Suatu Malam di sebuah Taksi Bandara

Dengan gontai aku berjalan sambil menyeret tas koper di sebuah Jumat malam yang riuh. Kurang dari setengah jam lagi, hari akan berganti, tetapi suasana bandara internasional juanda, surabaya masih tampak sibuk.

Saat itu hanya satu hal yang kuinginkan, segera sampai rumah dan tidur. Aku ingin segera mengistirahatkan otakku dari segela kepenatan dan keruwetan selama lima hari terakhir ini dan menikmati akhir pekan di rumah.

Begitu sesampainya di terminal kedatangan, aku segera memesan taksi. Begitu taksi yang kupesan datang, aku melihat seorang bapak keluar dari ruang kemudi dan dengan sigap membantu memasukkan koperku ke dalam bagasi. Bapak itu memandangku sejenak untuk kemudian membukakan pintu depan taksi.

Taxi
Taxi

Sejenak aku terkejut, karena ini adalah sebuah hal yang tidak biasa. Saat itu, aku sebenarnya ingin duduk dibelakang dan kemudian melanjutkan istirahatku sejenak di taksi. Tetapi keanehan ini membuatku penasaran, dan aku pun menerima tawaran sang bapak untuk duduk bersamanya di kursi depan.

“Selamat malam, pak, mau diantar kemana?”, ujar sang pria, sebuah standar operasional prosedur dari seorang sopir taksi dalam menyambut tamunya.

Taksi pun melaju menuju jalanan kota Surabaya yang sudah cukup lengang.

“Dari mana, pak? Wisata atau Dinas? Sering naik pesawat pak?”, bertubi-tubi pertanyaan keluar dari mulut sang bapak sopir yang tampak ceria itu. Kuperkirakan, usianya mungkin sekitar 15 tahun diatasku.

Aku pun menjawab semua pertanyaan dari bapak tersebut, untuk kemudian menyampaikan pertanyaan standard yang sering kulontarkan ke sopir taksi, “Rumah dimana, Pak?”. Kalau kebetulan rumah tidak di Surabaya, maka aku lanjut dengan pertanyaan, “Keluarga tinggal di Surabaya juga, atau bapak kos sendirian disini?”, “Sudah lama jadi sopir taksi, Pak?”

“Baru enam bulan, mas,” jawabnya

Beberapa saat kemudian, suasana menjadi hening. Bapak itu pun menyalakan radionya. Sebuah siaran warta berita mengalun dari pengeras suara radio. Saat itu seorang penyiar wanita melaporkan tentang adanya permasalahan visa pada keberangkatan Haji tahun 2015 ini.

“Haji itu memang bukan perjalanan biasa, hanya tamu Allah-lah yang akan berangkat,” gumam sang bapak mengomentari berita yang terdengar.

“Iya pak,” ujarku. “Bapak sudah naik haji?”

“Alhamdulillah sudah mas”

“Tahun berapa pak? “

“Ya, tiga tahun yang lalu, mas”

“Alhamdulillah Pak, sudah menunaikan rukun islam kelima. Waktu itu nunggu antrian berapa lama, pak?”

“Saya ndak pakai antri, mas”

Dahiku mengernyit. “Gak pakai antri, pak?”

“Saya juga ga nyangka mas. Saya hanya sopir mas. Dan sampai setahun sebelum saya haji, saya masih belum daftar haji. Tapi itulah undangan Allah. Semua yang tidak mungkin, menjadi mungkin.”

Mendadak, aku merasakan sebuah getaran yang membuat kantuk dan lelahku serasa hilang.

“Wah, ceritanya gimana pak?”

“Sekitar pertengahan tahun 2011, anak saya yang kedua, menderita sakit mas, dan harus opname. Saat itu pula, si sulung waktunya pendaftaran masuk SMA, sedangkan si bungsu masuk SMP. Daftar haji? Kalau dibilang pengen, saya benar-benar pengen banget, mas. Tetapi, melihat kondisi saat itu, semua itu mungkin hanya mimpi,” ujar sang Bapak. “Ketika semua masalah ini terasa begitu ruwet bagi saya, Allah memberikan jalan keluar yang tidak disangka-sangka. Seseorang kawan lama menawari saya untuk jadi sopir travel di Arab, mas. Tawaran itu saya ceritakan ke istri dan anak-anak. Awalnya mereka pastinya menolak mas. Tapi demi kesembuhan si Rizal, anak kedua saya, kami pun akhrnya ikhlas dan menerima tawaran itu.”

“Wah, Masya Allah ya Pak,” ujarku. “Lalu keluarga ada yang ikut pak?”

“Ya enggak lah mas, mereka tetap di sini. Hanya saja, anak pertama dan anak ketiga saya saya masukkan ke pondok, biar istri saya gak kerepotan dan bisa fokus merawat si Rizal. Alhamdulillah, Arif, anak sulung saya, dan Deni, anak bungsu saya, bersedia masuk pondok. Mereka bersedia dengan sendirinya.”

Ya Allah, apa-apa yang terlihat sulit bagi kami, manusia, semua menjadi mudah bagi-Mu.

Lalu obrolan pun berlanjut. Tepatnya mungkin bukan obrolan, tetapi dongeng, he he. Bapak itu bercerita tentang kondisi jalanan di Arab yang halus dan lurus, nyaris tanpa kelokan dan tanpa tanjakan turunan, sehingga sering membuat pengendara menjadi mengantuk dan bosan. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah pasir, pasir dan pasir. Disana bus tidak boleh menurunkan penumpang seenaknya di pinggir jalan, harus di terminal ataupun halte resmi. Si bapak juga cerita tentang uang sakunya yang lebih dari cukup untuk dikirim ke Indonesia, sehingga Arif dan Deni bisa belajar di pondok dengan tenang dan Rizal bisa mendapatkan perawatan yang layak.

“Dan yang paling luar biasa dari seluruh pengalaman saya selama di Arab, mas, saya pun akhirnya bisa naik haji, mas. Dan alhamdulillah tidak hanya satu kali, tetapi dua kali, tahun 2012 dan 2014.” Mata sang bapak mulai berkaca-kaca. “Saya masih ingat, saat pertama kali melihat masjidil haram dan kakbah. Lutut ini seperti lemas. Dan gak terasa, saya nangis, mas. Rasanya, baru saja saya mimpi haji, eh tiba-tiba sudah didepan Kakbah.”

Dadaku serasa bergetar mendengar cerita itu. Pastinya sebuah pengalaman spiritual yang tak terlupakan.

“Jadi, total berapa lama bapak di Arab?”

“Ya sekitar 3.5 tahun, mas”

“Wah, lama juga ya, Pak, ” sahutku. “Betah juga kayaknya disana ya Pak?”

“Ya dibetah-betahin, mas, namanya juga cari rizki demi anak istri. Jadi energi kangen keluarga saya alihkan menjadi semangat kerja. Ya katanya kan hidup itu perjuangan,” sahut sang bapak dengan mantap. “Ya Alhamdulillah mas, selama di Arab, saya sering dapat tambahan, karena ketika ada rekan kerja yang berhalangan, saya dengan semangat bersedia menggantikannya.”

“Hmm, betul-betul pak.”

Deg, tiba-tiba aku merasa seperti tertampar oleh kalimat terakhir bapak sopir. Sudah tiga bulan terakhir ini, aku mengeluh, mengeluh dan mengeluh setiap saat. Ini karena saat ini aku ditugaskan pada sebuah proyek di ibu kota. Dengan terpaksa, aku akhirnya menjalani hubungan jarak jauh dengan keluarga. Jadi sudah tiga bulan ini, hampir setiap minggu aku musti bolak-balik, Surabaya – Jakarta.

Memang, ada sedikit tambahan pemasukan dari keikutsertaanku dalam tim proyek berupa sisa uang perjalanan dinas. Tetapi, kondisi proyek yang tidak terencana dengan baik, plus keadaan tim proyek yang compang camping karena kekurangan personil, serta kenyataan harus jauh dari keluarga, membuatku merasa pemasukan tambahan itu tidak berarti. Aku pun seperti tidak bisa ikhlas menerima tugas ini. Kondisi emosiku pun menjadi labil.

Ingin rasanya melakukan proyek ini setengah hati, biar dianggap berkinerja jelek, biar posisiku digantikan orang lain, dan aku bisa kembali bertugas dekat dengan keluarga. Tapi sejauh ini, aku tidak bisa melakukan hal tersebut. Bagiku, tugas harus dilaksanakan dengan tanggung jawab.
Dan malam ini, bapak sopir taksi ini seperti menunjukkan kepadaku, bahwa apa yang kukeluhkan selama ini tidak ada apa-apanya dengan ujian yang menimpa si bapak beberapa tahun silam, hingga akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan tanah air dan keluarga menuju Saudi Arabia.

Posisiku sendiri “hanya” di Jakarta, yang mana tidak jauh dari Surabaya. Mau kapan saja pulang, bisa. Mau pilih moda transportasi apapun juga ada, mulai dari pesawat, kereta api, bus ataupun kapal laut. Bayangkan dengan si Bapak. Untuk sebuah kepulangan harus dipikirkan masak-masak, karena biaya yang tidak sedikit.

Kondisi keluargaku saat ini juga dalam keadaan baik. Bayangkan dengan kondisi keluarga si Bapak saat pergi, dengan anak keduanya yang lagi sakit. Ya Allah, malam ini Kau betul-betul menunjukkan kepadaku, apakah arti dari kata syukur.

“Terus pada akhirnya mengapa memutuskan untuk pulang, Pak?”

“Iya, mas, anak pertama saya yang meminta. Dia sekarang sudah kuliah sambil kerja, jadi sudah bisa membantu ekonomi keluarga. Ya akhirnya saya memutuskan untuk pulang dan kembali jadi sopir taksi.”

“Dan takdir mempertemukan kita malam ini, Pak,” ujarku sambil tersenyum.

Bapak itupun tersenyum. “Masnya sudah menikah? Sudah punya anak berapa?”

“Alhamdulillah, saya sudah menikah pak,” sahutku. “Sejauh ini, saya dan istri masih belum dikasih, Pak. Kami berdua masih berusaha.”

“Yang sabar ya mas. Insya Allah, kalau memang sudah takdir, Allah akan memberi. Tetap husnudzon pada Allah. Jangan berhenti berusaha dan berdoa.”

“Iya Pak”

Tak terasa, taksi pun akhirnya sampai di rumah. Perjalanan 45 menit dari bandara ke rumah terasa sangat cepat.

“Satu pertanyaan, sebelum saya turun, Pak, Apakah bapak ingin kembali ke Arab jika ada kesempatan?”

“Tentu saja, mas. Saya ingin suatu hari nanti bisa kembali kesana bersama ibunya anak-anak. Ya mungkin kalau anak-anak saya sudah lulus semua dan sudah menikah.”

“Terima kasih atas obrolannya pak. Assalaamu’alaikum”

“Wa’alaikumussalam.”

Dan taksi itu pun berlalu. Aku terus terpaku didepan pagar rumah dan menunggu hingga taksi tersebut hilang dari pandangan. Sebuah pengalaman yang indah malam ini. Tapi ada satu sesal yang membekas hingga saat ini, saya lupa menanyakan nama si Bapak, termasuk juga kontak beliau. Tapi aku percaya, jika memang takdir, kami berdua bisa bertemu lagi dan berbagi cerita yang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *