Mendayung Sampan di Lok Baintan

Alunan riak-riak air mengalun di telingaku. Suaranya lirih dan merdu. Mereka berdendang berirama dengan hembusan sang bayu yang menerpa wajahku. Di ufuk timur sana, langit tampak jingga merona. Matahari masih belum mencapai bulat sempurna.

Di pagi yang hening itu, sebuah sampan kecil bergerak pelan membelah sungai. Ada dua penumpang diatasnya, aku dan pak Roni, sang nakhoda. Usianya sudah hampir 50 tahun, tapi lengannya masih kokoh dan kuat untuk mendayung, mengemudikan sampan. Ribuan butir air terbang ke udara setiap kayuhan dayungnya mencabik badan sungai. Mereka tampak berkilau keemasan terpapar sinar sang surya.

Semakin jauh sungai disusur, semakin pudar hitamnya kegelapan, keheningan semakin lenyap. Berganti keriuhan yang perlahan demi perlahan muncul. Dan setelah tiga puluh menit berlalu, sampailah kami di pusat keramaian.

Lok Baintan, kusapa lagi pesonamu. Ku nikmati kembali kesederhanaanmu. Kureguk puas eksotismu. Keriuhan pasar, tawar menawar, saling sapa, gelak tawa berpadu gemericik air yang terpapar dayung.

Ada damai menjalar di relung jiwa ketika berada disini. Menyaksikan sejumput keramahan bersanding dengan kearifan lokal. Sungguh terasa nyaman di kalbu. Kadang kupikir, bukan kemewahan yang memberikan kebahagiaan, justru malah kesederhanaan.

Itulah yang membuatku kembali. Tepat setahun yang lalu, aku menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di desa Lok Baintan. Ketika itu, mobil yang ku tumpangi bersama rekan-rekan berhasil menembus jalanan desa yang bergelombang hingga sampai di pusat Pasar Terapung. Tapi kali ini, mobilku tidak mampu mencapai pusat pasar. Jalanan yang rusak, berlubang serta penuh lumpur menghadang perjalanan kami, sehingga akhirnya kami harus menyewa sampan untuk bisa sampai ke pusat pasar.

Tapi justru inilah asyiknya. Menikmati pasar terapung sambil ikutan mengapung di sungai. Berbaur langsung dengan para pedagang. Bagi pecinta fotografi human interest, mungkin inilah salah satu surga baginya.

Seorang ibu mendekatkan kelotoknya di sampanku. Raut mukanya tampak tua, dengan tangan-tangan yang kekar memegang dayung. Bedak putih nan dingin terpulas dengan tak rata di wajahnya. Sebuah topi lebar terpasang di kepalanya. Asesoris wajib sekaligus pelindung dari teriknya panas.

Di kelotoknya tersaji aneka gorengan dan makanan kecil. Ada ubi goreng, pisang goreng, kue lumpur, kroket, hingga donat. Tampaknya sang ibu baru saja menemukan pembeli potensial. Anak muda luar kota yang tengah berwisata dengan kondisi belum sarapan.

Dengan ramah dia menawarkan dagangannya. Beberapa detik kemudian wajahnya berseringai gembira karena anak muda itu tampaknya mulai tertarik.

Singkat cerita, beberapa makanan kecil itu berpindah ke dalam sampan yang kutumpangi, bertukar dengan selembar uang lima ribuan. Sang ibu kemudian mengucap terima kasih dan mohon diri.

Bismillah, hanya dalam hitungan menit, lima potong makanan itu sudah ludes. Yang tersisa hanya sebuah robekan kertas pembungkus. Alhamdulillah

Sampan yang kutumpangi terus menyusuri jengkal demi jengkal sungai. Pak Roni begitu lihai mengendalikan sampannya. Di tengah sungai yang penuh dengan perahu, Pak Roni bermanuver dengan cekatan untuk menghindari tumbukan dengan perahu yang lain.

Sesekali mataku menatap ke arah barang dagangan yang melintas. Beras, bawang, cabe, jahe, bumbu-bumbuan, sayur mayur, ayam, ikan, daging dan juga buah-buahan. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Buah Mentega. Yap buah mentega. Setahun yang lalu, aku membeli buah mentega di pasar ini. Tetapi karena saat itu adalah bulan ramadan, maka aku harus menunggu hingga maghrib untuk bisa mencicipinya.

Malangnya, ketika maghrib tiba, sekerangjang buah mentega itu ternyata sudah habis dilahap teman-temanku. Aku hanya kebagian beberapa iris saja. Yang sedikit itu ternyata meninggalkan kenangan yang manis buatku sehingga ingin rasanya mencicipinya kembali.

Tapi kali ini, aku tidak berjodoh dengan sang buah mentega. Bulan-bulan ini tidak ada satupun pedagang yang menjual buah mentega karena memang belum musimnya. Sempat terbesik kecewa karena lidahku sudah berekspektasi tinggi bahwa pagi ini dia akan mengurai rasa buah mentega yang meleleh dalam mulut. Tapi itu hanya sebentar saja. Pagi yang cerah dan damai ini terlalu sayang untuk dilewatkan dengan hati yang kecewa.

Lebih dari satu jam setengah aku habiskan waktu bersama pak Roni dan para pedagang di Lok Baintan. Perjalanan kali ini aku tidak terbatas waktu, karena memang tidak ada agenda kerja di hari itu. Itu pun aku terpaksa mengakhiri perjalanan karena pasar yang semakin sepi. Ketika hari beranjak makin siang, para pedagang mulai berpencar. Ada yang langsung kembali pulang. Ada pula yang masih mencoba menjajakan dagangannya dengan mendatangi rumah ke rumah.

Sebelum mengakhiri perjalanan, aku menyempatkan membeli sepuluh butir buah jeruk. Hanya sepuluh butir dengan harga lima belas ribu rupiah. Nilai transaksi yang kecil memang, tapi aku berharap, nilai yang kecil ini mampu membantu perekonomian para pedagang dan melestarikan kelangsungan pasar tradisional yang sudah melegenda ini. Dan aku berharap, bagi rekan-rekan pembaca sekalian yang berkesempatan untuk bertandang kesana, jangan hanya melihat-lihat dan memotret saja. Lakukanlah transaksi. Belilah dagangan mereka. Meskipun kecil, aku yakin, itu sangat membantu perekonomian para pedagang dan pada akhirnya berimbas pada kelestarian pasar.

One thought on “Mendayung Sampan di Lok Baintan

  • 21/09/2013 at 13:20
    Permalink

    Kadang kupikir, bukan kemewahan yang memberikan kebahagiaan, justru malah kesederhanaan…
    Sepakat dengan kalimat ini, Sur!

    Iya Sur, kalau nanti kesana, saya akan berusaha menjadi pembeli yang baik…tanpa tawar-menawar heboh, tanpa terlalu banyak protes bila yang dijual barangnya tidak terlalu bagus πŸ™‚
    Makasih sudah berbagi foto dan cerita, Surya…dan sumpah, saya penasaran banget dengan buah mentega itu πŸ˜€

    “He he he, ya nawar juga gpp atuh mbak, seninya jual beli kan menawar itu. Tapi tetep, jangan tega2 nawarnya, hi hi hi”

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *