Sepotong Kisah Tentang Braga

Hari masih terang ketika kakiku menjejak Braga. Langit tampak menghitam. Angin bertiup cukup kencang. Sayup-sayup, saya bisa mendengar deru angin yang menyibak helai-helai rambut dan menembus gendang telinga.

Ku hirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ku coba merasakan oksigen Braga memenuhi relung paru-paru. Ada sebuah kerinduan disana karena sudah lebih dari lima tahun, butir-butir molekul O2 dari salah satu jalanan yang paling tersohor di kota kembang ini hinggap di pembuluh darahku.

De Vries yang termahsyur itu masih tampak gagah di usianya yang sudah lebih dari seabad. Perawatan berkala yang dilakukan pemkot Bandung membuat Gedung yang pada awalnya berfungsi sebagai supermarket pertama di kota Bandung itu, tetap lestari hingga saat ini. Memandangi De Vries membawa anganku terbang berkelana dengan mesin waktu. Dari dalam benakku, aku melihat kota Paris. Paris van Java.

Hotel Savoy Homann yang berdiri disamping De Vries juga tetap terlihat elegan. Padahal Hotel yang pernah menjadi tempat menginap tamu-tamu penting dalam Konferensi Asia Afrika di tahun 1955 ini telah beroperasi selama lebih dari 12 dasawarsa. Tahun 1871 menjadi titik mula dari perjalanan panjang hotel legendaris ini. Hotel kemudian di renovasi dengan desain gelombang oleh Albert Aalbers pada tahun 1939. Tercatat, komedian legendaris Charlie Chaplin dan artis pemenang Oscar Mary Pickford pernah menginap di hotel ini.

Dihadapan de Vries, Societeit Concordia menyapaku dengan anggun. Gedung yang saat ini bernama Gedung Merdeka ini juga kondisinya tampak masih sangat baik. Dari gedung inilah, cikal bakal persatuan negara-negara di Asia Afrika dimulai.

Kulangkahkan kaki menuju utara. Kususuri jengkal demi jengkal jalanan Braga. Suasana nostalgia pun terasa. Kuamati langkah kakiku yang menjejak trotoar Braga. Sesekali, ketika tidak ada kendaraan melintas, aku bergeser lebih ketengah jalan, mencoba merasakan blok paving Braga yang berbeda dari jalanan di Indonesia pada umumnya. Di tepi jalan, berjajar deretan lampu jalan yang memiliki desain klasik.

Kutatap lekat-lekat gedung-gedungnya. Kukagumi desainnya yang bergaya artdeco, khas gedung di Eropa. Kupandangi lukisan-lukisan yang tertambat di dinding-dindingnya. Tema alam seperti sawah, gunung, bunga, buah dan aneka binatang menjadi tema yang dominan. Kuamati fragmen-fragmen kehidupan yang tersaji di sekelillingku. Sepasang kakek nenek di bangku taman, senda gurau anak bapak dan lalu lalang muda mudi berjalan kaki. Ah, aku merasakan ada sebuah rasa bahagia terhisap ke dalam tubuhku dan mengaliri seluruh pembuluh darahku.

Tiba-tiba rintik hujan menghampiriku. Kuhentikan langkahku. Kutengadahkan kepalaku. Saat itu kulihat dengan jelas butiran-butiran air dari langit itu. Sesaat kemudian aku menutup mata, sambil kubiarkan mereka membasuh wajahku.

Hujan pun semakin deras, yang membuatku harus menepi dan berteduh. Syukurlah, sore itu ada bangku taman yang kosong dan teduh dari hujan. Dari bangku itu, aku menemukan tirai-tirai air dengan garis-garisnya yang rapi, berjajar sepanjang jalan. Ah, hati ini terasa nyaman dan damai.

Tiga puluh menit berlalu, hujan pun reda. Langit sudah mulai gelap tapi belum sepenuhnya menghitam. Cakrawala masih terlihat membiru. Aku berjalan kembali ke selatan, menuju de Vries. Di tanganku, kamera sudah terhunus pada tripodnya. Saatnya berburu. Waktunya membekukan Braga, mengabadikan keabadiannya yang memang abadi.

4 thoughts on “Sepotong Kisah Tentang Braga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *