masjidil Haram
Suasana Setelah Subuh di Masjidil Haram

Sementara kami duduk, suasana langit mulai menampakkan perubahan seiring berjalannya waktu. Semakin lama, warna gelap mulai memudar dengan munculnya semu warna jingga dari garis cakrawala. Karena saat itu langit Mekkah tampak cerah tanpa awan, maka saya tidak melihat guratan-guratan jingga yang biasanya terlukis di lekukan-lekukan awan.

Perlahan-lahan, di ufuk timur, langit semakin cerah. Sekilas terlihat semu warna jingga berbentuk setengah lingkaran di balik Kakbah dan bangunan Masjidil Haram yang masih penuh dengan crane karena proyek perluasan. Sungguh pemandangan matahari terbit yang sangat cantik. Dulu saya mengira, pantai, puncak gunung ataupun danau adalah tempat terbaik untuk melihat matahari terbit. Ternyata aku salah, di Masjidil Haram inilah, di Baitullah ini, saya melihat sunrise terindah, yang pernah diabadikan oleh mata saya. Sebuah sunrise yang bukan hanya indah untuk raga, tetapi juga memesona untuk hati. Tiba-tiba hatiku tergerak untuk mengabadikan momen indah itu. Aku pun mengambil ponsel dan kemudian mengambil beberapa foto. Beberapa foto diantaranya, saya ambil dalam mode panoramic.

Sembari matahari perlahan menampakkan diri, sayup-sayup lantunan doa dari para jamaah yang melakukan thawaf maupun tilawah ayat suci Al Qur’an dari saudara seiman yang berada di sekeliling saya, terdengar semakin nyaring, berpadu renyah dengan kicauan burung-burung merpati yang sering terbang rendah di sekitar Masjidil Haram. Sungguh, suasana pagi itu begitu nyaman dan syahdu.

Sekitar pukul 6.30 pagi, sinar matahari mulai terasa sedikit menyengat di kulit, tandanya waktu Dhuha telah datang. Beberapa jamaah pun sudah ada yang memulai sholat Dhuha. Saya dan istri pun tak ketinggalan. Sayang sekali, jika waktu di tanah yang suci ini yang singkat ini, tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk ibadah.

Sunrise di Masjidil Haram, Mekkah
Sunrise di Masjidil Haram, Mekkah

Setelah menunaikan sholat Dhuha, kami pun kembali ke hotel, karena perut sudah mulai lapar. Tak lupa kami minum segelas air zam-zam terlebih dahulu, sebelum meninggalkan Masjidil Haram, untuk menghilangkan sejenak dahaga.

Sungguh, pagi di Masjidil Haram, sangat indah. Sambil menulis kisah ini, saya merasakan rindu yang teramat sangat pada Baitullah. Saya ingin, suatu hari nanti, saya bisa kembali ke Mekkah, untuk bertemu kembali dengan rumah Allah yang sangat mulia ini. Aamiin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *