Menyaksikan Sisa-Sisa Sejarah di Pelabuhan Paotere, Makassar

Jika tengah berkunjung ke Makassar, saya menyarankan untuk memasukkan Pelabuhan Paotere ke dalam daftar kunjungan anda. Alasan utamanya tentunya adalah status pelabuhan Paotere yang merupakan salah satu pelabuhan tertua di Indonesia yang masih berdenyut hingga saat ini. Pelabuhan ini diperkirakan sudah mulai beroperasi sejak abad ke-14 dan merupakan warisan peninggalan dari kerajaan Gowa-Tallo, sebuah kerajaan yang pernah berjaya di masa lalu, dengan salah satu rajanya yang sangat termahsyur, Sultan Hasanuddin. Setiap harinya puluhan kapal berlabuh di pelabuhan ini untuk melakukan kegiatan bongkar muat barang.

Sebuah Kapal Berlabuh di Pelabuhan Paotere, Makassar
Sebuah Kapal Berlabuh di Pelabuhan Paotere, Makassar

Selain sebagai pintu masuk jalur perniagaan, pelabuhan Paotere diyakini juga menjadi salah satu pintu masuknya Islam ke tanah Makassar. Islam pun makin berkembang di Makassar ketika Kerajaan Gowa dipimpin oleh Sultan Alaudin, Raja Gowa yang memeluk Islam, sekaligus pengemban gelar “Sultan” yang pertama. Dari pelabuhan Paotere pulalah, ajaran Islam berlayar lebih jauh melintasi samudera Hindia menuju benua Australia. Islam dibawa oleh nelayan dan pedagang muslim Makassar yang tengah berlayar mencari teripang hingga ke pesisir Australia Barat, Australia Utara hingga Queensland pada sekitar pertengahan abad ke-17, satu abad sebelum kedatangan bangsa Eropa di Australia. Kedatangan nelayan dan pedagang Makassar ini disambut dengan baik oleh warga asli pesisir Australia, yang juga membutuhkan komoditas dari Sulawesi seperti tempurung kura-kura, tembakau dan juga barang-barang khas Sulawesi lainnya.

Read more

Menjelajah Kepulauan Spermonde, Makassar, Sulawesi Selatan

“Makassar bukan hanya Pantai Losari, Fort Rotterdam ataupun Somba Opu. Masih banyak potensi wisata lain yang perlu dijelajahi di kota Angin Mamiri ini, salah satunya adalah mengunjungi pulau-pulau (hoping islands) di gugusan kepulauan Spermonde”

Laut yang terhampar sepanjang mata memandang di suatu pagi yang cukup terik itu, membuat mata saya seperti tak mau berkedip. Airnya sungguh jernih dan tampak menghijau. Sesekali di permukaannya muncul kilauan bak permata, terutama ketika sang surya dapat memaparkan sinarnya tanpa ada awan yang menghalanginya. Setiap beberapa detik, air laut itu datang menghampiri daratan, tempat kaki saya berpijak saat ini, untuk menjilati butiran-butiran pasir yang berserakan di sepanjang garis pantai. Butiran-butiran pasir di daratan tersebut sebagian besar berwarna putih dan memiliki tekstur yang sangat lembut. Kelembutan pasir ini membuat saya langsung melepaskan alas kaki, begitu perahu motor yang membawa saya dari daratan pulau Sulawesi, bersandar. Saya membiarkan kulit di telapak kaki ini bersentuhan langsung dengan pasir pantai. Hmm, saya merasa seperti menginjak tepung terigu.

Pemandangan di Pulau Samalona, Kepulauan Spermonde, Makassar, Sulawesi Selatan
Pemandangan di Pulau Samalona, Kepulauan Spermonde, Makassar, Sulawesi Selatan

Saya terus melangkahkan kaki menyusuri daratan yang baru saja saya jejaki ini, hingga tanpa sadar, saya sudah tiba kembali di titik dimana saya tadi turun dari kapal. Lama penjelajahan itu hanya membutuhkan waktu 10 menit saja. Daratan ini memang bukanlah pulau yang besar, tetapi hanyalah sebuah pulau kecil seluas 2.3 hektar yang tersembul di perairan Selat Makassar. Orang-orang memanggilnya Samalona. Samalona tidak sendiri tinggal disini. Ada sekitar 120 pulau kecil lain yang berada di sekitarnya. Pulau-pulau itu membentuk sebuah gugusan kepulauan yang dikenal dengan nama gugusan kepulauan Spermonde. Gugusan kepulauan Spermonde memiliki wilayah yang cukup luas, terbentang mulai dari wilayah Takalar, Sulawes Selatan hingga Mamuju, Sulawesi Barat. Konon, nama spermonde berasal dari kata sperm (sperma), karena jika dilihat dari udara, gugusan kepulauan ini terlihat seperti sperma yang sedang bergerak.

Read more

Gurihnya Konro Karebosi Khas Makassar

Ke kota Makassar, kurang lengkap rasanya kalau belum menikmati konro, sebuah olahan makanan khas dari negeri angin mamiri ini, dengan bahan utamanya adalah iga sapi. Di Makassar sangat banyak penjual konro bertebaran di penjuru kota. Beberapa yang terkenal diantaranya adalah Rumah Makan Konro Karebosi, yang berlokasi di Jalan Lompobanang 41-43 Makassar.

Penampakan Sop Konro di Konro Karebosi, Makassar
Penampakan Sop Konro di Konro Karebosi, Makassar

Rumah makan Konro Karebosi sudah berdiri cukup lama, tepatnya sejak tahun 1968. Ada dua pilihan menu utama di sini, yaitu sop konro dan konro bakar. Saya sendiri memilih sop konro, karena saat itu ingin makan yang berkuah dan hangat.

Read more

Mencicipi Palubassa Serigala Yang Kaya Rasa

Salah satu makanan khas Makassar yang membuat saya penasaran adalah Palubassa. Sudah beberapa kali saya berkunjung ke Makasaar, tapi belum pernah singgah disana. Pada akhirnya di awal tahun 2018 ini, saya mewujudkan mimpi lidah saya untuk mengecap gurihnya Palubassa. Dan spesialnya, saya mencicipinya di restoran paling tersohor disini, Palubassa Serigala.

Semangkuk Palubassa Serigala
Semangkuk Palubassa Serigala

Palubassa ada sejenis makanan dengan bahan dasar daging sapi. Dinamakan Palubassa Serigala bukan karena dia dibuat dari daging serigala, tetapi lokasinya yang berada di Jalan Serigala. Daging sapi ini dipotong kecil-kecil dan kemudian di rebus dengan kuah yang beraneka bumbu. Salah satu keunikan Palubassa adalah pada kuahnya terdapat parutan kelapa. Kalau orang Jawa biasanya menyebutnya serundeng.

Read more

Menyusuri Sejarah di kota Angin Mamiri

Riuh, satu kata yang tidak pernah lepas dari Pantai Losari, Makassar. Apalagi di sore hari, ketika matahari akan terbenam. Meski bukan akhir pekan, pantai ini selalu ramai oleh penduduk setempat maupun para wisatatawan. Mereka yang berusia setengah baya sibuk mengobrol, para orang tua muda tampak bermain-main bersama buah hati mereka. Sesekali sang ayah atau ibunda mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen lucu yang tercipta.

Pantai Losari, Makassar
Pantai Losari, Makassar

Sedangkan anak-anak muda sibuk dengan gadget masing-masing. Tak lupa si tongsis alias tongkat narsis pun turut serta. Sesekali mereka mengayunkan tongkat itu dan menghadapkan wajah pada kamera yang terpasang. Sebelum shutter dinyalakan, mereka mengajak seluruh kawannya untuk berkumpul dan memasang pose terbaik. Di belakang mereka, berdiri dua belas buah huruf bercat putih, bertuliskan “Pantai Losari” ditambah dengan guratan merah, kuning dan jingga yang menghias ufuk barat. Sebuah foto dengan latar belakang yang sempurna.

Saya hanya tersenyum melihatnya, teringat beberapa tahun silam, ketika ke sini untuk pertama kalinya. Saat itu, perlu perjuangan ekstra keras untuk mendapatkan latar belakang tulisan Pantai Losari. Hal itu tidak terjadi lagi sekarang, karena sudah berdiri tulisan-tulisan lain seperti City Of Makassar, Bugis ataupun Toraja. Konsentrasi para pengunjung pun tidak terpaku pada satu titik saja.

Read more