Pesona Phinisi

Pembuatan Kapal Phinisi di Bulukumba, Sulawesi Selatan

————

“Ada bukti nyata bahwa nenek moyang kita memang seorang pelaut. Datanglah ke Tanah Beru, dan saksikan bagaimana Phinisi dibuat”

————

Di suatu sore yang cerah di bulan Mei 2014 yang lalu. Ketika itu aku, istri dan kedua adikku tengah menjelajahi jalur selatan pulau Sulawesi, dari kota Makassar menuju Tanjung Bira. Sudah sekitar lima jam lebih perjalanan yang kami tempuh dengan menggunakan sebuah mobil yang kami sewa.

Mobil sendiri mulai bergerak meninggalkan kabupaten Bantaeng dan memasuki Kabupaten Bulukumba. Ini ditandai dengan adanya sebuah monumen berbentuk kapal phinisi. Ingin rasanya berhenti sejenak mengambil foto disana, tetapi entah mengapa aku hanya terdiam saja dan membiarkan mobil terus melaju ke timur. Sebuah penyesalan pun muncul didalam dadaku beberapa menit kemudian.

Pembuatan Kapal Phinisi di Bulukumba, Sulawesi Selatan
Pembuatan Kapal Phinisi di Bulukumba, Sulawesi Selatan

Tetapi, untunglah penyesalan itu ternyata tidak berlangsung lama. Menjelang beberapa kilometer lagi sampai di Bira, driver kami mendadak memberhentikan mobilnya di pinggiran jalan. Kami sempat bingung dengan apa yang terjadi dan mengira ada masalah di mobil hingga membuatnya harus berhenti sejenak.

Tapi kebingungan itu sirna, begitu kami keluar dari dalam mobil dan melihat pemandangan yang tersaji disana. Sebuah kegiatan pembuatan Kapal Phinisi. Yang lebih takjub lagi, kapal Phinisi yang kami saksikan ini sangat luar biasa besar hingga membuat penuh rasanya bola mataku. Subhanallah.

Read more

Kilauan Liukang Loe

Pantai di Pulau Liukang

————

“Sudah sampai di Tanjung Bira? Tambahkan satu lagi jumlah pulau di bumi ini yang telah kalian jejak dengan mengunjungi Liukang Loe”

————

Deru mesin kapal terdengar merdu di telingaku. Suaranya bersahut-sahutan dengan kecipak gelombang laut yang terhantam badan kapal. Diantara riak-riaknya, sesekali air laut melompat masuk kedalam kapal. Mereka memercikkan diri ke bajuku seolah-olah ingin berkenalan. Aku hanya tersenyum. Aku balas salam mereka dengan memasukkan telapak tanganku kedalam laut. Hmm, sekarang kami sudah resmi berkawan.

Pemandangan Pulau Liukang Loe
Pemandangan Pulau Liukang Loe

Baru beberapa menit yang lalu aku, istri dan kedua adikku masih menjejak kaki di pulau Sulawesi. Tapi sekarang kami sudah berada di dalam sebuah kapal yang tengah melaju membelah perairan selatan Sulawesi. Ada dua buah pulau kecil yang tersembul disana. Salah satunya, konon, mempunyai pantai yang tidak kalah indahnya dengan Tanjung Bira. Pulau Kambing dan Pulau Liukang Loe, itulah tujuan kami menyewa kapal seharga 300 ribu rupiah untuk berlayar.

Read more

Terpana di Tanjung Bira

Pantai Tanjung BIra, Bulukumba, Sulawesi Selatan

————

“Jika Bali atau mungkin Lombok sudah terlalu mainstream, maka coba datanglah ke ujung selatan pulau Sulawesi. Datanglah ke Tanjung Bira”

————

Di suatu sore yang sedikit berawan, kubiarkan kaki-kakiku bertelanjang tanpa alas. Aku bebaskan mereka dari belenggu yang selama ini membatasi sentuhan langsung mereka dengan kulit bumi. Aku paparkan pori-pori telapak kakiku dengan bulir-bulir pasir pantai yang berserakan itu. Sungguh, ini untuk pertama kalinya aku merasakan pasir yang selembut itu. Rasanya kakiku seperti menginjak sebuah adonan tepung.

Pantai Tanjung BIra, Bulukumba, Sulawesi Selatan
Pantai Tanjung BIra, Bulukumba, Sulawesi Selatan

Selain pasirnya yang putih dan lembut, airnya juga jernih. Saking beningnya, warna air laut disini tampak kehijau-hijauan. Satu lagi kekhasan dari pantai ini adalah adanya tebing-tebing karang setinggi sekitar 10 meter yang menghias bibir pantai. Bagian bawah dari tebing-tebing ini berbentuk cerukan yang disebabkan oleh hantaman gelombang air laut saat pasang.

Salah satu bagian menarik, di beberapa bagian tebing dibuat tangga yang mengarah langsung ke laut. Dengan air laut yang jernih kehijauan, sekilas tangga itu tidak seperti menuju ke laut, melainkan kolam renang. Sebuah kolam renang yang tak berbatas dan tak bertepi.

Pemandangan di Tanjung Bira, Bulukumba
Pemandangan di Tanjung Bira, Bulukumba

Hmm, Pantai ini memang bukan pantai biasa. Dengan berbagai keindahan yang ditawarkan, tak salah kiranya jika pantai yang satu ini layak disebut surga. Yap, selamat datang di Pantai Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan.

Read more

Indahnya Masjid Raya Makassar

Saat kunjungan keduaku ke Sulawesi Selatan, awal Juni 2012 yang lalu, aku dibuat takjub pada sebuah masjid yang terletak di salah satu sudut kota Makassar, tepatnya di Jalan Bulusaraung, Makassar. Sebuah masjid yang sangat megah dengan arsitektur perpaduan gaya eropa dan timur tengah. Warnanya yang putih bak pualam membuatnya sekilas tampak mirip bangunan Taj Mahal di India yang tersohor itu. Itulah masjid raya Makassar.

Dari informasi di internet, Masjid Raya ini ternyata sudah berdiri sejak tahun 1949. Karena banyaknya kebocoran disana-sini, serta untuk menambah jumlah kapasitas jamaah, Masjid pun akhirnya di renovasi total pada akhir tahun 1999 dan selesai pertengahan tahun 2005. Peresmian penggunaan kembali masjid ini dilakukan oleh Bapak Jusuf Kalla yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Read more

Singgah di Pare-pare

Sore itu aku berada di sebuah mobil yang menderu cukup kencang. Jalanan yang cukup bagus dan sepi menjadi alasan kenapa pak supir berani memacu kendaraannya di kisaran 80 hingga 100 km / jam. Sudah lebih dari 3 jam lamanya aku berada di dalam mobil, sejak pesawat Garuda Indonesia yang membawaku terbang dari Surabaya menuju Makassar mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Ini adalah perjalananku yang kedua di Sulawesi Selatan.

Selang beberapa menit kemudian, Pak Supir berseru, “kita hampir sampai di Pare-pare. Itu tandanya.” Tangannya menunjuk sebuah gapura bertuliskan, “Selamat datang di kota kelahiran Presiden RI ke-3, Prof. BJ.Habibie”. Ditengah lelah dan kantuk yang masih menyerang, aku berusaha melihat gapura yang ditunjuk oleh sang supir. Saat aku berusaha mengambil kamera untuk mengabadikan gapura itu, aku terlambat. Kecepatan mobil lebih cepat sepersekian detik daripada kecepatan tanganku mengambil kamera. Saat aku sudah siap memotret, gapura itu sudah terlewat. Welcome to Pare-pare.

Read more