Pengalaman pertama menjadi seorang Kontributor

Di akhir bulan Juni 2015 lalu, sebuah pesan singkat dari seorang rekan yang baru saja kukenal beberapa bulan yang lalu masuk ke ponselku. Tidak banyak kata yang tertera di layar ponselku, tetapi sanggup membawa sebuah hawa kebahagiaan masuk ke relung hati.

Garuda Colors Middle East Juni Juli 2015
Garuda Colors Middle East Juni Juli 2015

“Mas Surya, artikelnya di muat di Majalah Colours Middle East Juni-Juli 2015. Nanti aku dibantu fotocopy ktp dan alamatnya ya”

Akhirnya, setelah hampir enam tahun “berkarir” sebagai blogger, ada juga tulisanku yang nongol di Majalah. Sebuah artikel berjudul “Menjelajah Kekayaan Bahari Makassar” resmi menjadi artikel pertamaku yang berhasil menembus ketatnya persaingan di dunia penerbitan.

Dan kebahagiaan itu semakin luar biasa karena artikel tersebut termuat di Majalah Colours, in-flight magazine milik maskapai kebanggaan negeri, Garuda Indonesia. Untuk diketahui, Garuda Indonesia memiliki dua versi Colours in-flight magazine, yaitu yang versi reguler yang bisa ditemui di penerbangan domestik dan internasional non middle east dengan periode terbit bulanan dan juga versi middle-east yang bisa ditemui di penerbangan internasional jurusan ke timur tengah dengan periode terbit dua bulanan. Tulisanku sendiri termuat di edisi middle-east. Meski dimuatnya bukan di majalah Colours yang versi reguler, tapi itu sudah cukup membuat rasa percaya diriku terangkat. Alhamdulillah.

Memang sudah sejak lama, aku ingin, suatu hari nanti namaku bisa muncul sebagai salah satu kontributor di sebuah majalah, terutama majalah yang ber-genre travel. Itulah salah satu motivasi kuat yang membuatku tetap terus menulis di blog.

Dan kesempatan itu muncul beberapa bulan yang lalu, tepatnya di bulan Maret 2015, ketika salah seorang redaktur majalah Colours Garuda edisi middle east, mbak Aini, menghubungiku via email dan menawariku untuk menulis sebuah artikel di sana, tetapi dengan tenggat waktu hanya satu minggu saja. Tanpa pikir panjang, aku terima penawaran tersebut, meski saat itu beban kerja di kantor sangat tinggi. Bagiku ini adalah sebuah kesempatan emas. Jika aku tidak mengambilnya, bisa jadi aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi.
Sejak hari itu, aku berusaha memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Aku pun lebih memberdayakan semua sumber daya yang kumiliki seperti ponsel ataupun laptop. Setiap muncul ide tulisan dimanapun aku berada, aku tulis sebagai catatan di ponsel. Kalaupun memang panjang, aku merekamnya. Lalu sesegera mungkin ku rangkai menjadi kalimat dan paragraf. Dan akhirnya aku bisa memenuhi target untuk mengirimkan artikel sebelum tenggat waktu.

Alhamdulillah mbak Aini memberikan respon positif pada tulisanku. Secara umum, artikelku sudah cukup baik. Parameternya adalah, sebagai seseorang yang belum pernah ke Makassar, dia menjadi tertarik untuk datang ke Makassar setelah membaca artikelku. Meskipun masih membutuhkan revisi, tetapi prosentasenya hanya 15 persen saja. Setelah dua hingga tiga kali revisi, mbak Aini pun akhirnya puas. Saat itu, aku mengira, tinggal selangkah lagi mimpiku akan terwujud.

Ternyata perjuangan menjadi seorang “Kontributor” majalah itu tidaklah mudah.

Tiga hari berlalu, sebuah kabar mengejutkan datang dari Mbak Aini. Pertama-tama dia minta maaf karena ternyata di level redaktur senior, artikelku dianggap biasa biasa saja, dan bahkan dianggap tidak menarik, karena aku mengambil sudut penulisan yang sudah terlalu sering dibahas oleh banyak orang.

Garuda Colors Middle East Juni Juli 2015
Garuda Colors Middle East Juni Juli 2015

Kedua, jika memang masih ingin menulis untuk Colours, maka aku diminta untuk merombak total tulisanku dengan hanya 20 persen saja yang masih bisa terpakai.

Bisa dibayangkan perasaanku saat itu. Antara sedih, kecewa dan kehilangan kepercayaan diri. Tapi, syukurlah itu semua hanya berlangsung selama sekitar 10 menit saja. Selanjutynya, aku minta mbak Aini untuk memberikanku kesempatan sekali lagi untuk menulis dan tentu saja memberikanku tenggat waktu lagi.

Dan alhamdulillah, mbak Aini masih memberikan kepercayaan kepadaku. Mbak Aini pun memberikan saran agar aku menulis sudut pandang lain tentang Makassar yang belum banyak ditulis oleh orang. Tenggat waktu yang diberikan kali ini lebih panjang, dua minggu. Entah, mengapa lebih panjang. Perkiraanku, mungkin tulisanku awalnya diperuntukkan untuk edisi bulan April – Mei. Tetapi akhirnya gagal dan digantikan tulisan yang lain. Dan kali ini mbak Aini memberikanku kesempatan untuk rencana diterbitkan untuk edisi bulan Juni – Juli, sehingga aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu.

Aku pun berjuang kembali, mengerahkan segala daya dan pikiran untuk memintal huruf demi huruf dan sejurus kemudian menguntai dan merangkainya menjadi kata-kata dan kalimat. Meski harus merombak tulisan dari awal lagi, aku tidak merasa memulai semuanya dari nol, karena aku sudah mendapatkan banyak bimbingan dan saran dari mbak Aini maupun redaktur seniornya.

Seminggu kemudian, artikel keduaku pun siap. Jauh lebih cepat satu minggu dari tenggat. Hal tersebut sengaja kulakukan, untuk berjaga-jaga jika aku harus melakukan revisi besar. Tapi syukurlah, sekali lagi tulisanku tidak terlalu banyak revisi. Segera setelah artikel dirasa sudah cukup, mbak Aini pun mengirimkan artikel tersebut ke redaktur senior.

Di level redaktur senior, masih ada beberapa revisi yang harus ku lakukan, meski tidak terlalu besar. Dua minggu berlalu tanpa kabar, sampai suatu hari, ada informasi lagi dari mbak Aini bahwa, artikelku sudah cukup revisinya dan masuk ke pembahasan penerbitan. Untuk keputusan apakah jadi dimuat atau tidak, akan dikabari lagi.

Menjelang akhir mei, sebuah kabar yang cukup membahagiakan datang, bahwa artikelku kemungkinan besar akan dimuat, tetapi saat ini masih dalam proses layout. Tetapi karena memang majalahnya belum benar-benar diterbitkan, aku pun masih berusaha untuk tetap stay cool.

Bulan Mei pun akhirnya berlalu. Entahlah saat itu, aku seperti lupa tentang artikelku. Sebuah proyek besar di kantorku dimulai dengan aku menjadi wakil dari Project Manager. Konsentrasi dan fokusku pun tercurahkan seluruhnya ke proyek tersebut yang membuatku terlupa tentang artikelku ini. Sampai pada akhirnya di penghujung bulan Juni, aku mendapatkan pesan singkat yang membahagiakan itu.

Satu impianku sudah terwujud, menjadi salah satu kontributor Majalah Colours edisi Middle-East. Aku berharap, ini bukanlah sebuah akhir, tetapi justru menjadi awal. Aku berharap di masa mendatang, akan lebih banyak lagi tulisanku yang berkeliaran di berbagai majalah, tentu saja dengan salah satu targetnya adalah masuk ke dalam Majalah Colours edisi reguler. Untuk rekan-rekan blogger yang membaca tulisan ini, saya minta doanya ya, he he he. Dan bagi redaktur majalah yang tengah mencari penulis, jangan segan-segan untuk mengontak saya ya.

10 thoughts on “Pengalaman pertama menjadi seorang Kontributor

  • 05/08/2015 at 09:43
    Permalink

    Keren banget, Sur!
    Selamat ya buat prestasinya, terutama buat semangatnya pang pantang menyerah. Kaguuuuuum….
    Smoga ini adalah langkah awal Surya buat jadi kontributor profesional 😉

    Reply
  • 05/08/2015 at 09:48
    Permalink

    Sifat pantang menyerah kayak gini hanya dimiliki oleh orang-orang yang punya potensi untuk berhasil, Surya.
    Saya yakin Surya akan mencapai satu titik dimana keluarga akan sangat bangga pada Surya.
    Selamat buat jabatan promosinya, smoga Surya tetap amanah, semangat, positif, dan rendah hati…

    Reply
  • 30/08/2015 at 09:03
    Permalink

    inspiratif mas.. saya juga sekarang lagi proses mau kirim tulisan ke majalah travel. Sudah dapat kontaknya. Setelah membaca ini saya bisa mencontek pengalaman mas, yaitu mengambil sudut pandang lain yang jarang orang memikirkan.
    Salam kenal mas, saya juga travel blogger 🙂

    Reply
  • 28/04/2016 at 13:19
    Permalink

    Menginspirasi sekali Mas, semoga suatu saat saya bisa jadi kontributor sebuah majalah juga dan jadi penulis buku juga hehe.

    Keep writing keep inspiring Mas Surya. 😀

    Reply
  • 22/04/2018 at 20:40
    Permalink

    Saya bacanya ikut deg-degan, emang ya mau jualan atau nulis pasti ada yang enggak langsung lolos. Saya juga pernah mengalaminya, tapi media travel biasa levelnya masih di bawah majalah airline. Tetap semangat, Mas 🙂

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *