Secangkir cairan cokelat kehitaman tersaji di depanku. Tampak kabut tipis menari-nari dia atas permukaannya. Semerbak aroma harum serta merta menembus syarafku ketika beberapa helai dari kabut itu sampai ke pori-pori hidungku.
Hmm, batinku.
“Silahkan diminum, dan setelah itu ceritakan, apa yang kamu rasakan,” ujar seorang pria dihadapanku.
“Terima kasih pak.”
Semakin banyak helaian kabut yang hinggap ke hidungku, semakin liar keinginan syarafku untuk segera menikmati rasanya. Dengan kekuasaanya, dia perintahkan seluruh organ tubuhku untuk segera bekerja.
Kupegang gagang cangkir itu lalu kuangkat. Kudekatkan ke arah mulutku perlahan lahan. Semakin dekat, semakin terasa keharumannya. Namun bersamaan dengan itu semakin terasa pula hawa panas yang bergolak di dalamnya. Meski begitu, aku tidak gentar. Konon di saat masih kondisi panas itulah, kita bisa merasakan kenikmatan maksimal dari si cairan itu.
Semakin dekat, dekat dan akhirnya beberapa tetes tumpah ke mulutku. Hawa panasnya langsung seperti membakar rongga mulutku. Lidahku berjingkat. Selang beberapa detik mulutku membuka menutup untuk memberikan ruang bagi udara untuk bisa keluar masuk ke dalam rongga mulut dan menurunkan suhu didalamnya. Setelah suhunya sudah pas, mulutku pun menyesap habis cairan itu dan meratakannya keseluruh permukaan lidah.